Masihkah Menulis Jadi Medan Juang Intelektual Kita?

2025-11-14 02:45:58 | Diperbaharui: 2025-11-14 02:59:03
Masihkah Menulis Jadi Medan Juang Intelektual Kita?
Caption: Sumber ilustrasi: Dihasilkan secara orisinal oleh OpenAI ChatGPT (model GPT-5) melalui teknologi text-to-image generation, berdasarkan deskripsi visual konseptual dari pengguna berjudul “Menulis sebagai Rekam Jejak Perjuangan Intelektual” untuk edisi Temu Kompasiana PBB ke-34 (2025).

Masihkah Menulis Jadi Medan Juang Intelektual Kita?

Oleh: A. Rusdiana

Di era digital, banyak orang menulis, namun sedikit yang menyadari maknanya. Menulis sering dipandang sekadar hobi, tugas kuliah, atau tuntutan profesi. Padahal, menulis adalah bagian dari perjuangan intelektual perlawanan terhadap lupa, pengkhianatan terhadap kebodohan, dan jembatan antara masa lalu dengan masa depan bangsa.
Dalam momentum Hari Pahlawan 2025 bertema “Pahlawanku Teladanku”, semangat kepahlawanan kini menuntut transformasi: dari medan tempur fisik ke medan gagasan. Tulisan menjadi bentuk perjuangan baru yang meneguhkan nilai, moral, dan arah peradaban bangsa.

Konsep ini sejalan dengan teori Pierre Nora (1989) tentang lieux de mémoire atau “tempat ingatan”, yang menyebut bahwa tulisan adalah medium penyimpan memori kolektif masyarakat. Demikian pula Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983) menegaskan bahwa bangsa dibayangkan melalui teks, narasi, dan arsip yang membentuk identitas bersama. Maka, menulis sejatinya adalah tindakan politik kebudayaan cara ilmiah untuk melestarikan kesadaran nasional.

Namun, di tengah kemajuan teknologi dan derasnya arus informasi, banyak mahasiswa dan dosen yang mulai kehilangan kesadaran historis dalam menulis. Tulisan akademik kehilangan ruh reflektif, sementara media sosial justru dipenuhi opini tanpa dasar teori dan data. Inilah tanda lemahnya literasi kritis yang juga pernah disoroti oleh UNDP (2022) bahwa literasi Indonesia masih cenderung rendah dalam dimensi critical and reflective thinking. Untuk hal itu, maka tulisan ini bertujuan untuk menghidupkan kembali semangat menulis sebagai rekam jejak perjuangan intelektual, menegaskan peran tulisan sebagai bentuk keberlanjutan perjuangan pahlawan di era digital, serta mengajak para pendidik dan peneliti untuk menjadikan literasi sebagai sarana pembentukan memori kolektif bangsa. Berikut lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis sebagai Rekam Jejak Perjuangan Intelektual:

Pertama: Menulis Adalah Perlawanan terhadap Lupa; Sejarah bangsa dapat memudar tanpa tulisan. Setiap penulis sejatinya sedang menolak amnesia kolektif. Dalam konteks pendidikan, laporan penelitian, opini, atau catatan reflektif dosen adalah bentuk pelestarian nilai perjuangan. Kita bukan hanya menulis untuk hari ini, tapi untuk generasi yang akan membaca seratus tahun lagi.

Kedua: Menulis Sebagai Bentuk Kepahlawanan Intelektual; Pahlawan dulu berjuang di medan perang, kini perjuangan itu berpindah ke ruang gagasan. Tulisan menjadi peluru intelektual melawan ketidakadilan, ketidaktahuan, dan disinformasi. Dosen, mahasiswa, dan guru yang terus menulis sejatinya sedang menyalakan obor pengetahuan di tengah kegelapan zaman digital.

Ketiga: Menulis Menghidupkan Dialog Antar-Generasi; Tulisan menjembatani masa lalu dan masa kini. Generasi digital dapat memahami perjuangan masa silam melalui narasi yang hidup, bukan sekadar hafalan. Inilah fungsi tulisan sebagai memory keeper—menghubungkan pengalaman para pendiri bangsa dengan aspirasi anak muda masa kini. Menulis berarti berdialog dengan sejarah.

Keempat: Menulis Mengasah Daya Kritis dan Moral Akademik; Menulis menuntut kejujuran intelektual: menyajikan data, memeriksa teori, dan merumuskan gagasan dengan etika akademik. Dalam konteks dosen dan mahasiswa, aktivitas ini menjadi latihan moral—melatih berpikir tertib, jujur, dan bertanggung jawab. Menulis bukan hanya mencatat, tetapi juga menguji nilai.

Kelima: Menulis Sebagai Gerakan Literasi Nasional; UNESCO (2023) mengingatkan bahwa literasi adalah jantung pembangunan berkelanjutan. Di Indonesia, gerakan literasi perlu dimaknai bukan hanya sebagai kegiatan membaca-menulis, tetapi sebagai gerakan berpikir bersama. Setiap tulisan yang lahir dari ruang akademik atau media publik seperti Kompasiana adalah kontribusi terhadap collective knowledge society—masyarakat pembelajar yang saling menyalakan pengetahuan.

Menulis sebagai rekam jejak perjuangan intelektual bukan sekadar aktivitas pribadi, melainkan panggilan moral bangsa. Tulisan yang lahir dari kesadaran sejarah dan keilmuan akan membentuk ingatan kolektif yang kokoh. Rekomendasi: 1) Dosen perlu menjadikan menulis sebagai bagian dari etos profesional, bukan sekadar tuntutan kinerja; 2) Mahasiswa perlu diarahkan untuk menulis berbasis teori dan refleksi sosial agar melatih literasi kritis;3) Lembaga pendidikan dan media publik perlu memperluas ruang publikasi bagi karya ilmiah populer untuk mempertemukan dunia akademik dan masyarakat.

 “Menulis adalah cara lain untuk berjuang.” Jika dulu para pahlawan berkorban darah dan tenaga, kini perjuangan itu dapat diteruskan lewat tinta, gagasan, dan kata. Setiap tulisan yang lahir dengan integritas adalah bentuk bakti pada bangsa. Maka, ketika generasi digital menulis dengan kesadaran sejarah dan tanggung jawab intelektual, mereka bukan hanya sedang membuat konten mereka sedang menyambung perjuangan kemerdekaan dalam bentuk baru: kemerdekaan berpikir. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
1 Orang menyukai Artikel Ini
avatar