Hi, Koteker dan Kompasianer, apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan?
Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana dan Perempuan Berkebaya Indonesia-Eropa sudah mengundang mbak Asti Tyas Nurhidayati, salah satu member PBI di Islandia untuk berbagi tentang negara tempat ia melabuhkan cintanya dan sekilas suasana ramadan di sana. Wow, rekor di musim panas mencapi 22 jam puasa, lho!
Banyak orang nggak tahu, di mana letak Islandia. Sampai bapaknya mbak Asti bingung mencari di peta. Bapak sampai menggunakan suryakanta, kaca pembesar untuk melihat pulau di peta, saking kecilnya. Pulau yang banyak angin dan badai itu menjadi tempat tinggal putrinya sampai hari ini. Jumlah penduduknya 360.000 orang, mungkin di Indonesia hanya 1-2 kecamatan saja.
Ditanya tentang pengalaman jalan-jalannya pada hari-hari terakhir sebelum zoom, mbak Asti menyebut bahwa, Islandia sangat menawan dengan keindahan seperti:
- air terjun
- gunung berapi
- pantai
- salju
- pegunungan
- museum
Untuk ke sana, kita orang Indonesia bisa menggunakan visa schengen. Nah, masa berlaku visa kalian yang sudah pernah melamar, masih berlakukah?
Mbak Asita yang menikah di Islandia pada tahun 2014 itu baru pindah ke Islandia pada tahun 2016. Karena nggak tahu bahwa ramadan jatuh pada bulan Juni tahun itu, dan lamanya 22 jam, perempuan Jogja itu kaget. Apalagi, waktu ia datang sudah malam pukul 00.00 tapi masih terang benderang. Jadi begitu maghrib, berbuka puasa, Isya, tarawih, 2 jam kemudian sudah Subuh! Cepat banget, kayak estafet sambil sprint. Menurut perasaannya, matahari hanya angslup selama 30 menit. Bingung, kan? Nggak heran jika suaminya yang asli orang sana, terbiasa memakai penutup mata saat tidur, saking terangnya di malam hari.
Ditanya soal masjid, ia tersenyum. Banyak aliran, rupanya. Jadi buka puasanya juga berbeda:
- Ada yang sesuai jam matahari atau berpuasa 22 jam lamanya
- Ada yang dispensasi sesuai fatwa
- Ada yang mengikuti jam Arab di mana populasi masyarakat Islamnya banyak. Misalnya mereka itu menganut masjid Al Azhar Mesir.
- Ada yang mengikuti masjid terdekat di Inggris, yang hanya 16-17 jam saja puasanya.
Jadinya mbak Asti yang manis itu geli, misalnya kalau berbuka puasa dengan masyarakat Indonesia di sana, tiap-tiap orang punya jam berbuka yang berbeda sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Jadwal Shubuh dan Sholat wajar; Subuh 5:56 dan Maghrib 19:00. Misal yang ikut fatwa berbuka pukul 18:00, yang ikut Arab pukul 17:00 dan yang ikut di mana mereka tinggal di Indonesia pukul 17:30. Yang penting, kata perempuan yang pernah lama bekerja di LSM Indonesia itu, kuliner Indonesia sebagai menu buka puasa, menyatukan diaspora di sana. Mendekatkan dengan suasana Indonesia saat berbuka puasa.
Kata istri yang suaminya nggak suka pedas itu, kuliner Islandia yang harus kita coba adalah:
- ikan salmon
- daging kambing atau domba (biasanya dilepas di musim panas di gunung-gunung dan lembah selama 4 bulan lamanya, sehingga dagingnya enak nan sehat.
- sop kambing adalah makanan tradisionalnya (yang dicampur dengan kentang dan wortel)
Sebagai anggota PBI - Eropa di Reykjavik, ia bangga mempromosikan kuliner Indonesia dan tentunya, kebaya orang Indonesia sebagai kekayaan tak benda yang diakui UNESCO baru-baru ini. Bagaimana dengan kalian?
Nah, dari Islandia, Mimin Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia e.V Bonn mengajak kalian ke Oakland, California, Amerika Serikat. Di negeri paman Sam ini ada mas Garna Raditya. Musisi dan penulis lagu asal Semarang itu akan menceritakan bagaimana sih, mudahnya kabur ke AS tapi rupanya untuk bertahan tidaklah semudah kata-kata.
Vokalis dan gitaris dari grup musik grincore AK//47 itu merilis album keduanya, "Sambal dari Surga" pada tahun 2022 diluncurkan secara digital. Apa kabar mas Garna yang sudah lama pindah dari Semarang ke Oakland? Jalan-jalan ke mana saja selama ini di sana? Orang Indonesia susah nggak sih, visa ke sana? Apa kuliner Oakland? Bagaimana mas Garna sampai Amerika? Bagaimana pengurusan visanya waktu itu? Apa saja yang dikerjakan di sana? Bisa cerita suka duka jadi musisi dan penulis lagu di negeri orang? Apakah soal hak cipta dan royalti musik atau lagu sedang ramai seperti di tanah air? Oh, ya, selain visa menikah dan studi, apa saja peluang orang Indonesia untuk kabur ke sana? Maklum sekarang ini lagi tren #kaburajadulu. Apa yang menyebabkan orang Indonesia nggak betah di sana? Bagaimana hubungan mas Garna dengan komunitas diaspora di sana? Apa pesan mas untuk traveler, blogger dan generasi muda Indonesia supaya hidup semakin hidup?
Untuk tahu jawabannya, simak perbincangan mbak Gana Stegmann selaku moderator dengan mas Garna Raditya pada:
- Hari/Tanggal: Sabtu, 15 Maret 2025
- Pukul: 16.00 WIB Jakarta/ 10.00 CET Berlin/ 02.00 PDT
- Link: DI SINI
"Buah durian harum baunya, buah manggis manis rasanya. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana, kita keliling dunia." (Koteka).
Jumpa Sabtu.
Salam Koteka. (GS)