Menulis: Membeskan Pikiran atau Sekedar Formalitas?

2025-10-03 01:56:13 | Diperbaharui: 2025-10-03 01:59:28
Menulis: Membeskan Pikiran atau Sekedar Formalitas?
 

Oleh: A. Rusdiana

Perkuliahan semester Ganjil tahun akademik 2025/2026 dimulai 1 September hingga 19 Desember 2025. Di jenjang S1, saya mengajar Metode Penelitian, sementara di S2 mengampu Manajemen Sumber Daya Pendidikan dan Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Dalam pengalaman ini, saya menemukan bahwa menulis bukan sekadar tuntutan tugas kuliah, tetapi sekaligus sebuah soft skill global yang menentukan daya saing dan branding akademik seseorang. Teori Job Demand dan Job Resources menjelaskan bahwa pekerjaan yang menantang, bila didukung sumber daya yang tepat, akan menghasilkan work engagement. Menulis termasuk di dalamnya: ia menantang, tetapi juga memberi energi baru. Wenger melalui konsep community of practice menekankan bahwa belajar terjadi dalam komunitas; menulis di ruang kebersamaan seperti “Pena Berkarya Bersama” adalah praktik kolektif. Vygotsky pun menegaskan, menulis adalah produk sosial, hasil interaksi dengan lingkungan dan orang lain.

Namun, sering kali menulis hanya dijalani sekadar formalitas. Padahal, jika suatu pekerjaan tidak ditangani oleh ahlinya, kehancuran tinggal menunggu waktu. Sama halnya dengan menulis akademik yang tidak sungguh-sungguh: ia berakhir sebagai catatan kosong, bukan ilmu yang membebaskan. Inilah yang saya sebut sebagai mind match kesesuaian antara kualifikasi akademik dan integritas menulis. Tujuan tulisan ini adalah mengajak mahasiswa dan dosen untuk memaknai menulis sebagai tindakan membebaskan: membebaskan dari keterikatan pada rutinitas, dari kepura-puraan, dan dari sekadar retorika. Berikut Lima Pilar Menulis sebagai Tindakan Membebaskan:

Pertama: Menulis sebagai Tugas Akademik yang Bermakna; Di ruang kuliah, menulis sering dipandang sebagai beban. Padahal, ia adalah sarana mahasiswa membangun critical thinking dan integritas. Menulis yang baik harus mengacu pada aturan akademik, menghargai sumber, dan menolak plagiasi. Sama pentingnya dengan menolak gratifikasi, misalnya pemberian dari mahasiswa kepada dosen setelah ujian. Menulis mengajarkan disiplin, kejujuran, dan tanggung jawab intelektual—nilai yang jauh melampaui sekadar nilai angka.

Kedua: Menulis sebagai Alat Refleksi Diri; Tulisan bukan hanya salinan teori. Ia adalah cermin pengalaman dan refleksi personal. Mahasiswa yang menulis dengan reflektif akan mampu melihat makna di balik data, teori, dan praktik. Menulis membebaskan dari rutinitas kaku, sekaligus menumbuhkan kepekaan sosial. Refleksi dalam tulisan membantu mahasiswa memahami dirinya, lingkungannya, dan tantangan akademik yang dihadapinya.

Ketiga: Menulis sebagai Kolaborasi Komunitas; Menulis tidak harus selalu individual. Dalam community of practice seperti “Pena Berkarya Bersama”, tulisan adalah produk dialog. Dengan berbagi tulisan, mahasiswa belajar menerima kritik, memperbaiki naskah, dan menguatkan literasi digital. Inilah bentuk nyata menulis sebagai kebersamaan. Ia membebaskan karena bukan hanya suara individu, tetapi gema pikiran kolektif yang memperkuat daya kritis bersama.

Keempat: Menulis sebagai Branding Akademik; Setiap tulisan yang dipublikasikan di ruang digital menjadi jejak intelektual. Menulis secara konsisten membangun identitas dan reputasi akademik. Inilah yang disebut branding akademik: bukan sekadar dikenal, melainkan diakui karena kualitas gagasan. Menulis membebaskan dari keterbatasan ruang kelas, sekaligus membuka akses menuju percakapan global.

Kelima: Menulis sebagai Soft Skills Global; Di dunia kerja, keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Menurut teori Job Resources, menulis menjadi modal komunikasi, problem solving, dan kepemimpinan diri. Mahasiswa yang aktif menulis tidak hanya berkompeten secara akademik, tetapi juga memiliki soft skills strategis yang diakui dalam persaingan global. Menulis membebaskan karena ia memampukan mahasiswa melampaui batas-batas administratif menuju keterampilan hidup yang nyata.

Menulis adalah tindakan membebaskan: membebaskan dari rutinitas mekanis, dari sekadar retorika, dari plagiarisme, dan dari kejumudan berpikir. Tulisan yang lahir dari kesadaran akan bernilai jangka panjang bagi individu maupun institusi. Rekomendasi: 1) Dosen perlu menumbuhkan ruang reflektif dalam tugas menulis, bukan hanya menilai hasil akhir; 2) Mahasiswa perlu membangun kebiasaan menulis sebagai habit, bukan sekadar kewajiban; 3) Institusi pendidikan sebaiknya mengapresiasi karya tulis sebagai bagian dari penguatan branding akademik.

Singkatnya, menulis tidak cukup dianggap sebagai kewajiban administratif. Ia adalah tindakan membebaskan pikiran, memperluas horizon, dan merawat integritas akademik. Dalam komunitas “Pena Berkarya Bersama”, setiap tulisan adalah bukti bahwa kata-kata mampu mengikat kebersamaan sekaligus membebaskan kesadaran.

 

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar