

Oleh: A. Rusdiana
Dalam ekosistem pendidikan tinggi masa kini, kolaborasi riset menjadi keniscayaan. Penelitian multidisiplin, publikasi bersama, dan proyek lintas institusi menuntut kerja sama yang saling menghargai. Namun, realitas di lapangan sering berbeda. Fenomena “author manipulation”, penghapusan nama kontributor, atau pengakuan palsu atas karya ilmiah masih sering terjadi. Ego akademik kadang lebih kuat daripada nilai kemanusiaan yang melandasi ilmu pengetahuan.
Teori Ethical Collaboration dari Mary Parker Follett menegaskan bahwa kerja sama sejati bukan sekadar pembagian tugas, tetapi perpaduan nilai dan tanggung jawab moral. Sementara itu, teori Social Exchange (Blau, 1964) menjelaskan bahwa hubungan kolaboratif yang sehat berdiri di atas prinsip timbal balik yang adil. Dalam konteks akademik, pengakuan terhadap kontributor adalah bentuk “imbal sosial” atas investasi intelektual dan emosional yang mereka berikan.
Masalah muncul ketika etika kolaborasi tidak diinternalisasi dalam budaya akademik. Banyak mahasiswa atau dosen muda yang unggul secara teknis (method), tetapi lemah dalam mindset of integrity and teamwork (MicT). Padahal, tanpa kesadaran etis, kolaborasi hanya menjadi alat eksploitasi akademik, bukan sarana membangun legasi ilmiah.
Tulisan ini bertujuan menegaskan pentingnya kolaborasi etis dan penghargaan terhadap kontributor sebagai fondasi integritas akademik di era digital dan open science. Melalui lima pembelajaran kunci, penulis mengajak civitas akademika untuk menata ulang makna kerja sama ilmiah. Berikut Pembahasan: Lima Pembelajaran Mendalam dari Kolaborasi Etis dan Penghargaan terhadap Kontributor:
Pertama: Kolaborasi Etis Menumbuhkan Rasa Keadilan Ilmiah; Setiap riset, sekecil apa pun, melibatkan tenaga dan pikiran banyak pihak. Mengakui kontribusi mereka berarti mengembalikan hak moral yang melekat pada proses ilmiah. Keadilan akademik bukan hanya soal output karya, tetapi juga proses yang menjunjung martabat setiap individu.
Kedua: Penghargaan terhadap Kontributor sebagai Wujud Integritas Akademik
Integritas tidak berhenti pada kejujuran data, tetapi juga pada kejujuran sosial. Memberi kredit kepada kontributor adalah bentuk tanggung jawab etis yang meneguhkan nilai trust dalam komunitas ilmiah. Dalam konteks pendidikan, penghargaan ini menumbuhkan budaya saling menghormati antara pembimbing, mahasiswa, dan mitra riset.
Ketiga: Kolaborasi Etis Meningkatkan Kualitas Pengetahuan; Riset kolaboratif yang terbuka terhadap peran setiap pihak menghasilkan perspektif yang lebih kaya. Dalam teori Collective Intelligence (Lévy, 1997), pengetahuan tumbuh ketika ide-ide berbeda saling memperkaya. Etika kolaborasi menjaga agar setiap kontribusi tetap orisinal dan bermanfaat bagi pengembangan ilmu.
Keempat: Menghapus Nama Kontributor vs Menghapus Nilai Kemanusiaan; Ketika seseorang menghilangkan nama rekan sejawat dari publikasi atau laporan penelitian, ia tidak hanya mencuri hak akademik, tetapi juga merusak tatanan moral. Kejujuran dalam menyebut kontributor adalah bentuk penghormatan terhadap perjuangan dan kemanusiaan yang melandasi riset itu sendiri.
Kelima: Kolaborasi Etis sebagai Legasi Sosial Ilmu Pengetahuan; Ilmu tidak pernah tumbuh dalam isolasi. Ia lahir dari dialog, kritik, dan sinergi. Kolaborasi etis menjadikan setiap penelitian bukan hanya milik individu, melainkan bagian dari warisan sosial pengetahuan manusia. Dengan demikian, setiap ucapan terima kasih, sitasi, atau pengakuan bukan formalitas melainkan jejak etis yang memperkuat ekosistem akademik. Kolaborasi etis dan penghargaan terhadap kontributor bukan sekadar etika tambahan, melainkan inti dari academic citizenship.
Tanpa nilai-nilai itu, pendidikan tinggi kehilangan jiwanya: integritas, keadilan, dan kemanusiaan. Maka dengan ini merekomendasikan: 1) Bagi lembaga pendidikan: perlu membangun sistem ethical audit publikasi dan penelitian; 2) Bagi dosen dan peneliti: jadikan kolaborasi sebagai sarana pembelajaran moral, bukan sekadar strategi publikasi; 4) Bagi mahasiswa: kembangkan budaya “berterima kasih secara ilmiah” melalui sitasi dan acknowledgements yang jujur; 5) Bagi pemerintah dan pengelola jurnal: terapkan regulasi yang tegas atas pelanggaran hak kontributor.
Kolaborasi etis adalah wajah sejati ilmu pengetahuan. Ia tidak mengenal dominasi, tetapi berbagi; tidak meniadakan yang kecil, tetapi mengangkat semua yang berkontribusi. Dalam dunia akademik yang kian kompetitif, penghargaan terhadap kontributor bukan sekadar formalitas melainkan bentuk cinta terhadap kebenaran. Karena pada akhirnya, ilmu yang berintegritas adalah ilmu yang menghargai manusia. Wallahu A’lam.