Halo, Kerabat !
Selamat datang kepada 911 kerabat (wow seperti panggilan darurat ya kodenya) yang berkenan bergabung pada Temu Kompasiana Kerabat Antropolog Pangan ini, sepertinya terus bertambah, terimakasih untuk antusiasmenya untuk turut terlibat sebagai pemikir-pemikir yang membahas pangan dan budaya dimana sepanjang tahun 2024 ini banyak sekali peristiwa yang rupanya mengganggu alat pencernaan semua golongan ya.
Semoga perkumpulan ini setidaknya membawa semangat berbudaya yang sudah luntur sehingga gotong royong dan modal sosial hanyalah omong kosong jika tidak ada kekompakan (ini pun diperlihatkan dari tingkat global karena adanya permasalahan berat di tingkat elitis, yang tentu informasinya tidak bisa diakses publik, namun dampaknya dirasakan semua masyarakat global, terlebih untuk transformasi sistem pangan yang tidak terlalu solutif).
Sekali lagi terimakasih kerabat untuk kebersamaan virtual naratif ini sebagai upaya memupuk kembali kekompakkan sebangsa dan setanah air dan sebagai rakyat yang sering jadi objek percobaan kebijakan yang mengatur kehidupan dasar sampai tambahan, selain takdir ya. Ngaruh banget dong pastinya. Kalau kata Gen Z :
Please normalize/normalisasi kalau kita tuh ga baik-baik aja, karena ga bisa makan di negara yang katanya agraris tuh kocak beud, bjirrrr !!!
Baik inilah terjemahan maksudnya, karena kerabat disini ada yang Gen X, Millenial, dan Boomer maka berikut maksudnya :
"Tolong dinormalisasi kalau keadaan ini sedang tidak baik-baik saja, karena tidak bisa makan di negara agraris itu jenaka/lucu".
Beberapa temuan spontan kami yang menanyakan bagaimana "Pangan Hari ini menurutmu ?", kami mengumpulkan 67 jawaban dari survei spontan dengan informan acak kecil-kecilan (teknik pengambilan data seperti ini kalau dalam penelitian disebut dengan : sampling kebetulan/Convenience sampling/grab sampling/accidental sampling/opportunity sampling) di beberapa tempat seperti : pasar tradisional, warung kecil, kios pangan, grosir, minimarket, swalayan (dept store), kafe, restoran, kedai kaki lima, warkop, warteg, warung nasi padang, pujasera/pusat jajanan serba ada dan beberapa ditemui di tempat jajan anak sekolah (bukan sekolah bonafit yang harganya tidak terjangkau untuk publik), inilah 5 jawaban teratas :
- Mahal, ini menjadi keluhan teratas yang menggambarkan pangan hari ini bahkan makanan hari ini tidak ramah kantong, terlebih jika jawaban ini tercetus dari Ibu Rumah Tangga yang tidak berpenghasilan dan harus tetap memasak serta sisanya digunakan untuk berjualan.
Bahkan geng nongkrong remaja (Gen Z dan Gen Alpha) sudah bermigrasi tempat nongkrongnya geser ke warkop, warteg dan kedai-kedai biasa yang harga menunya logis dan sepadan dengan menu yang dipesan bagi mereka.
(memang ya, segelas kopi saja dibanderol 27 ribu, 35 ribu dan 48 ribu rupiah itu memang memberatkan juga jika nongkrong adalah kebutuhan sehari-hari, belum dengan pajaknya dan pertanyaan ada e-money/scan qris beda bank itu terkena biaya tambahan admin menjadi suatu biaya tambahan yang harus masuk perhitungan pengeluaran juga).
Kami juga menanyai 2 keluarga lengkap setelah menikmati menu pesanannya dan mereka pun mengeluh "biasanya kami selalu pesan 1 porsi tuh untuk 1 orang, sekarang orang tua ngalah saja jadi 1/2 porsi, yang penting anak-anak bisa quality time bareng dan mempererat hubungan kekeluargaan, sekarang kalau makan diluar minimal 350 ribu rupiah, mbak hitung juga bensin kalau bawa mobil ke tempat nongkrong".
Jelas sudah bahwa pangan mahal itu berdampak untuk semua segmen dan menjauhkan keakraban antar manusia sebagai makhluk sosial.
- Banyak komoditas pangan yang kosong, ini suara emak-emak di Sub-kota yang terpaksa mengganti komoditas andalannya, entahlah pasokan pangan lokal berkualitas ini terdistribusi kemana ? mungkinkah ekspor berlebihan dan latah dengan harga fantastis jika dijual ke Luar Negeri daripada kepada bangsanya sendiri ?
