Di sekolah, cerita rakyat biasanya hadir dalam versi yang rapi, moralnya jelas, dan semua tokohnya sudah dikotak-kotakkan. Ada yang baik, ada yang jahat, ada yang cantik, ada yang seram. Kita menghafal nama-namanya, lalu melupakannya saat ujian selesai. Padahal, di balik tiap kisah itu ada potongan sejarah, politik, bahkan ekologi yang disamarkan.
Saya ambil contoh, tiga karakter perempuan yang terkenal dalam cerita rakyat, yaitu Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, dan Dewi Sri. Mereka bukan sekadar karakter mitos yang nongol di buku pelajaran atau jadi alasan kenapa kita dilarang pakai baju hijau ke pantai selatan.
Tahukah kamu? Ketiganya juga arsip hidup tentang bagaimana masyarakat dulu memandang hubungan antara alam, perempuan, dan kekuasaan. Dan ketika dibaca ulang lewat kacamata ekofeminisme, kisah Nyi Rorokidul, Nyi Blorong, dan Dewi Sri ini bisa berubah dari sekadar legenda jadi kritik sosial yang nyaris abadi.
Ekofeminisme sendiri, kalau mau dibikin gampang, adalah pandangan yang melihat penindasan terhadap perempuan dan kerusakan lingkungan sebagai dua sisi dari koin yang sama. Keduanya lahir dari sistem yang memuja kontrol, mengobjektifikasi, dan mengabaikan keseimbangan.
Jadi, saat kita membicarakan Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, atau Dewi Sri, kita sebenarnya sedang bicara tentang bagaimana laut, hutan, dan sawah diperlakukan.
Nyi Roro Kidul: Sang Ratu Laut yang Dikarang, Disalahpahami, dan Diperalat
Kita mulai dari yang paling populer, Nyi Roro Kidul, Ratu Pantai Selatan. Versi yang sering kita dengar menggambarkannya sebagai perempuan cantik berbalut kebaya hijau, misterius, dan konon bisa menyeret manusia ke dasar laut jika berani melanggar aturan.
Padahal, kalau kita gali, kisah Nyi Roro Kidul jauh lebih rumit. Dalam beberapa versi Jawa, ia adalah perempuan yang dituduh membawa sial, diusir, atau dikutuk, lalu menemukan kekuasaannya di laut. Laut baginya adalah rumah, kerajaan, sekaligus sumber kedaulatan.
Dari kacamata ekofeminisme, Nyi Roro Kidul bukan sekadar “hantu laut,” tapi penjaga ekosistem. Laut selatan yang ombaknya ganas, arusnya kuat, adalah simbol kekuatan alam yang tidak bisa dipaksa tunduk.
Mitos tentang larangan memakai baju hijau bukan sekadar takhayul, melainkan kode budaya untuk menghormati batas. Jangan serakah, jangan menantang wilayah yang bukan milikmu.
Kalau mitos ini kita bawa ke isu modern, Nyi Roro Kidul mungkin akan berdiri di garis depan menolak tambang pasir besi, reklamasi pantai, atau pencemaran laut. Ia akan berseru, “Kalau kalian seret pasir ini untuk proyek properti, siap-siap aku seret balik ke palung laut.” Dan jujur saja, saya rasa itu ancaman yang lebih efektif daripada sanksi administratif.
Nyi Blorong: Dari Monster Bersisik Emas ke Simbol Kapitalisme Alam
Berbeda dari Nyi Roro Kidul yang sering diasosiasikan dengan keanggunan mistis, Nyi Blorong lebih sering digambarkan sebagai sosok setengah manusia setengah ular, bersisik emas.
Cerita yang populer di masyarakat sering bernuansa horor dan tamak. Katanya, siapa pun yang “bersekutu” dengan Nyi Blorong bisa mendapatkan kekayaan, tapi harus membayar dengan nyawa atau moralnya.
Dalam mitos Jawa, Nyi Blorong kadang disebut anak buah atau perwujudan lain dari Nyi Roro Kidul. Tapi jika dibaca ulang, Nyi Blorong ini seperti perwujudan alam yang dieksploitasi untuk emas dan uang.
Sisik emasnya bisa dibaca sebagai sumber daya alam, entah itu emas, batu bara, nikel, yang menggiurkan tapi membawa kutukan jangka panjang.
Ekofeminisme mengajak kita melihat bahwa tubuh Nyi Blorong adalah metafora alam perempuan yang diobjektifikasi. Tubuhnya adalah tambang, dan “perjanjian” dengannya adalah kontrak-kontrak yang hanya menguntungkan pihak tertentu. Siapa yang rugi? Masyarakat sekitar dan ekosistem yang rusak.
Kalau Nyi Blorong hidup di era sekarang, mungkin dia akan muncul di sidang DPR, membanting meja sambil berseru, “Bukan aku yang jahat. Kalian yang memaksa mencabut sisik emas ini sampai habis.” Dan saya rasa itu akan jadi rapat paling viral se-Indonesia.
Dewi Sri: Dewi Padi, Perempuan, dan Perlawanan Sunyi
Setelah laut dan hutan, kita masuk ke sawah. Dewi Sri adalah dewi padi, pelindung pertanian, dan simbol kemakmuran, terutama dalam budaya Jawa, Sunda, dan Bali. Gambarnya sering muncul di lumbung, upacara panen, bahkan di batik.
Versi populer menggambarkan Dewi Sri sebagai sosok yang baik hati, penuh kasih, dan selalu membawa padi emas. Tapi kalau dibaca lewat kacamata ekofeminisme, Dewi Sri bukan sekadar pembawa rezeki.
Ia adalah arsitek keberlanjutan pangan. Ritual untuknya adalah cara masyarakat agraris menjaga siklus tanam, air, dan tanah agar tetap seimbang. Namun, dalam modernisasi pertanian, peran Dewi Sri direduksi jadi ornamen budaya.
Lahan sawah dikonversi jadi pabrik, varietas padi lokal tergantikan oleh benih hibrida yang harus dibeli tiap musim. Seolah kita bilang ke Dewi Sri, “Terima kasih sudah menjaga kami berabad-abad, tapi sekarang kami lebih percaya pada brosur pupuk kimia.”
Kalau Dewi Sri masih bisa bicara, mungkin ia akan berkata sambil melipat lengan kebayanya. “Kalian ini lucu. Dulu minta hujan ke aku, sekarang minta hasil panen ke korporasi. Terus kalau gagal panen, balik nyalahin cuaca.”
Tiga Alam, Tiga Perempuan, Satu Pesan
Kalau kita satukan, Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, dan Dewi Sri adalah penjaga tiga elemen kunci kehidupan, yaitu laut, hutan/alam liar, dan pangan. Ketiganya punya kesamaan, bahwa mereka berwujud perempuan, yang dalam banyak budaya dianggap dekat dengan alam, tapi justru sering disalahpahami atau dimitoskan untuk kepentingan tertentu.
Kekuasaan mereka sama-sama besar, tapi sering direduksi jadi cerita seram atau sekadar daya tarik wisata. Pesan mereka tentang batas dan hormat pada alam sering diabaikan.
Ekofeminisme mengingatkan kita bahwa merusak laut berarti melawan Nyi Roro Kidul, mengeruk alam berarti menguliti tubuh Nyi Blorong, dan mengabaikan keberlanjutan pangan berarti mengusir Dewi Sri dari sawah.
Bayangkan kalau kita menulis ulang kisah mereka, bukan sebagai legenda yang statis, tapi sebagai manifesto ekologi. Kita misalkan begini:
Nyi Roro Kidul bukan lagi sekadar ratu mistis, tapi aktivis laut yang melawan polusi plastik, tambang pasir, dan overfishing. Setiap ombak besar adalah konferensi persnya.
Nyi Blorong bukan monster rakus, tapi saksi bisu dari deforestasi, pencemaran tambang, dan perdagangan satwa. Sisik emasnya adalah simbol betapa mahalnya harga ekosistem yang hilang.
Dewi Sri bukan sekadar dewi panen, tapi pengingat bahwa kedaulatan pangan adalah fondasi kemerdekaan. Sawah yang hilang adalah hilangnya kemerdekaan itu.
Dalam versi ini, mereka bukan lagi “mitos yang harus dipercaya atau tidak,” tapi tokoh yang memanggil kita untuk bertindak.
Mungkin ada yang bilang, “Ah, ini kan cuma cerita rakyat, jangan dibawa serius.” Tapi kadang humor adalah cara paling efektif untuk membuat orang berhenti sejenak.
Bayangkan Nyi Roro Kidul muncul di pantai selatan hari ini, melihat turis selfie dengan latar sampah plastik mengapung. Ia mungkin akan berkomentar, “Bagus juga gaya fotonya, tapi sayang, latar belakangnya bikin aku pengen tutup pantai ini seminggu.”
Atau Nyi Blorong yang tiba-tiba jadi bintang TikTok karena videonya marah-marah di depan alat berat tambang sambil nyanyi, “Sisikku bukan untukmu.”
Dan Dewi Sri? Mungkin dia akan bikin thread Twitter tentang cara menanam padi organik, viral, lalu diundang podcast.
Kita dan Warisan yang Terlupa
Cerita rakyat sering dianggap “milik masa lalu,” tapi justru di sanalah kita bisa belajar tentang masa depan. Mitos-mitos ini lahir di masyarakat yang hidup berdampingan dengan alam. Mereka tahu kapan harus menanam, kapan harus melaut, kapan harus memberi waktu bagi hutan untuk pulih.
Mungkin, lewat membaca ulang Nyi Roro Kidul, Nyi Blorong, dan Dewi Sri, kita bisa menyadari bahwa mereka adalah kode etik ekologi yang diwariskan dalam bentuk narasi. Kita sudah memecah kode itu, tetapi lupa cara membacanya.
Tugas kita sekarang adalah menulis ulang, bukan untuk mengubah masa lalu, tapi memberi makna baru yang relevan bagi masa kini.
Di tengah krisis iklim, deforestasi, polusi laut, dan krisis pangan, kita butuh narasi yang menggerakkan hati. Mitos bisa jadi salah satu alatnya, asal kita berani membacanya ulang.
Mungkin saat ini Nyi Roro Kidul tidak lagi menunggu persembahan di pantai, tapi menunggu kita berhenti membuang sampah plastik ke laut. Nyi Blorong tidak menunggu pemuja kekayaan, tapi menunggu ada yang berani melawan keserakahan tambang.
Dewi Sri tidak menunggu sesaji di lumbung, tapi menunggu petani kembali menguasai benihnya sendiri. Ketiganya memanggil, dan kita bisa memilih, antara menganggap mereka sekadar mitos… atau mengakui bahwa mereka adalah simbol perjuangan yang harus kita lanjutkan.
Ekofeminisme bukan hanya tentang perempuan dan alam. Ekofeminisme adalah tentang cara kita memandang bumi sebagai rumah yang harus dijaga bersama, bukan sebagai sesuatu yang bisa dimiliki dan dieksploitasi. Hormatlah. Jaga. Jangan ulangi kesalahan yang sama.***