Toleransi dalam Karya Fiksi (1)

2023-12-27 16:43:02 | Diperbaharui: 2023-12-27 16:43:55
Toleransi dalam Karya Fiksi (1)
Salah satu sudut Taman Ismail Marzuki (TIM) di mana PDS HB Jassin berada. Foto: dokpri 

Pemikiran tidak bisa dibatasi. Oleh karenanya karya fiksi harus bebas.

Terhadap kalimat pertama, kita sepakat. Selama masih dalam bentuk pikiran, maka dia tidak bisa dibatasi. Hanya rezim absolut yang membatasi dan mengintervensi cara berpikir masyarakat.

Tetapi terhadap ungkapan yang kedua, masih dapat kita perdebatan. Sebab setelah ditulis, terlebih diterbitkan dan didistribusikan, maka hal itu bukan lagi pemikiran, melainkan tindakan. Di sinilah krusialnya karena tindakan dibatasi oleh hukum dan norma yang berlaku di lingkungannya.

Benar, bahwa itu karya fiksi. Secara teori, seluruh materi dalam karya fiksi adalah fiksi, termasuk tokoh dan tempat yang merujuk pada tokoh atau tempat yang benar-benar ada.

Contohnya, dalam sebuah novel ditulis Presiden Soekarno bercengkerama dengan istrinya di taman Istana Merdeka. Baik Soekarno maupun Istana Merdeka benar-benar ada. Namun dalam karya tersebut Soekarno dan Istana Merdeka harus dipandang sebagai fiksi.

Dengan pemahaman itu, maka mestinya (penulis) novel itu tidak bisa dituntut, sekalipun isinya mendiskreditkan Soekarno, sebagai tokoh dalam karya fiksi.

Persoalannya, hukum positif Indonesia tidak mengakui teori karya fiksi. Soekarno dalam karya fiksi tetap dianggap sebagai sosok nyata sehingga penulisnya bisa dituntut manakala dianggap mendiskreditkan.

Contoh paling nyata dalam kasus ini adalah penerbitan cerpen “Langit Makin Mendung” karya Kipandjikusmin di Majalah Sastra, 1968. HB Jassin selaku kepala editor, menolak mengungkap sosok di balik nama pena Kipandjikusmin, sehingga kemudian diadili dengan tuduhan penistaan agama, dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun.

Dalam pembelaannya, Jassin menulis, sosok Allah, Muhammad dan Jibril dalam “Langit Makin Mendung” adalah sosok yang berada dalam dunia sendiri, dunia imajinasi, sehingga tidak tepat jika dianggap mewakili aslinya.

Namun sejumlah sastrawan terkemuka menyangkal pendapat HB Jassin. Salah satunya Hamka. Menurut Hamka, penggambaran Allah memakai kacamata dalam cerpen “Langit  Makin Mendung” menandakan Allah tidak sempurna, sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Bersambung...

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
3 Orang menyukai Artikel Ini
avatar