Larangan pemerintah, polemik publik, atau kontroversi soal istilah sunat/khitan perempuan mungkin awalnya terasa sebagai “musibah” — membingungkan masyarakat, menimbulkan perdebatan, bahkan menciptakan resistensi budaya.
Tapi justru dari kegaduhan itu, muncul “berkah tersembunyi”, misalnya:
1. Kesempatan edukasi besar-besaran
Karena isu ini viral dan diperdebatkan, PTMA, tenaga kesehatan, dan organisasi perempuan Muhammadiyah jadi punya pintu masuk untuk melakukan edukasi kesehatan dan fiqh yang lebih komprehensif.
2. Momen memperkuat posisi ilmiah dan teologis Muhammadiyah
Diskusi publik memaksa masyarakat untuk melihat bahwa pandangan Muhammadiyah konsisten dan ilmiah: sunat perempuan tidak dianjurkan karena mudarat lebih besar daripada manfaat.
3. Dorongan untuk pembenahan tradisi
Ramainya isu membuat masyarakat mulai mempertanyakan tradisi yang selama ini dianggap “otomatis”. Ini peluang besar untuk menggeser praktik budaya yang merugikan perempuan.
4. Kolaborasi lintas sektor semakin terbuka
Perdebatan membuat PTMA, RS Muhammadiyah–‘Aisyiyah, Majelis Tarjih, Majelis Dikti, dan pemerintah jadi punya alasan kuat untuk duduk bersama menyusun panduan terpadu.
5. Perhatian publik ke kesehatan perempuan meningkat
Isu ini memaksa publik untuk bicara tentang anatomi, hak tubuh, etika medis, trauma psikologis, dan kesehatan reproduksi perempuan — tema yang sering dianggap tabu.
Jadi, “musibah”-nya apa?
Kontroversi, resistensi budaya, bahkan kesalahpahaman.
Dan “berkah”-nya apa?
Kesempatan memperbaiki budaya, meningkatkan pendidikan, dan memperkuat nilai Islam berkemajuan yang berpihak pada kesehatan dan martabat perempuan.