Ketika Pasien ICU Masih Memikirkan Kewajiban dan Beban Hidup

2025-11-13 06:34:51 | Diperbaharui: 2025-11-13 06:34:51
Ketika Pasien ICU Masih Memikirkan Kewajiban dan Beban Hidup
AI generated

“Saya Boleh Minta HP? Soalnya Mau Bayar Kost.”

Kalimat itu ditulis pelan di selembar kertas.
Tangannya gemetar, masih terpasang selang infus dan kabel monitor. Ia sadar, tapi napasnya ditopang oleh mesin. Di tenggorokannya tertanam pipa intubasi yang membuatnya tak bisa bicara.
Namun di antara semua hal yang bisa ia tulis, hanya satu yang keluar:

“Saya boleh minta HP? Soalnya mau bayar kost.”

Kalimat sederhana itu menampar kesadaran banyak orang di ruang ICU.
Karena di balik tubuh yang sedang berjuang untuk tetap hidup, ternyata ada pikiran yang masih sibuk mengurus hal paling duniawi: bayar kost.
Sebuah paradoks tragis antara urgensi nyawa dan beban hidup yang tak berhenti menagih.


1. Kemanusiaan Terkuak dalam Satu Kalimat

Kita sering berpikir bahwa saat seseorang terbaring di ICU, yang ada di pikirannya hanyalah “bagaimana bisa bertahan hidup”.
Namun kisah ini memperlihatkan sesuatu yang jauh lebih manusiawi: bahkan di ambang hidup dan mati, manusia tetap terikat oleh tanggung jawab ekonomi dan sosialnya.

Bayar kost bukan sekadar kewajiban finansial. Ia simbol dari tanggung jawab hidup yang terus berjalan — meski tubuh sedang bernegosiasi dengan kematian.


2. Kesadaran dalam Kondisi Kritis

Pasien yang menulis permintaan itu sadar penuh.
Ia tahu di mana dirinya berada, tapi juga tahu bahwa di luar sana ada pemilik kost, ada kontrak, ada tanggal jatuh tempo.

Kesadaran ini menggambarkan betapa tipisnya jarak antara realitas medis dan realitas sosial.
Tubuh bisa lumpuh, tapi pikiran tetap aktif menghitung tanggungan.
Dan di situlah terlihat betapa kerasnya hidup bagi sebagian orang — bahkan ketika sedang sakit kritis, mereka tetap dihantui kewajiban ekonomi.

 3. Antara Mesin Pernapasan dan Biaya Kost

Cerita ini membuka absurditas yang jarang kita pikirkan: beban sosial-ekonomi tidak berhenti meski seseorang sedang berjuang di ruang ICU.

Dalam konteks Indonesia, ini bukan hal kecil.
Mari lihat beberapa data untuk memberi konteks.

 Data yang Membumikan Kisah Ini

  • Tingkat kemiskinan Indonesia (September 2024): 8,57% penduduk. 
    Artinya sekitar 23 juta orang hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi menurut World Bank 194 Juta.

  • Garis kemiskinan per kapita: Rp 595.242 per bulan.
    Dengan kebutuhan makanan Rp 443.433 dan non-makanan Rp 151.809.

  • Biaya perawatan ICU:

    • Di rumah sakit umum, berkisar antara Rp 3–7,5 juta per hari.

    • Untuk kasus dengan ventilator bertekanan negatif (seperti pasien COVID-19), bisa mencapai Rp 15,5 juta per hari.

Sekarang bayangkan seseorang dengan penghasilan minimum, yang harus membayar kost sekitar Rp 700.000–1.000.000 per bulan, lalu tiba-tiba masuk ICU selama seminggu.
Total biaya medisnya bisa menyentuh setengah hingga puluhan kali lipat dari penghasilannya.


Ketika Sakit Tak Bisa Memutus Kewajiban Hidup

Meskipun Indonesia memiliki program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), banyak hal tak sepenuhnya tercakup: transportasi, kehilangan pendapatan, biaya keluarga yang menunggu, hingga kebutuhan harian seperti sewa tempat tinggal.

Jadi ketika pasien ICU menulis “saya mau bayar kost”, itu bukan hal remeh.
Itu simbol ketidakpastian ekonomi yang membayangi banyak warga — bahkan di titik paling rapuh dalam hidupnya.

 4. Refleksi untuk Kebijakan:

Kisah ini membawa beberapa pelajaran penting:

  1. Kesehatan tak bisa dipisahkan dari ekonomi.
    Ketika seseorang masuk ICU, perhatian medis seharusnya disertai dukungan sosial-ekonomi untuk keluarga yang ditinggalkan sementara.

  2. Perlu penguatan jaring pengaman finansial.
    Meski kemiskinan menurun, kelompok “hampir miskin” masih sangat rentan terhadap guncangan seperti sakit berat.

  3. Transparansi biaya dan literasi kesehatan.
    Masyarakat perlu tahu betapa besar biaya ICU, agar lebih siap dalam perencanaan keuangan (asuransi, dana darurat, solidaritas sosial).

  4. Martabat manusia dalam sakit.
    Tak ada orang yang ingin mati meninggalkan utang — bahkan sekadar tunggakan kost.
    Jika sistem sosial kita belum bisa melindungi martabat itu, berarti masih banyak pekerjaan rumah untuk negara dan masyarakat.


 Penutup

Kisah satu pasien ICU ini bukan sekadar cerita menyedihkan. Ia adalah cermin sosial: bahwa di negeri dengan semangat gotong royong tinggi, masih banyak orang yang bertarung sendirian antara hidup dan beban ekonomi.

Ketika seseorang yang sedang ditopang mesin pernapasan masih memikirkan sewa kost, itu artinya rasa tanggung jawab manusia jauh lebih besar daripada tubuhnya sendiri.
Dan mungkin, di lubuk hati yang paling dalam, ia hanya ingin memastikan satu hal:

“Kalau nanti saya sembuh, saya tak ingin punya utang.”

Kemanusiaan, rupanya, bisa sesederhana itu. 🌿

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
3 Orang menyukai Artikel Ini
avatar