- Ngirit dulu, latihan menghadapi PPN 12%, ini jawaban tidak terduga, namun sekarang memang zaman informasi itu bisa diakses darimana saja, mereka aktif di media sosial, jadi berita kenaikan ini mendebarkan juga, jangan dikira masyarakat kecil tidak cemas, tentu berdampak karena masyarakat yang serabutan bekerja dihidupkan dari kelas ekonomi menengah yang loyal menggerakannya, karena kelas menengah walaupun tidak bergelimang harta dan bermewah-mewahan, kalau urusan jajan, kulineran, dan belanja, mereka itu kompleks, ada yang karena hobi, doyan, saling berbagi dan peduli, dan memang seseru itu aktivitasnya dalam pergerakan ekonomi, makanya ketika kelas menengah dibantai dari sisi finansial, ngefeknya ke kelas dibawah kelas menengah juga, ini kan mematikan sumber rezeki secara tidak sadar dari yang namanya cashflow/aliran dana.
- Anggaran Pangan rebutan sama anggaran yang lainnya seperti keperluan :
(1) Ongkos Mobilitas (Beli bahan bakar/BBM dimana di beberapa daerah pembeliannya dibatasi dan menjadi tidak inklusif karena harus membayar dan membeli via aplikasi MyPertamina yang tidak semua orang ponsel dan kuotanya dalam keadaan prima ditambah belum banyak teregistrasi, jadi masyarakat membeli bahan bakar ketengan yang harganya jauh lebih mahal karena menghindari keribetan administrasi pembelian),
(2) Kebutuhan primer rutinitas (pembayaran : air, listrik, biaya telpon, wifi dan internet diluar wifi/kuota, PBB, patungan sosial, biaya kebersihan dan biaya ART/Asisten Rumah Tangga dari beberapa jawaban pekerja/ASN yang membutuhkan jasa ini agar kehidupannya terbantu dan mempermudah pekerjaan domestik karena lelahnya bekerja seharian),
(3) Biaya cicilan kebutuhan yang tidak dipenuhi pemerintah daerah seperti cicilan kendaraan motor dan mobil dengan pajak-pajaknya, sedangkan kebutuhan transportasi umum tidak dipenuhi dan belum bisa menjadi alternatif karena tidak solutif dan menghambat pemberangkatan dan tidak nyaman, Indonesia pajak kendaraan tuh ya setahun sekali, sudah jadi apa pajak-pajak ini untuk pembangunan manusia ? mengapa tidak 10 tahun sekali ? karena Bahan Bakarnya kan dipajaki juga.
(4) Kebutuhan hiburan, jangan dikira masyarakat itu harus selalu bekerja ya, hiburan dan liburan juga masuk anggaran kebutuhan saat ini, dan tidak semua daerah punya tempat nangkring/nongkrong yang asyik pun dengan biaya pungli-punglinya yang tidak mewujudkan mantapnya fasilitas parkir, kamar mandi/toilet, ruang menyusui, dan ruang sebat/smoking area/ruang khusus merokok di tempat umum,
(5) Kebutuhan Kebugaran, siapa bilang masyarakat Indonesia malas berolahraga ? yang ada fasilitas seperti ini banyak yang tidak layak, ya kalau di metropolitan atau kota besar dengan pencitraannya setidaknya bisa menjawab kebutuhan masyarakatnya, di daerah sub-kota dan daerah, lahan dan ruang olahraga rebutan dengan pejabat lokal yang dangdutan dan kalau mau olahraga jadinya mendaki lembah yang curam, mending trail running aja ga sih ? dan kebutuhan lainnya yang sebenarnya itu kebutuhan publik namun tidak dibuat terjangkau, murah, bahkan gratis. Ada gratis isinya random yang akhirnya tidak elok dipandang, bau pesing, bau sampah dan ah sudahlah titik kordinat kriminal disitu ngumpul semua, ya publik nyari tempat asoy lain untuk menghilangkan penat.
- Sebagian kelompok agama, memilih berpuasa (ini bukan seakan-akan religius, tapi sungguh fakta ini amat sangat menyedihkan yang kami simak, karena alasan berpuasa bukan seakan-akan untuk meraih pahala semata namun ada beberapa orang-orang beriman lebih memilih jika pangan sulit didapat bisa dengan menahan lapar sambil berpuasa karena bisa melatih kesabaran, artinya masyarakat kelompok ini sedang terdzolimi juga).
