Banyak dari kita—mungkin termasuk aku dan kamu—secara spontan mengaitkan nikmat dengan uang, pekerjaan bagus, rumah nyaman, bisnis lancar, pasangan ideal, jabatan tinggi, dan segala hal yang tampak di mata manusia.
Hari ini aku berhenti sejenak pada satu bagian dari Surah Al-Fatihah—ayat terakhir yang setiap hari kuucapkan dalam shalat: "Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka..."
Sudah begitu sering lidah mengucapkannya, tapi hatiku bertanya: siapa sebenarnya orang-orang yang diberi nikmat itu? Bukan nikmat harta, jabatan, atau kemudahan dunia semata, tetapi nikmat terbesar: hidayah dan kedekatan dengan Allah.
Aku menemukan jawabannya dalam Surat An-Nisa’ ayat 69. Allah menyebut empat golongan yang dianugerahi nikmat itu:
-
Para Nabi – mereka yang menjadi cahaya bagi manusia, penggenggam wahyu yang membuka jalan.
-
Para Shiddiqin – mereka yang benar imannya, jujur lahir batin, imannya menyatu dengan hidupnya.
-
Para Syuhada – mereka yang mencintai kebenaran hingga napas terakhir.
-
Orang-orang Shalih – mereka yang dekat dengan Allah dalam diam, amal, dan kesetiaan.
Tiba-tiba ayat tersebut terasa sangat personal. Setiap hari aku memohon agar dipimpin menuju jalan mereka. Bukan sekadar mengagumi dari jauh, tetapi menapaki jejak langkah mereka, semampunya.
Dalam Hidupku Hari Ini…
Aku menyadari betapa mudahnya tersesat oleh kelelahan, ambisi dunia, dan keraguan. Dalam doa itu aku seperti berkata kepada Allah:
Ya Allah, aku lemah. Bimbing aku ke jalan orang-orang yang Engkau jaga hatinya. Jangan biarkan aku berjalan sendiri.
Ada rasa rindu. Rindu menjadi bagian dari mereka yang diberi nikmat itu. Bukan karena aku layak, tapi karena aku ingin terus mencoba.
Jalan Itu Tidak Selalu Riuh
Aku membayangkan bahwa jalan mereka bisa jadi sangat sepi. Tidak selalu dipenuhi tepuk tangan. Kadang justru penuh ujian yang merontokkan ego.
Tapi di ujung jalan itu ada cahaya,
dan aku ingin belajar melangkah ke sana.
Catatan untuk diriku sendiri
-
Nikmat terbesar adalah iman yang terjaga.
-
Aku ingin lebih jujur kepada Allah dan diriku—seperti para shiddiqin.
-
Aku ingin berani membela kebenaran, meski kecil—menjadi bagian kecil dari semangat syuhada.
-
Aku ingin berbuat baik tanpa banyak suara—seperti orang-orang shalih.
Jika suatu hari aku tersesat lagi, semoga doa ini selalu menjadi kompas: “Tunjukkanlah kami jalan yang lurus, yaitu jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka.”