Ladang Tanah Airku Yang Belum Merdeka
Di pagi sepi, matahari perlahan menguak tirai kabut,
Seorang petani berdiri di ambang ladangnya,
Di sana, tanah merah berbisik kepadanya,
Tentang musim yang tiba, namun tak membawa jawab.
Cangkulnya menari, meski lunglai dalam derita,
Peluhnya jatuh, menjelma sungai kecil,
Menyuburkan tanah yang dahulu saksi perjuangan,
Namun kini diam, terkekang jerat kemiskinan.
Langit biru, saksi janji kemerdekaan,
Bendera lusuh berkibar di tiang bambu,
Namun apa arti warna merah itu?
Jika darah yang tertumpah kini mengalir kembali,
Dalam luka-luka yang tak kasat mata.
Anak kecil di bawah pohon jambu,
Duduk memeluk buku tua yang compang-camping,
Matanya terang, namun lapar,
Ia membaca huruf demi huruf,
Menyulam harap dari mimpi yang sederhana:
Sekolah tanpa hambatan, hidup tanpa hutang.
Namun, di jalan-jalan kota yang jauh,
Di gedung-gedung tinggi berlapis kaca,
Ada suara tertawa yang tak mengenal getar tanah,
Ada pesta tanpa rasa dari jerih tangan yang terabaikan.
“Adakah kemerdekaan itu untukku?”
Tanya petani, pada ladangnya yang bisu.
Ia tak meminta banyak, hanya secuil adil,
Hanya sejumput makmur yang tak hanya cerita.
Malam tiba, bulan mengintip dari balik awan,
Petani itu terpekur, memeluk doa.
Di sela-sela bintang yang berkilau,
Ia titipkan mimpi untuk tanah ini,
Tanah yang katanya merdeka,
Namun nyatanya masih terseok dalam luka.
Dan ketika fajar kembali menyentuh cakrawala,
Ia melangkah lagi,
Dengan harapan yang ia genggam erat,
Meski lelah, meski sendiri,
Ia percaya, suatu saat,
Tanah ini benar-benar akan merdeka
Merdeka dari rasa lapar di Negeri yang kaya raya
05 Januari 2025,
Ririe Aiko