Kondisi seperti inilah yang akan mengganggu kehidupan publik menyeluruh karena ketika kebutuhan dasar saja dan menyasarnya pada pangan, kondisinya sudah "rebutan sumber daya" dan "hanya yang punya power (baik kekuasaan atau finansial)" yang bisa menikmatinya, inilah adalah dasar-dasar ketimpangan sosial-ekonomi yang sebenarnya, dalam antropologi pangan jika kondisi ini berlanjut dalam durasi panjang (terhitung 12 bulan lebih) maka kondisi ini statusnya sudah tahap :
- Food Inequality (ketimpangan pangan) : kondisi sulitnya akses pangan bagi semua orang yang pada akhirnya hanya orang-orang berpenghasilan 10 juta rupiah keatas yang bisa menikmati kuliner hits, makanan dan minuman kekinian, pangan-pangan berkualitas dan rupa-rupa yang harusnya itu menjadi kenikmatan konsumsi publik tanpa harus ada kelas-kelas/status sosial/ekonomi tertentu. Lantas orang-orang berpenghasilan harian 50 ribu rupiah bisa menikmati pangan seperti apa ?
- Food sovereignty issues (masalah kedaulatan pangan) : terhubung dengan hak-hak masyarakat tentang lahannya untuk bercocok tanam, bahkan warisan leluhurnya dan sudah tinggal menetap puluhan tahun itu hak mereka dan tidak boleh diusir oleh pihak-pihak lain karena sudah lebih dahulu mereka mengatur sistem pangan yang berkelanjutan, bukan semata-mata ketahanan pangan (ketahanan pangan itu hanya bisa menyediakan saja entah itu mau impor atau produksi sendiri), berbeda dengan kedaulatan pangan, ibaratnya : This is Our Land (Ini Tanah Kita) !!!
Kondisi pangan hari ini semenjak pandemi berlalu seperti kopong tak berisi, menarik pada narasi pemberitaan bahwa pangan itu baik-baik saja, nyatanya akses pangan secara realitanya tidak seindah narasi-narasi pemberitaannya, permasalahan seperti korupsi komoditas pangan, ekspor dan impor komoditas pangan dan lainnya yang bermasalah dan tidak hanya konsumen yang dirugikan namun juga produsennya, terlebih produsen kecil dengan dagangan yang seadanya, maka tidak usah banyak menyalahkan keamanan pangan (food safety) pada para pedagang kecil karena mereka harus untung untuk melanjutkan hidup dirinya dan keluarganya.
Hal seperti ini apakah pernah menjadi perhatian ? sedangkan bantuan sosial tidak berlaku untuk produsen-produsen kecil apalagi rumahan, yang ada dibayang-bayangi ketakutan seperti : harus punya nomor PIRT (Pangan Industri Rumah Tangga), sertifikasi halal, registrasi macam-macam dimana hal tersebut cukup ribet untuk pergerakan penjualan karena mengurusinya tidak 15 menit selesai.
Harusnya produsen seperti ini dibawah binaan pemerintah lokal untuk terus naik kelas dan tidak perlu dikurasi mana yang sudah layak atau tidak tapi bina bersama dari yang tidak punya kapabilitas sekalipun jika punya minat dan dukungan memadai, maka akan berkembang juga dengan sendirinya.
Bahkan kabar yang tidak mengenakkan para petani dan para pekerja di sektor pangan ketika Kasus Korupsi seorang Menteri Pertanian baru-baru ini yang jumlahnya tidak sedikit dan digunakan untuk kepentingan pribadi, sangatlah ironis ditengah-tengah upah pekerja yang tidak layak dan terpaksa makan apa adanya bahkan makanan cepat saji yang mudah dikonsumsi.
Kejanggalan-kejanggalan inilah yang pada akhirnya antropologi pangan harus mulai digaungkan di Indonesia karena akar budayanya banyak sekali, amat sayang sekali jika tergerus zaman pada nilai-nilai filosofisnya, lantas jika tidak modern bagaimana ? itu bisa diatur bersama dengan melihat solusi dan kebutuhan yang relevan, nanti kan budaya juga dinamis tapi nilai-nilai baiknya tidak hilang, karena publik akan menjadi kritis dan mengevaluasi bersama atas respon ketidakseimbangan ini, ketika publik cerdasnya mayoritas, hal ini akan menghasilkan gerakan-gerakan sosial seperti lebih berani mempertanyakan :
Pangan murah, pangan terjangkau, pangan berkualitas, pangan sehat, pangan bergizi, pangan layak konsumsi, pangan khusus (untuk publik yang punya penyakit diabetes, hipertesi, stroke, asam urat dll), bahkan pangan untuk anak-anak berkebutuhan khusus yang tersedia di pasaran secara inklusif/semua golongan bisa menikmatinya, hingga publik mempertanyakan pangan asli, pangan lokal hingga pangan langka entah itu pangan endemiklah atau pangan temuan baru. Dalam antropologi pangan kondisi inilah yang disebut dengan : Civic Food Networks (Jaringan publik/masyarakat untuk inisiatif pangan bersama dengan penuh solidaritas dan kekompakan untuk menuju pangan yang adil aksesnya).
Ini juga bukan tentang seseorang itu antropolog atau bukan, namun orang bahkan masyarakat yang mampu berpikir antropologis itu ciri masyarakat berbudaya jangan selalu dibuat ekslusif karena sering menjadi hambatan tersebarnya pengetahuan. Ketika keadaan problema sosial sudah darurat dan durasinya lebih dari tiga bulan, enam bulan hingga 12 bulan (1 tahun), berarti ada kekeliruan entah itu kebijakan, para pemimpin, stakeholder (para pengambil kebijakan), masalah ekonomi, masalah sosial, kekisruhan politik, banyak orang kaya mendadak dari hasil korupsi atau penyelewengan dana-dana yang entah sumbernya darimana, sehingga publik berhak mengevaluasinya secara bersama, dan yang paling mudah adalah dengan mengembangkan pengetahuan antropologi pangan ini sebagai justifikasi sederhananya :
nih kuliner macam kentang goreng bumbu barbeque/BBQ aja kok ya bisa nyampe 50 ribu tuh, apakah kentang dieng ga potensial untuk dibudidayakan ?
Indonesia bukannya punya biji-biji kopi lokal entah dari aceh, flores, bali, jawa barat, sumatera, dll terus kenapa kopi doang bisa semahal ini atas nama "viral", dibawa kemana kopi-kopi berkualitas ini ? diekspor habis-habisan ? sampai-sampai orang Indonesianya sendiri cuma kebagian ampasnya yang dikemas sasetan bahkan dicampur tepung jagung ? harusnya penikmat kopi-kopi lokal berkualitas Indonesia itu ya orang-orang Indonesia itu sendiri, penikmat aslinya, biar dunia takjub dengan penjelasan para sruputers/penikmat kopi dari Indonesia bisa dengan lancar menjelaskan cita rasa kopi Indonesia dari berbagai daerah. Sekaya itu cita rasa penikmat kopi, belum komoditas lain. Jadi jika cita rasa kita semua sedikit, keberagaman/diversifikasi pangan itu hal utopis imajinatif.
Jeruk medan, jeruk garut, apel malang, salak manonjaya, salak bali, salak condet, durian montong, durian medan dll sampai durian kampung mengapa tidak tersebar di Indonesia, adapun jika hadir di kota lain, harganya mahal bahkan kalah oleh komoditas impor yang tampilannya menarik, kinclong, glowing, dan mengagumkan untuk dibeli.
Harusnya kalau Indonesia benar-benar berdaulat, dimaksimalkan distribusi pangan-pangan lokalnya (tahan dulu yang impor-impor boncos ga berkualitas itu, bukankah ketahanan pangan juga bagian dari ketahanan negara, mengapa banyak kecolongan ? apa pertahanan negara sudah tidak tahan ?). Buktikan jika kekuatan maritim Indonesia sekuat dongeng-dongeng sejarahnya atau memang tinggal cerita belaka ?
Mengapa Antropologi Pangan di Indonesia Tidak Populer ?
- Memang tidak ada jurusannya dan konsentrasinya, adanya di Inggris itupun buka-tutup jurusannya karena kuota penerimannya sangat sedikit dan tidak setiap tahun dibuka, tergantung Kampus dan Convenor (Penyelenggara) yang akan membuka kelasnya.
- Di Indonesia itu minim sekali Think-Tank Forum alias forum diskusi inklusif yang isinya memang berbagai latar belakang karena memang punya ilmunya, bisa praktiknya, dan punya kemampuan berpikir kritis sebagai solusi, silakan kerabat lihat juga jika mau gabung jadi pemikir saja dibatasi dengan syaratnya yang justru itu mengecilkan forum itu sendiri dan lambat laun tidak diminati karena daftar/registrasinya saja sudah mengelompokkan manusia-manusia tertentu.
