Bisakah Tulisan Menyatukan Ingatan Kolektif Seperti Sumpah Pemuda?
Oleh: A. Rusdian
Indonesia tengah memasuki era di mana jejak digital menjadi bukti paling kuat dari aktivitas intelektual masyarakatnya. Jika dulu narasi kebangsaan terbentuk melalui ikrar bersama para pemuda pada 1928, hari ini kesadaran kolektif itu terbangun melalui tulisan artikel, esai, jurnal reflektif, hingga opini yang beredar di ruang publik daring. Fenomena minimnya tradisi menulis di kalangan generasi muda seolah bertentangan dengan kebutuhan bangsa akan rekaman intelektual yang berkelanjutan. Padahal, ruang digital yang begitu luas membutuhkan “arsitek gagasan” yang mampu membangun narasi lintas generasi. Pena Berkarya Bersama (PBB) saat ini sudah merangkul 1692 Komunitas.
Dalam kajian collective memory studies, Maurice Halbwachs menegaskan bahwa memori bersama tidak terbentuk secara spontan, melainkan dibangun oleh medium sosial yang memfasilitasi pertukaran pengalaman. Sementara itu, teori knowledge documentation Nonaka Takeuchi menjelaskan bahwa pengetahuan hanya akan bertransformasi menjadi modal budaya jika dituliskan, dibagikan, dan direkontekstualisasi. Dengan kata lain, menulis adalah mekanisme epistemik yang mengikat pengalaman individu menjadi ingatan kolektif.
Kesenjangan muncul ketika generasi digital lebih banyak berproduksi dalam bentuk visual cepat saji video pendek, komentar instan, dan unggahan komersial—namun minim jejak keilmuan yang terdokumentasi. Ingatan kolektif bangsa terancam dangkal karena tidak lagi ditopang oleh teks reflektif yang menjadi fondasi peradaban. Di sinilah urgensi menulis sebagai tindakan kebangsaan.
Artikel ini bertujuan menegaskan bahwa menulis merupakan instrumen strategis untuk menyatukan ingatan kolektif bangsa, memperkuat literasi generasi muda, dan menyambung napas perjuangan para pahlawan sesuai spirit Hari Pahlawan 2025: “Pahlawanku Teladanku terus bergerak melanjutkan perjuangan.” Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Bisakah Tulisan Menyatukan Ingatan Kolektif Seperti Sumpah Pemuda?:
Pertama: Menulis sebagai Rekam Jejak Perjuangan Intelektual; Setiap tulisan adalah arsip kecil dari pergulatan intelektual penulisnya. Dalam konteks Hari Pahlawan, ini menjadi bentuk “perjuangan modern”: bukan lagi mengangkat senjata, tetapi mengangkat gagasan. Tulisan mahasiswa, dosen, maupun publik menjadi penanda bahwa proses berpikir bangsa tidak berhenti. Dengan menulis, generasi digital melanjutkan pesan Sutan Sjahrir bahwa perjuangan kebebasan adalah perjuangan berkarya bagi bangsa.
Kedua: Menulis Mengikat Pengalaman Individu Menjadi Memori Sosial; Pengalaman pribadi pengamatan lapangan, keprihatinan sosial, keberhasilan kecil ketika dituliskan berubah menjadi memori sosial yang dapat dipelajari bersama. Mekanisme ini membuat masyarakat memiliki rujukan kolektif untuk memahami sejarah kontemporer. Tanpa teks yang terdokumentasi, pengalaman hanya berputar sebagai ingatan individu yang cepat hilang.
Ketiga: Menulis sebagai Sarana Kolaborasi Keilmuan Lintas Generasi; Tulisan memungkinkan dialog pengetahuan antara generasi lama dan generasi baru. Dosen menuliskan temuan, mahasiswa menuliskan refleksi, publik menuliskan pengalaman. Ketiganya bertemu dalam ruang digital sebagai knowledge commons. Tradisi intelektual yang tadinya terpisah menjadi terhubung. Di sinilah persatuan yang dulu dibangun melalui ikrar kini dibangun melalui dokumentasi keilmuan.
Keeempat: Menulis Mengurangi Distorsi Informasi dan Membentengi Bangsa; Dalam era banjir informasi, jejak keilmuan yang kuat berfungsi sebagai jangkar epistemik. Tulisan yang berbasis data, argumen, dan literatur menjadi dinding penahan terhadap hoaks, misinformasi, dan bias viral. Generasi muda tidak hanya menjadi konsumen informasi, tetapi produsen makna. Ini adalah kontribusi strategis bagi ketahanan informasi nasional.
Kelima: Menulis sebagai Medium Keberlanjutan Peradaban Digital; Peradaban tidak diwariskan melalui sensasi, tetapi melalui teks. Dokumen intelektual memastikan bahwa setiap gagasan dapat ditinjau ulang, diuji, disempurnakan, dan digunakan ulang. Dalam konteks spirit Hari Pahlawan 2025, menulis adalah cara generasi digital menjaga agar nilai perjuangan tidak berhenti sebagai slogan, tetapi menjadi pengetahuan hidup yang terus berkembang.
Menulis merupakan tindakan keilmuan, kebudayaan, dan kebangsaan. Ia menyatukan pengalaman individu menjadi ingatan kolektif yang menghidupkan kembali etos perjuangan para pahlawan dalam format yang relevan dengan era digital. Tradisi menulis adalah jembatan yang memastikan kontinuitas peradaban Indonesia. Rekomendasi; 1) Pemerintah dan Kemendikbud perlu memperkuat kebijakan literasi digital berbasis dokumentasi keilmuan; 2) Perguruan tinggi harus mengintegrasikan praktik menulis reflektif dan ilmiah ke dalam kurikulum semua program studi; 3) Komunitas literasi dan platform digital perlu menyediakan ruang kurasi yang mendorong generasi muda mempublikasikan tulisan berkualitas; 4) Mahasiswa dan pelajar harus diposisikan sebagai “penulis muda bangsa” yang bertanggung jawab menjaga ingatan kolektif.
Pada akhirnya, bangsa yang tidak menulis akan kehilangan memorinya, dan bangsa yang kehilangan memorinya akan kehilangan arah. Jika dahulu Sumpah Pemuda menyatukan tekad, maka hari ini tulisan-tulisan generasi digital harus menyatukan ingatan. Dengan menulis, kita tidak hanya menjaga warisan para pahlawan, tetapi juga menciptakan masa depan yang mereka impikan. Wallahu A’lam.