Oleh: Tri Handoyo
Siapakah pihak yang paling tidak suka melihat seorang pendosa bertaubat? Siapakah yang paling benci melihat seorang pendosa mengakui dan menyesali kesalahannya?
Jawabannya adalah setan. Ya betul. Setan akan sangat bahagia melihat orang yang terperosok ke lubang dosa, bahkan menghasut orang-orang agar merasa hebat dan terhormat apabila turut menghina dan merendahkan si pendosa. Jangankan menolong bangkit, bahkan beramai-ramai menimpuki batu agar si pendosa tenggelam semakin dalam.
Setan tentu berupaya mati-matian agar orang yang bersalah itu tetap dalam kehinaan. Sehingga, kaki yang ingin kembali melangkah ke jalan kebenaran itu akan dihalang-halangi. Kalau perlu dijegal.
Di sebuah acara pengajian, Mbak Tifa sedang menjajakan dagangannya. "Tahu goreng, pisang goreng, kacang goreng, mendoan..," serunya lantang dengan langkah lincah di tengah kerumunan jamaah.
Saat itu acara pengajian baru saja dimulai, tiba-tiba terlontar teriakan yang meminta agar gorengan Mbak Tifa diborong oleh Ning penceramah.
Si penceramah spontan menggoda, "Ya berusaha dulu dijual sana, dungu!"
Ya, kata terakhir itu jelas salah. Itu sangat tidak beretika bagi seorang penceramah agama. Kendati disampaikan dengan maksud bercanda.
Sebetulnya banyak juga tokoh agama yang berkata seperti itu, namun itu tidak sama bagi para penjual gorengan. Mereka serta merta 'menggoreng' kejadian tersebut. Didramatisir dan diviralkan, kalau perlu ke seluruh jagad raya. Sampai ke planet terpencil di sudut alam semesta. Ini momen penting untuk menghancurkan nama si penceramah dan mengangkat harkat dan martabat si pedagang gorengan.
Jika masyarakat berlaku adil, semua ujaran kebencian, hinaan kasar dan gak beradab, harusnya dilawan. Semuanya. Namun kebanyakan kan memakai standar ganda, bertindak sesuai kepentingan saja. Anehnya, dengan berkedok membela kemanusiaan, para penggoreng itu bertindak lebih liar dan brutal di dalam menyerang balik si penceramah.Dramatis dan tragis.
Kalau seorang penjual gorengan saja dihina bisa membuat orang marah, tapi kenapa saat seorang presiden dicaci-maki, dilecehkan, dihina dan direndahkan, bahkan disebut 'bajingan tolol', kok malah dapat sorak-sorai. Kasusnya juga gak seramai ini? He..he...
Apalagi kalau ujaran kebencian dan hinaan itu datangnya dari para panitia surga, malah seolah diaminkan oleh pemujanya. Seakan-akan itu cacian itu untaian doa yang agung. Oleh karena itu nilai-nilai ketidakberadaban jadi bias. Tergantung cuaca. Menguntungkan apa tidak bagi para penjual gorengan.
Namun demikian, di balik peristiwa kasus penjual gorengan tersebut, Allah tengah menunjukan kebesaranNya. Allah mengizinkan si penceramah terpeleset lidah, untuk kemudian Allah angkat derajat orang kecil yang terhina. Mirip judul film Sengsara Membawa Nikmat. Sampai-sampai banyak juga yang berandai-andai jadi pedagang gorengan dan kemudian berharap dihina. Lalu orang berbondong-bondong numpang tenar dengan memberi santunan. Lumayan, kapan lagi ada momen bisa ikut populer.
Bagi si penceramah tentu mudah saja mendatangi pedagang gorengan untuk meminta maaf. Mereka berdua sudah berpelukan dan ridha. Damai kembali mewarnai jagad ini. Tamat sampai di sini? Tidak. Apa yang terjadi dengan para penjual gorengan lainnya? Mereka tetap panas dan tidak terima. Rupanya mereka benci perdamaian. Bensin terus disiramkan, agar api terus berkobar-kobar.
Menurut laporan berjudul 'Digital Civility Index (DCI)', netizen tanah air ini menduduki peringkat paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Netizen kita memang terkenal paling cerewet dalam hal 'goreng-menggoreng'.
Cakrawala cerah berangsur-angsur memerah di ufuk barat. Surya yang lelah tampak semakin tersudut. Meringkuk. Menyerah oleh terjangan mendung gelap. Angin topan menghempas. Petir menggelegar memecah langit, menyambar bumi pertiwi yang enggan untuk beranjak dewasa. Goreng-menggoreng menjadi budaya.