- Masyarakat/Publik jauh dari jangkauan institusi akademis, ya seperti ada koridor saja, akademisi banyak tuntutan administratifnya hingga lupa ada Tri Dharma Perguruan tinggi yang melibatkan masyarakat, masyarakat/publik pun mau masuk ke kampus ya harus bayarlah, harus lulus dulu, harus jadi orang penting, ya pantesan "cilok bumbu kacang ga bisa inovatif" karena mamang-mamang cilok ga dibolehin diajak diskusi di kelas-kelas teknologi pangan atau minimal dijadikan bahan riset oleh cendekiawan ini. Semua masing-masing. Jadi, marilah melebur keegoisan ilmiah ini (scientific egoism). Bukankah tujuan pembangunan berkelanjutan poin ke-10 nya itu adalah reduce inequality (minimalisir ketidaksetaraan). Maka mulailah hal-hal tersebut sekarang.
Seperti syaratnya itu minimal S1 jurusan spesifik dan S2 bahkan S3 dalam keanggotaannya atau kalau tidak ada begitu dengan embel-embel akademis, nyarinya yang influencer yang terkenalnya bukan dari karya tapi dari rating yang itu semua bisa diciptakan dengan cara membayar atau jalur lain yang sudah terbuka sekali jasa-jasa untuk menjadi tenar. Fenomena ini disebut dengan : Performativitas Identitas.
Performativitas Identitas menurut Judith Butler (filsuf politis) bahwa hal ini merupakan aktivitas influencer yang memaksimalkan berbagai kanal, media, sumber eksposur yang berupaya membuat identitas (baik palsu, semu, buatan/hasil ciptaan/rekayasa, atau asli) tapi jarang sih influencer yang mau dengan kejujuran realita hidupnya, pasti ada gimmick/strategi mengumpulkan perhatian publik dengan berbagai trik agar tertarik pada mereka.
Sedangkan publik sudah dilelahkan dengan kewajibannya menjalani jenis peran manusia dalam kehidupannya, misalnya :
- Tanggung jawabnya sebagai Kepala Rumah Tangga dan Ibu Rumah Tangga, betapa lelahnya gotong royong mengerjakan pekerjaan domestik dari urusan kasur, sumur, dapur dan eksposur.
- Tanggung jawabnya sebagai profesional di tempat kerja atau di tempat usaha, kerabat bisa membaca kembali artikel : Rabu Bertemu #1 - Jabat Kerabat Antropolog Pangan (Betapa beragamnya latar belakang kerabat, pasti ada rasa capek, bosan, gedek/sebal, dan penuh tanggung jawab untuk mendapatkan hak kerabat dari kontribusi profesional ini).
- Tanggung jawab di keluarga, masyarakat dan sirkel tongkrongan (betapa sibuk kita-kita ini ya ?)
Dengan tanggung jawab seperti itu saja, kami melihat Think-Tank Forum di Negara Indonesia justru perlu diperbanyak dan terakses untuk publik terlebih dengan tema-tema pangan karena ini menyangkut ruang hidup (penyelamatan ekologi).
Seperti negara-negara yang punya kekuatan sektor pangannya itu berlimpah dengan peranan Think-Tank Forumnya yang justru bisa berpartisipasi pada gagasan-gagasan kebijakan karena melihat, membaca, berdialog, dan berdiskusi dengan pemikir-pemikir di Think Tank Forum ini, seperti negara : Amerika Serikat, Norwegia, Inggris, dan Belanda bahkan Australia sering mengadakan dan punya Think Tank Forum dimana selalu aktif berpartisipasi pada kebijakan pangan dunia.
Ya semoga saja, perkumpulan ini setidaknya setiap hari rabu yang sudah memasuki pertemuan naratif ke-4 ini bisa terus aktif untuk menebar seluk beluk dan studi-studi antropologi pangan untuk Sistem Pangan Indonesia yang lebih adil, sehingga semua rakyat/masyarakat/publik itu bisa bercerita tentang cita rasa karena menikmatinya dari kayanya Sumber Daya Alam dari komoditas pangan berlimpah dari negeri yang masih mau disebut agraris atau negeri industrialis yang ekstraktif ?
Kerabat silakan berkomentar jika ada yang mau menceritakan "Bagaimana Pangan Hari Ini ?", tidak perlu sungkan dan kebebasan pendapat dijamin Undang-Undang dan mari berpikiran terbuka untuk menata kembali aset berharga suatu negara yaitu : bangsanya (kerabat-kerabat ini).
Demikian - Hatur nuhun.