Menulis: Benteng Distorsi atau Cermin Peradaban Baru...?

2025-11-15 18:22:04 | Diperbaharui: 2025-11-15 18:36:45
Menulis: Benteng Distorsi atau Cermin Peradaban Baru...?

 

Sumber: Tebuireng, OL, Tersedia di https://tebuireng.online/tradisi-menulis-untuk-membangun-peradaban-

Caption  :  Sumber: Tebuireng, OL, Tersedia di https://tebuireng.online/tradisi-menulis-untuk-membangun-peradaban

Menulis: Benteng Distorsi atau Cermin Peradaban Baru…?

Oleh: A. Rusdian

Di era digital, bangsa Indonesia menghadapi paradoks besar: informasi yang melimpah justru menghadirkan ancaman baru distorsi makna, misinformasi, dan percepatan hoaks. Fenomena ini dikenal dalam kajian literasi sebagai infodemic, konsep yang dikembangkan oleh WHO dan diperdalam dalam teori Information Disorder dari Wardle & Derakhshan. Menurut teori tersebut, masyarakat tanpa literasi kritis mudah terjebak dalam mis-information, dis-information, dan mal-information.

Di sinilah menulis mendapat kedudukan strategis sebagai jangkar epistemik bagi generasi muda. Menulis membuat seseorang terlatih memilah data, menguji argumen, memperjelas logika, serta bertanggung jawab pada informasi yang disebarkannya. Namun gap-nya jelas: budaya tulis kita masih kalah dibanding budaya bicara sering reaktif, cepat berbagi, tetapi lamban menganalisis.

Tulisan ini bertujuan menunjukkan bagaimana menulis dapat menjadi benteng bangsa dari distorsi informasi, sekaligus mengaitkannya dengan tema Wisuda UIN Sunan Gunung Djati Bandung ke-105, “Mencetak Generasi Ulul Albab: Berilmu, Berakhlak, dan Berdaya Saing”, yang berpadu indah dengan pesan Hari Pahlawan 2025, “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan.”Berikut lima pembelajaran dari Menulis: Benteng Distorsi atau Cermin Peradaban Baru:

Pertama: Menulis Melatih Ketelitian Ilmiah; Generasi ulul albab bukan hanya mereka yang cerdas, tetapi mereka yang mampu membaca dan menafsirkan realitas dengan akurat. Menulis melatih akal untuk tidak tergesa-gesa menerima informasi. Proses merangkai argumen membuat seseorang bertanya: 1) Apa datanya? 2) Apa sumbernya? 3) Apa relevansinya? 4) Bagaimana dampaknya?.

Ketelitian semacam ini adalah akhlak intelektual yang menjadi inti ulul albab. Maka lulusan PTKI yang berakar pada tradisi ilmiah dan nilai Qur’ani harus menjadikan menulis sebagai praktik kesadaran kritis.

Kedua: Menulis sebagai Perlawanan terhadap Infodemic; Di zaman pahlawan dahulu, perlawanan dilakukan dengan bambu runcing; hari ini, perlawanan dilakukan dengan literasi dan akurasi. Distorsi informasi dapat merusak harmoni sosial, mengguncang kebijakan publik, bahkan mengancam persatuan bangsa. Ketika wisudawan UIN SGD menulis dengan basis ilmu dan akhlak, mereka sedang: 1) meredam hoaks, 2) memperhalus ruang digital, 3) mengedukasi publik, 3) dan menjalankan jihad ilmu yang damai. Inilah bentuk baru dari perjuangan pahlawan intelektual.

Ketiga: Menulis Menghubungkan Ilmu, Nilai, dan Tanggung Jawab Sosial; Tema wisuda menegaskan tiga pilar: ilmu–akhlak–daya saing. Menulis mengintegrasikan ketiganya: 1) Ilmu: melalui data dan teori yang diuji; 3) Akhlak: melalui kejujuran akademik dan etika sitasi; 4) Daya saing: melalui kemampuan mengkomunikasikan ide di ruang publik. Tulisan yang lahir dari titik temu ketiganya akan memiliki kekuatan membangun peradaban. Ia bukan hanya wacana, tetapi kontribusi sosial yang nyata.

Keempat: Menulis Membangun Identitas Generasi Ulul Albab; Generasi ulul albab tidak hanya diukur dari titel sarjana, tetapi dari jejak pikirannya. Dalam sejarah Islam, pemikir besar dikenang bukan karena gelarnya, tetapi karena karyanya: Al-Ghazali, Ibnu Khaldun, Ibnu Sina, Al-Farabi. Menulis menjadi cara bagi wisudawan UIN untuk: 1) menghadirkan gagasan, 2) memperkuat moderasi beragama, 3) menjernihkan ruang publik, dan 3) mencatat sejarah keilmuan yang diwariskan. Dengan menulis, generasi ulul albab tidak hanya hadir, tetapi tetap hidup dalam peradaban.

Kelima: Menulis sebagai Tugas Kepahlawanan Baru; Pesan Hari Pahlawan 2025 “Terus Bergerak, Melanjutkan Perjuangan” menegaskan bahwa setiap generasi memiliki bentuk jihadnya. Jika dulu pahlawan berjuang di medan perang, maka kini pahlawan berjuang di medan informasi. Tulisan yang jernih, berimbang, dan berbasis nilai adalah senjata moral untuk menjaga bangsa dari kekacauan narasi. Wisudawan hari ini adalah pahlawan digital, pahlawan literasi, dan pahlawan pengetahuan.

Menulis bukan hanya kegiatan akademik, melainkan mekanisme menjaga akal publik dari distorsi. Generasi ulul albab harus didorong untuk menjadi produsen pengetahuan, bukan sekadar konsumen informasi. Rekomendasi: 1) Kampus/PTKI perlu memperkuat budaya publikasi mahasiswa; 2) Dosen harus menjadi teladan literasi dan pembimbing kepenulisan; 3) Pemerintah daerah dan Kemenag perlu menyediakan ruang publikasi ilmiah populer bagi generasi muda; 4) Ekosistem literasi digital harus melibatkan sekolah, pesantren, dan komunitas menulis.

Bangsa yang menulis adalah bangsa yang merawat akal sehatnya. Wisuda UIN SGD ke-105 menunjukkan bahwa kita tidak hanya mencetak lulusan, tetapi penjaga peradaban. Karena pada akhirnya, pahlawan baru bukan mereka yang viral, tetapi mereka yang mampu merawat kebenaran melalui tulisan yang jernih dan bertanggung jawab. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar