MENGAPA MENULIS MEMBUAT GAGASAN LEBIH PANJANG UMUR?
Oleh: A. Rusdiana
Di era digital yang serba cepat, gagasan beredar dalam bentuk video pendek, unggahan instan, dan suara yang menghilang ditelan algoritma. Konten digital sering hidup hanya 24 jam, lalu tenggelam tanpa jejak. Namun tulisan berlaku sebaliknya: ia bertahan, dapat ditinjau ulang, dikritisi, dan diwariskan. Inilah fondasi keberlanjutan peradaban digital. Fenomena ini terlihat jelas pada Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB) yang pada pertemuan ke-39 mencatat lonjakan anggota dari 1.861 menjadi 1.886 dalam satu hari. Lonjakan 25 orang dalam 24 jam menandakan bahwa kebutuhan menulis sebagai ruang ketahanan gagasan semakin kuat, terutama di tengah era kecepatan informasi.
Tulisan sebagai perpanjangan nalar telah lama ditegaskan oleh Walter J. Ong (1982) melalui teori Orality and Literacy, bahwa masyarakat yang menulis mampu menjaga stabilitas pengetahuan lebih kuat daripada masyarakat yang hanya bertutur. Sementara menurut Karl Popper, pengetahuan hanya dapat berkembang jika “tereksternalisasi” dalam bentuk yang dapat diuji yakni teks.
Meski teknologi makin canggih, budaya menulis justru melemah. Banyak gagasan lahir cepat, tetapi mati lebih cepat. Wisuda menghasilkan sarjana, tetapi tidak otomatis menghasilkan pewaris pengetahuan jika mereka tidak menuliskan pemikirannya. Di sinilah kesenjangan terjadi: lulusan berilmu, tetapi tidak terdokumentasi. Maka tulisan ini bertujuan menunjukkan bagaimana menulis menjadikan gagasan hidup lebih lama dari penulisnya, serta bagaimana keterampilan ini menjadi fondasi penting dalam melahirkan Generasi Ulul Albab pada Wisuda ke-105 UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis Menjadikan Gagasan … Lebih Lama dari Penulisnya?:
Pertama: Menulis Mengabadikan Jejak Ilmu Lulusan; Tema Wisuda ke-105 UIN Bandung: “Mencetak Generasi Ulul Albab: Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya Saing” hanya bermakna jika ilmu itu terdokumentasi. Sarjana tanpa tulisan adalah “ilmu yang tidak meninggalkan jejak”. Dengan menulis, para lulusan menghadirkan keberlanjutan peradaban digital karena pemikirannya dapat terus dibaca, dikaji, dan ditingkatkan. Firman Allah dalam Al-Qur'an; Ø¥ÙÙÙÙØ§ ÙÙØÙÙÙ ÙÙØÙÙÙ٠اÙÙÙ
ÙÙÙØªÙÙÙ° ÙÙÙÙÙÙØªÙب٠Ù
ÙØ§ ÙÙØ¯ÙÙÙ
ÙÙØ§ ÙÙØ¢Ø«ÙارÙÙÙÙ
Ù
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang mati dan Kami mencatat apa yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan.” (QS. Yasin [36]:12)
Rasullah juga bersabda; Ø¥ÙØ°Ùا Ù
ÙØ§ØªÙ Ø§ÙØ¥ÙÙÙØ³ÙاÙ٠اÙÙÙÙØ·Ùع٠عÙÙÙÙ٠عÙÙ
ÙÙÙÙ٠إÙÙØ§ÙÙ Ù
ÙÙÙ Ø«ÙÙØ§ÙØ«Ù... Ø£ÙÙ٠عÙÙÙÙ
Ù ÙÙÙÙØªÙÙÙØ¹Ù بÙÙÙ
“Jika manusia mati, putus amalnya kecuali tiga… salah satunya: ilmu yang bermanfaat.” (HR. Muslim)
Makna: dari itu. Tulisan adalah bentuk ilmu yang bermanfaat yang terus mengalir pahalanya. Karena tulisan tetap dibaca meski penulisnya telah tiada, maka gagasan hidup lebih lama dari penulisnya.
Kedua: Menulis Membuat Gagasan Dapat Dikritisi dan Disempurnakan; Video memberi kesan, tetapi tulisan memberi kesempatan untuk diuji. Inilah inti semangat Ulul Albab: berpikir mendalam, rasional, dan berakhlak. Tulisan membuka ruang kritik, yang menjadi syarat kemajuan ilmu. Dengan begitu, gagasan tidak mati; ia berevolusi lewat dialog intergenerasi.
Ketiga: Menulis Melampaui Algoritma dan Tren Sesaat; Dalam dunia digital, algoritma menentukan apa yang muncul dan apa yang hilang. Namun tulisan terutama esai, jurnal, dan refleksi mendalam memiliki daya hidup lebih panjang. Gagasan yang ditulis dapat bertahan di repositori digital, perpustakaan, dan platform pengetahuan, tidak seperti konten pendek yang hilang dalam hitungan jam.
Keempat: Menulis Merupakan Tanda Keseriusan Intelektual Lulusan; Wisuda bukan hanya seremoni kelulusan, tetapi deklarasi kesiapan berkontribusi. Lulusan yang menulis menunjukkan kedewasaan intelektual dan tanggung jawab moral. Tulisan mereka menjadi bukti bahwa gelar bukan sekadar simbol, tetapi kontribusi nyata bagi bangsa.
Kelima: Menulis Menghubungkan Semangat Hari Pahlawan dengan Tantangan Masa Kini; Pesan “Pahlawanku Teladanku: Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan” selaras dengan budaya menulis. Para pahlawan dahulu bergerak dengan tindakan; generasi hari ini melanjutkannya dengan narasi, argumentasi, dan gagasan. Menulis adalah bentuk “perjuangan intelektual”, cara generasi baru menorehkan kontribusi.
Menulis menjadikan gagasan hidup lebih lama dari penulisnya. Ia memastikan ilmu lulusan UIN Bandung tidak hilang, tetapi terpelihara, berkembang, dan memberi manfaat lintas generasi. Dalam ekosistem digital, menulis adalah mekanisme ketahanan pengetahuan, penguatan identitas ilmiah, dan wujud kontribusi nyata generasi Ulul Albab. Rekomendasi: 1) Kampus perlu membangun repositori tulisan mahasiswa dan alumni; 2) Dosen mendorong setiap mata kuliah berakhir dengan produk tulisan yang dipublikasikan; 3) Mahasiswa dan alumni perlu rutin menulis refleksi, analisis, dan solusi berbasis keilmuan masing-masing; 4) Komunitas seperti PBB perlu didukung sebagai ekosistem literasi digital berkelanjutan.
Peradaban tidak diwariskan melalui selebrasi, tetapi melalui teks. Wisuda melahirkan sarjana; tulisan melahirkan peradaban. Maka generasi Ulul Albab harus menulis agar gagasannya hidup lebih lama dari dirinya, dan menjadi bagian dari perjuangan intelektual bangsa. Wallahu A’lam.
Tulisan membuat gagasan bertahan, ditinjau ulang, dan diwariskan lintas generasi—lebih lama dari penulisnya.