Menulis: Jalan Ulul Albab atau Sekadar Konsumen Informasi?
Oleh: A. Rusdiana
Wisuda UIN Bandung ke-105 mengangkat tema “Mencetak Generasi Ulul Albab: Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya Saing.” Tema ini hadir di tengah situasi masyarakat digital yang sangat konsumtif: mudah membaca, cepat menyebarkan, tetapi jarang memproduksi pengetahuan. Fenomena ini terlihat di ruang-ruang akademik maupun publik digital banyak yang aktif menerima informasi, tetapi sedikit yang menulis untuk melahirkan ide baru.
Pada saat yang sama, Temu Kompasiana Pena Berkarya Bersama (PBB) ke-40 menunjukkan tren berbeda. Sebanyak 1.904 anggota PBB bukan hanya pembaca, tetapi penulis aktif yang menciptakan gagasan. Perubahan ini penting: peradaban tidak tumbuh dari konsumsi informasi, tetapi dari produksi pengetahuan.
Perubahan dari konsumen informasi menjadi produsen pengetahuan ditegaskan oleh dua teori: 1) Teori Konstruktivisme (Vygotsky & Bruner) pengetahuan tidak sekadar diterima, tetapi dikonstruksi melalui aktivitas berpikir dan menulis. 2) Teori Produksi Budaya (Pierre Bourdieu) individu memiliki “modal simbolik” ketika mampu menghasilkan wacana, bukan hanya menyerapnya. Menulis merupakan cara membangun modal itu.
Walaupun akses informasi melimpah, kemampuan menulis produktif masih rendah. Banyak lulusan sarjana menjadi pengguna pengetahuan, bukan agen pembaruan. Gap ini bertentangan dengan tujuan pendidikan tinggi dan spirit Ulul Albab yang menekankan hikmah, nalar mendalam, dan kemampuan memproduksi makna. Tulisan ini bertujuan menjelaskan bagaimana menulis dapat: 1) mengubah mahasiswa dan alumni dari konsumen informasi menjadi produsen gagasan; 2) memperkuat nilai Ulul Albab sebagai standar daya saing; 3) memberikan arah bagi para pemangku kepentingan pendidikan untuk memperkuat budaya tulis; 4) menjadi refleksi bersama pada momentum Wisuda ke-105 dan PBB ke-40. Berikut 5 Pembelajaran Mendalam dari Menulis: Jalan Ulul Albab atau Sekadar Konsumen Informasi:
Pertama: Menulis Menjadikan Gagasan Hidup dan Bertahan; Informasi mudah hilang, tetapi gagasan yang ditulis bertahan, ditinjau ulang, bahkan diwariskan lintas generasi. Wisuda ke-105 menekankan daya saing; namun daya saing tidak lahir dari menghafal, melainkan dari keberanian mengabadikan ide. Inilah spirit Ulul Albab: kemampuan menafsir, merenung, dan mengikat ilmu melalui teks.
Kedua: Menulis Melatih Nalar Hikmah, Bukan Sekadar Pengetahuan; Ulul Albab bukan hanya orang yang berilmu, tetapi yang tadzakkur, tafakkur, dan tadabbur. Aktivitas menulis memaksa seseorang menimbang ulang data, menyaring informasi, dan menata argumen. Di sinilah proses “transformasi mental” terjadi dari penerima menjadi pengolah makna. Tema wisuda selaras dengan semangat Hari Pahlawan: bergerak, bukan diam; melanjutkan perjuangan, bukan sekadar mengutip.
Ketiga: Menulis Mengubah Mahasiswa Menjadi Produsen Peradaban; Ketika mahasiswa hanya mengonsumsi informasi, mereka menjadi penonton. Tetapi ketika menulis, mereka menjadi pelaku—menghasilkan wacana yang mempengaruhi publik. PBB ke-40 membuktikannya: para anggotanya tidak berhenti pada membaca, tetapi menciptakan pengetahuan baru, membangun diskusi, dan mewarnai ruang publik digital. Ini merupakan bentuk jihad intelektual sebagaimana diteladankan para ulama terdahulu.
Keempat: Menulis Menyambung Tradisi Keilmuan Nusantara; Dalam sejarah Nusantara, para pahlawan—dari pejuang kemerdekaan hingga kiai pesantren—tidak hanya berperang dengan senjata tetapi juga dengan teks. Catatan, manuskrip, surat-surat, dan tafsir mereka menjadi fondasi identitas bangsa. Menulis pada hari ini adalah kelanjutan dari perjuangan ilmiah itu. Di sinilah mahasiswa menjadi penerus estafet, sesuai pesan Hari Pahlawan: “Terus bergerak, melanjutkan perjuangan.”
Kelima: Menulis sebagai Daya Saing Global; Negara maju unggul bukan karena banyak membaca, tetapi karena kuat dalam memproduksi ilmu. Publikasi, laporan riset, opini strategis, dan tulisan-tulisan berbasis analisis menjadi mesin kemajuan. Wisuda ke-105 menekankan daya saing global; menulis adalah jalannya. Menulis menjadikan lulusan bukan sekadar pencari kerja, tetapi pencipta nilai, inovator gagasan, dan agen perubahan.
Menulis bukan aktivitas tambahan, tetapi inti dari proses menjadi Ulul Albab: berilmu, berakhlak, dan berdaya saing. Menulis mengubah seseorang dari konsumen informasi menjadi produsen pengetahuan. Momentum Wisuda ke-105 dan PBB ke-40 menegaskan bahwa produksi gagasan adalah syarat utama membangun peradaban digital. Rekomendasi: 1) Kampus: wajib memperkuat budaya menulis lintas program studi; bukan hanya tugas kuliah, tetapi praktik membangun nalar; 2) Dosen: menjadi teladan publikasi populer dan ilmiah, memantik mahasiswa menulis; 3) Mahasiswa dan Alumni: mulai menulis secara rutin esai, catatan riset, refleksi lapangan; 4) Komunitas seperti PBB: memperluas ruang mentoring, bedah tulisan, dan publikasi bersama; 4) Media publik: memberikan kanal khusus bagi gagasan anak muda.
Pada akhirnya, menulis adalah jalan menjadi pahlawan pengetahuan. Wisuda bukan akhir perjalanan, tetapi awal peran baru: melanjutkan perjuangan para pendahulu dengan pena, bukan hanya wacana. Siapa yang menulis, dia menggenggam masa depan peradaban.
Wallahu A’lam