Kotekatalk-198: Mengenalkan Budaya Indonesia Lewat Wayang Sampah
Ketika sampah menjadi kreativitas budaya tiada tara (dok. Toni Konde)

Kotekatalk-198: Mengenalkan Budaya Indonesia Lewat Wayang Sampah

Mulai : Sabtu, 19 Oktober 2024 16:00 WIB
Selesai : Sabtu, 19 Oktober 2024 16:40 WIB
Zoom
00
00
00
00
Hari Jam Menit Detik
0 Peserta Mendaftar

Hi, Koteker dan Kompasianer. Apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan.

Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia mengundang admin Koteka Siti Asiyah yang sedang berada di tanah air, untuk menceritakan keseruan nostalgia ngamen di Malioboro, Yogyakarta.

Mbak Siti adalah artis Indonesia yang malang melintang di Bonn, Jerman dan sekitarnya untuk mengenalkan musik dan lagu tanah air Indonesia Raya. Dengan bendera Pesanggrahan Indonesia, ia sering pentas bersama diaspora dan orang Jerman atau orang asing untuk menjamu penonton di beberapa kota di Jerman,  bahkan di Belanda.

Nggak heran jika ia terlihat luwes bergabung dengan band-band yang ada di sekitar Malioboro. Entah itu band musik modern atau tradisional yang mengusung angklung atau kulintang, mbak Siti tampak menikmati untuk menjadi penyanyinya. Mulai dari Bintang bersinarnya Niki Ardila sampai Kopi Dangdut, menjadi lagu-lagu yang dipilih mbak Siti. 

Mbak Siti sangat bangga bahwa anggota grupnya yang bervariasi merupakan kebhinekaan yang luar biasa. Ada yang mahasiswa, ada yang dosen, ada yang mantan PNS, atau pekerja swasta yang menjadi satu tim untuk menyuarakan hati dengan lagu dan musik. Mbak Siti juga menceritakan tentang grup band dari luar kota seperti Medan. Jadi, nggak hanya yang dari Yogyakarta, ya. 

Perempuan asli Purworejo yang juga berdomisili di Yogyakarta ini merasa sangat dekat dengan UMKM dan ekonomi kreatif yang ada di sekitarnya. Menurutnya, Malioboro terlihat semakin cantik dibanding 10-20 tahun terakhir. Ini bagus, karena penataannya tentu akan membantu mengangkat pariwisata Malioboro serta kualitas dari ekonomi kreatif yang ada di sana. Konon, band-band sudah diatur dengan baik oleh departemen pariwisata. Ini tentu semakin memberi kenyamanan turis asing atau lokal yang menikmati kuliner di sekitar Malioboro. Makan sambil diiringi musik itu sesuatu. Romantis, kali. 

Semoga apa yang mereka perjuangkan akan lestari. Jangan lupa ke Yogyakarta, mampir Malioboro, ya?

Dari Yogyakarta, Mimin ajak kalian ke Surakarta. Adalah Muhammad Sulthoni Sastrowijoyo aka Toni Konde. Founder Wayang sampah atau paguyuban Wangsa di Surakarta ini pastinya akan memberikan inspirasi yang luar biasa terhadap kita generasi muda Indonesia.  Sampah, bisa diolah menjadi barang berharga. Bahkan, ini menjadi media yang bagus dan menarik untuk mengenalkan budaya tanah air. Joss. 

Lebih jauh tentang mas Toni. Pria kelahiran Tanjung Karang tahun 1976 ini mulai tertarik terjun ke dunia seni pertunjukan berawal dari kecintaan terhadap alam dan lingkungan serta menemukan masalah-masalah lingkungan di sekitar yang telah memberi inspirasi untuk menciptakan karya-karya seni yang berwawasan lingkungan sebagai bahan edukasi kepada masyarakat dengan memanfaatkan berbagai macam barang bekas atau sampah. 

Kreator wayang kontemporer dan pembuat alat musik itu menelorkan karya "Wayang Saru" tahun 2011, "Wayang sampah" tahun 2014, "Limbah Berbunyi" tahun 2016, "Trash Gamelan" tahun 2018, "Gamelan Beling (kaca)" tahun 2021, "Keroncong Babe (barang bekas)" tahun 2023. Banyak pertunjukannya yang sudah digelar di kota-kota di bumi nusantara dan luar negeri seperti di Bandung tahun 2012, 2013 dan 2015, Yogyakarta tahun 2016 dan 2018 dan Jakarta tahun 2022. Di mancanegara, sebut saja Taiwan tahun 2018, Thailand tahun 2019, Filipina tahun 2019. Wow, wayang sampah go international!

Mengapa ia ingin mengubah sampah menjadi wayang? Bagaimana cara dan proses membuat wayangnya? Di mana ia membuatnya, berapa pula beanya? Apa saja figur wayang yang diciptakannya? Terinspirasi dari apa dan siapa?  Saat tampil di pertunjukan, apa yang harus ia persiapkan mulai dari personil pendukung sampai musik dan alat-alat? Apa tanggapan masyarakat dalam dan luar negeri terhadap wayangnya? Apakah penonton ditarik bea tiket? Bagaimana ia menyimpan dan merawat wayangnya? Bagaimana dengan regenerasi wayang sampah supaya diteruskan anak cucu? Bagaimana tanggapan dinas pariwisata terhadap ide kreatif ini? Apa kesulitan yang dihadapi paguyuban Wangsa dalam menyebarkan wayang sampah? Dibanding dengan wayang kulit klasik atau wayang golek klasik, apa keutamaan wayang sampah? Apa proyek dan pertunjukan di masa mendatang? Ke Eropa atau Amerika mungkin?

Untuk tahu lebih banyak tentang jawaban mas Toni Konde, Mimin undang kalian untuk hadir pada:

  • Hari/Tanggal: Sabtu/ 19 Oktober 2024
  • Pukul: 16.00 WIB/ 11.00 CEST Berlin
  • Link: DISINI

Kalian yang peduli terhadap lingkungan dan budaya, silakan merapat. Ini akan memberikan dampak yang positif buat kalian dan dunia ini. 

"Ke Bogor jangan lupa mampir ke istana. Di Bogor ada bunga Raflesia. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita bangkitkan pariwisata Indonesia?" (Menparekraf Sandiaga Uno, Kotekatalk-83, 2 April 2022).

Jumpa Sabtu.

Salam Koteka. (GS)

0 Peserta Mendaftar


Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar