Merdeka Menulis

2023-06-03 09:49:24 | Diperbaharui: 2023-06-03 09:49:24
Merdeka Menulis
sumber gambar : https://pixabay.com/id/photos/kantor-catatan-buku-catatan-620817/


Jurnalisme warga itu sebentuk jalan alternatif ketika media arus utama takut ini dan itu. Ada mekanisme kontrol yang memang sangat tidak sembarangan, UU.

Selain itu jelas dapur begitu banyak orang, jadi tidak sembarangan. Solusi alternatif dari itu semua bisa dijembatani oleh penulisan amatir yang terwadahi dalam jurnalisme warga. Siapapun bisa menulis, mau ngaco, serius, koplak, atau berdasar bisa menjadi satu dalam wadah blog keroyokan.

Apa korelasi kemerdekaan menulis?

Ada dua, menulis dengan bertanggung jawab atau menulis secara serampangan karena memiliki tujuan mengubah persepsi publik. Pada sisi lain kemerdekaan bisa menuangkan gagasan, ide, pemikiran, dan suara dalam bentuk tulisan. Hal yang sama itu berhadapan dengan relasi kekuasaan.

Baca relasi kuasa ini belum tentu pemerintah, atau rezim berkuasa. Menulis bertanggung jawab bukan berarti menghianati demokrasi. Malah itulah esensi kebebasan bersuara yang hakiki. Kebebasan yang bertanggung jawab bukan malah bebas asal njeplak. Hal ini bisa terjadi karena merasa demokrasi itu bebas sebebas-bebasnya. Padahal tidak demikian yang seharusnya.

Pada kutub yang berbeda, kebebasan itu diartikan bisa untuk menyuarakan bahkan suara kebohongan, kebenaran yang sudah dimanipulasi, dan kebenran separo. Lihat saja hoax begitu merajalela. Apakah mereka kurang literasi atau pengetahuan? Sangat tidak mungkin. Bahkan ada elit negeri ini menggunakan hal ini.

Pembentukan opini sangat mudah dengan maksud dan tujuan viral adalah mahakuasa hari-hari ini. Pendistorsian data dan informasi atas nama kebebasan berpendapat dan demokrasi adalah iblis yang berkedok. Modernitas dan agama menjadi alat dalam membenarkan aktivitas busuk. Kebebasan bukan berarti memproduksi danmendistribusikan kebohongan dengan sengaja dan masif.

Sejak pemilu presiden 2014, dilanjutkan pilkada DKI 2017, dan pilpres 2019 mode lberdemokrasi ini sangat masif. Akal-akalan dan okol bernama demokrasi. Dua sisi demokrasi yang harus disadari sebagai sebuah konsekuensi logis pilihan bernegara sistem demokratis.

Memilukannya belum dibarengi dengan kemampuan atau literasi dan kecerdasan jiwa sehingga berani menang sekaligus berani kalah. Maunya menang dan berkuasa dan abai bekerja. Kemerdekaan menulis dan berpendapat itu juga belum bisa sepenuhnya ketika penulis itu takut, jerih, khawatir, dan cemas atas keselamatan dirinya, buah pikirnya, atau karyanya. Contoh, di Kompasiana ada beberapa “hukuman” tanpa label, cabut label, masuk karantina, hapus artikel, degradasi centang, dan ujungnya hapus akun.

Konsekuensi “dompleng” meskipun berbayar, ada relasi kuasa di sana, penulis hanya ikut maunya manajemen dan admin pengelola. Hal yang masih lumrah dan sangat wajar, demi kepentingan dan afiliasi tertentu sangat terbuka kemungkinan itu.

Wong faktanya sesama penulis saja bisa meneror, mengata-ngatain, bahkan mencaci maki. Sudah sangat kenyang asam garam model pencaci tanpa prestasi ini. Jangan dianggap itu hal sepele, sangat mungkin bisa persekusi fisik dan penganiayaan.

Pernah ada pesan masuk dan mengatakan, jika menulis partai tertentu, kelihatannya anggota dari partai itu yang berpesan, agar lebih obyektif. Ukuran obyektif atau subyektif itu sangat sumir, sudut pandang sudah sangat menentukan.

Kekuasaan, bukan harus pemerintah atau aparat sebagaimana cara-cara Orba, sangat mungkin petinggi partai, perusahaan, atau organisasi bisa menimbulkan teror. Mengerikan jika demikian. Jauh lebih berkelas dan bermartabat tulisan balaslah dengan tulisan bukan menggunakan aparat atau relasi kuasa.

Intimidasi, persekusi jelas memperlihatkan jiwa kerdil, termasuk jika itu adalah badan atau organ negara, lebih memalukan. Aneh saja sebenarnya, jika benar berdemokrasi, jika keliru ya jawab dengan tulisan yang sama. Jika masih membandel laporkan polisi, proses itu dengan semestinya. Argumen, dasar berpikir, data yang pasti atau valid, bukan intimidasi ketika menghadapi kebenaran.

Berbeda ketika itu adalah fitnah, laporkan saja ke pengak hukum secara langsung, bukan main ancam dan persekusi, termasuk oleh aparat penegak hukum dengan memungggungi hukum. 

Media seharusnya lepas kepentingan dan tidak takut pada preman-preman berseragam, apalagi jika cuma ormas. Miris juki itu terjadi. bagaimana bisa pilar keempat demokrasi katanya, namun masih takut pada seragam, kekuasaan, apalagi jika takut lapar. Karakter itu penting. Bagaimana menjadi penulis merdeka?

Tidak kenal takut, berani bertanggung jawab atas apa yang sudah dituliskan. Tentu pribadi demikian tidak akan abai soal data. Apa yang dutuangkan dalam karya, tulisan itu pasti sudah memiliki dasar berpikir dan bertindak yang sangat kuat. 

Mengedepankan kebenaran universal, bukan kebenaran versi pribadi atau malah hanya kelompoknya sendiri. Lihat saja apa yang terjadi di negeri ini. Memiliki dasar berpikir dan berkarya sangat jelas, sahih, bukan semata-mata asumsi dan isu atau kata orang. Data penunjang yang sangat cukup.

Opini itu asumsi boleh, namun perlu dasar berpikir dengan logika waras dan lurus. Contoh logika bengkok itu mengatakan nasionalis tetapi perilaku dan buah pikirnya rasis. Rekam jejak sangat menentukan bagaimana pola logika yang terbentuk itu bisa ditelaah. Pendidikan sangat menentukan penulis itu merdeka, ngaco, atau lebih merisaukan hanya pembeo semata. Berani beda dan memiliki dasar pikir yang kuat itu tidak menjadi soal.

Terima kasih dan salam
Susy Haryawan

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
12 Orang menyukai Artikel Ini
avatar
Keduax 😂
2023-06-08 18:19:04
Merdeka dalam menulis, pesan yg tepat. Jadilah penulis yang merdeka asal tepat data.
2023-06-03 12:59:09