Tips Menulis Cerdas Berbasis Data: Contoh Nyata dari Banjir Bali

2025-09-14 18:05:49 | Diperbaharui: 2025-09-14 18:05:49
Tips Menulis Cerdas Berbasis Data: Contoh Nyata dari Banjir Bali
Banjir di Bali (Foto: Kompas)

Kalau kamu sering nulis, mungkin pernah ketemu peristiwa besar, misalnya banjir besar di Bali baru-baru ini, dan tanganmu gatal banget pengen nulis. Tapi begitu duduk depan laptop, yang keluar malah kalimat-kalimat standar, “Banjir melanda… banyak rumah terendam… masyarakat panik…” dan seterusnya.

Sounds familiar? Tulisan model begini cepat basi. Pembaca cuma lewat, bilang “kasihan ya,” dan tulisanmu gak ninggalin bekas apa-apa.

Padahal, kalau kamu mau, peristiwa kayak banjir Bali bisa jadi bahan tulisan yang jauh lebih kuat. Bukan cuma “curhat” atau “laporan copy-paste media," tapi tulisan yang bikin pembaca bisa lebih mengerti masalahnya, bahkan mungkin tergerak untuk take action supaya bencana-bencana akibat perubahan iklim ini gak terjadi lagi.

Bagaimana caranya? Simpel, kamu harus mainkan tulisanmu sama data.

Memang, data kadang bikin orang ngeri duluan mau nulis. Kayak bayangan angka-angka kaku, grafik ribet, atau laporan statistik yang bikin ngantuk. Tapi percaya deh, kalau kamu bisa belajar cara menyulap data jadi cerita, tulisanmu bisa naik level. Dari yang tadinya cuma “catatan pribadi” jadi “tulisan yang layak dibaca banyak orang.”

Contohnya banjir Bali kemarin. Data dari BMKG mennyebut kalau curah hujan di beberapa wilayah mencapai ratusan milimeter dalam sehari, angka yang bahkan melebihi kapasitas normal sungai dan drainase. Tambah lagi, ada fenomena atmosfer kayak Rossby wave yang bikin intensitas hujan makin ekstrem. Nah, data kayak gini bisa jadi bumbu yang bikin tulisanmu lebih kredibel.

Penulis pemula bisa belajar trik sederhana, gimana caranya bikin tulisan lebih berbobot dengan memanfaatkan data. Kita bakal belajar langsung dari kasus banjir Bali, lengkap dengan tips step-by-step yang bisa kamu praktikkan.

Kenapa Data Penting dalam Tulisan?

Kalau kamu perhatiin, ada dua tipe tulisan tentang bencana kayak banjir Bali. Pertama, tulisan yang sekadar “melaporkan." Isinya hampir mirip straight news di media online, yaitu menjawab siapa, di mana, kapan, berapa rumah terendam, dan selesai. Membaca yang kayak gini, pembaca tahu ada peristiwa, tapi biasanya langsung move on tanpa bekas.

Kedua, tulisan yang membekas, yang bikin orang mikir, bahkan mungkin mengulang-ulang kalimat tertentu. Nah, biasanya tulisan di kategori kedua ini bukan cuma main perasaan, tapi juga main data.

Kenapa data bisa sepenting itu? Ada beberapa alasan.

1. Data Bikin Tulisanmu Punya Kredibilitas

Kalau kamu bilang:

Banjir di Bali kali ini termasuk parah.

Itu opini. Bisa benar, bisa salah.

Tapi kalau kamu tulis:

Menurut BMKG, curah hujan di Tabanan pada hari H mencapai 154 mm, padahal ambang normal harian biasanya hanya sekitar 50 mm.

Nah, itu bukan lagi sekadar opini, melainkan klaim yang berdiri di atas fakta. Pembaca langsung yakin dan percaya sama tulisan kita.

2. Data Bikin Tulisan Membekas

Otak manusia suka yang konkret. Angka, perbandingan, atau ilustrasi bikin sesuatu lebih gampang diingat.

Kalau kamu tulis:

Hujan deras membuat banyak sawah terendam.

Ini sih efeknya datar. Tapi kalau kamu tulis:

Di Kabupaten Jembrana, sekitar 120 hektare sawah tergenang. Itu sama saja dengan luas 200 lapangan bola.

Pembaca langsung bisa membayangkan. Banjirnya jadi terasa lebih nyata.

3. Data Bisa Jadi Titik Mulai Cerita

Data itu kayak bahan dasar masakan. Kamu bisa olah sesuai selera. Angka korban bisa jadi pintu masuk buat ngomongin sisi kemanusiaan.

Data curah hujan bisa jadi pintu masuk untuk bahas perubahan iklim. Statistik kerugian ekonomi bisa jadi awal diskusi soal kebijakan pemerintah. Dengan kata lain, data adalah pintu masuk menuju cerita yang lebih dalam.

4. Data Menghindarkan Tulisanmu Jadi Klise

Kamu pasti sering lihat kalimat seperti ini di media, “Banjir kembali menggenangi kawasan padat penduduk…”

Kalau terus begitu, tulisanmu akan terdengar sama saja dengan ratusan tulisan lain.

Tapi kalau kamu masukkan data unik, misalnya info bahwa Bali biasanya justru lebih dikenal dengan musim keringnya yang panjang, tulisanmu otomatis punya angle beda.

5. Data Memberi Ruang untuk Diskusi Lebih Besar

Banjir Bali membuka diskusi tentang tata ruang, drainase, bahkan soal bagaimana pembangunan pariwisata mempengaruhi lingkungan. Data memungkinkan kita masuk ke diskusi besar ini dengan dasar yang kuat.

Kalau tanpa data, tulisanmu bisa terdengar cuma nyalah-nyalahin pihak tertentu. Tapi dengan data, kamu bisa nunjukin pola. Misalnya:

Dalam 10 tahun terakhir, area resapan air di Bali berkurang sekian persen akibat alih fungsi lahan.”

Kalimat begini gak sekadar kritik, tapi juga bikin pembaca ngerti kenapa masalah terjadi.

Tips Menulis Berdasarkan Fakta

Sebagai penulis pemula, biasanya kita terbawa suasana. Lihat banjir, langsung pengen nulis dengan nada emosional, entah itu kasihan, marah, sedih. Itu wajar. Tapi kalau mau tulisanmu lebih dalam, mulailah dengan fakta.

Caranya gampang:

Cek berita resmi (misalnya Kompas, Republika, Tempo, Antara). Ambil data dari BMKG, BNPB, atau pemerintah daerah. Catat angka penting, seperti curah hujan, jumlah korban, daerah terdampak.

Selanjutnya, sulap data jadi cerita. Jangan berhenti di angka. Kalau cuma nulis “hujan 120 mm," pembaca bakal mikir, “So what?”

Tugasmu adalah menerjemahkan data jadi cerita.

Contoh:

Hujan 120 mm itu artinya, dalam satu malam halaman rumahmu bisa terendam air setinggi 12 sentimeter. Bayangkan kalau air itu tidak punya jalan keluar, maka jadilah banjir yang menutup jalan, menenggelamkan motor, dan membuat anak-anak tidur dengan kaki dingin.

Kamu lihat bedanya? Data yang kaku bisa jadi visual yang bikin orang langsung kebayang. Analogi adalah senjata ampuh di sini.

Tips berikutnya, hubungkan data dengan pola lebih besar. Kalau mau tulisanmu naik kelas, jangan cuma berhenti di Bali. Hubungkan dengan tren yang lebih luas, misalnya perubahan iklim dan tata kota.

Contoh:

Banjir Bali ini bukan kejadian satu kali. Data BMKG menunjukkan, dalam 10 tahun terakhir, intensitas hujan ekstrem di Indonesia meningkat rata-rata 12%. Artinya, bencana semacam ini bisa makin sering terjadi.

Dengan begitu, tulisanmu bukan cuma tentang satu banjir, tapi juga tentang fenomena besar yang relevan buat banyak orang.

Tulisan tentang bencana sering jatuh ke jebakan yang bikin pembaca takut, lalu selesai. Padahal, tulisan yang bagus harus kasih pembaca arah.

Misalnya:

Kita bisa mulai dengan hal sederhana: jangan buang sampah di selokan.

Gunakan aplikasi Info BMKG untuk cek peringatan dini.

Kalau tinggal di daerah rawan, siapkan tas siaga, seperti lampu senter, air minum, obat-obatan.

Ini penting. Karena tujuan kita menulis bukan cuma untuk memberi tahu, tapi juga untuk mendorong aksi.

Terakhir, jangan hilangkan personalmu. Kadang penulis pemula takut suaranya hilang kalau terlalu banyak data. Padahal, data justru bisa dipadu dengan suara personalmu.

Misalnya:

Saya sendiri pas baca berita banjir Bali selama ini selalu menyalahkan hujan. Padahal, yang salah bukan hujannya, tapi bagaimana kita memanajemen air di kota. Jangan-jangan, kalau kita lebih serius bikin resapan, banjir bisa tidak separah ini.

Dengan begitu, tulisanmu tetap terasa hangat dan personal, meski penuh fakta.

Menulis tentang bencana bukan berarti kamu harus jadi ilmuwan. Sebagai penulis, kamu bisa jadi jembatan antara data yang kaku dengan cerita yang hidup. Selamat mencoba!***

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar