Apakah Tulisan Kita Mendidik atau Menyesatkan Publik?

2025-10-31 16:26:21 | Diperbaharui: 2025-10-31 16:26:30
Apakah Tulisan Kita Mendidik atau Menyesatkan Publik?

Caption (Sumber: Ilustrasi digital orisinal / OpenAI DALL·E, 2025)

Oleh: A. Rusdiana

Di era literasi digital, tulisan ilmiah atau opini di ruang publik menyebar lebih cepat dibanding klarifikasinya. Banyak karya yang awalnya ditujukan untuk edukasi justru menimbulkan bias, misinformasi, bahkan kontroversi etis. Fenomena ini menunjukkan bahwa diseminasi ilmu kini tidak lagi sekadar proses akademik, tetapi menjadi bagian dari tanggung jawab sosial dan moral penulis. Dalam konteks akademik, banyak mahasiswa dan dosen aktif menulis di platform terbuka seperti Kompasiana, Medium, atau ResearchGate. Namun, tak semua tulisan disertai kesadaran etik publik. Tulisan yang tidak diverifikasi dengan sumber kredibel dapat merusak reputasi akademik dan kepercayaan pembaca.

Jürgen Habermas (1984) berpesan dalam teorinya Communicative Action, komunikasi publik harus memenuhi tiga syarat: keterbukaan, kejelasan, dan niat baik. Etika komunikasi publik menuntut penulis mempertimbangkan bukan hanya “apakah benar secara ilmiah,” tetapi juga “apa dampaknya bagi masyarakat.” Teori ini diperkuat oleh Vygotsky (1978) tentang social learning bahwa pengetahuan dibangun melalui interaksi sosial. Maka, tulisan publik tidak boleh hanya memuaskan ego intelektual, tapi harus membangun kesadaran sosial bersama.

Kualifikasi akademik (mic-metric) sering belum diimbangi dengan public literacy ethic. Banyak akademisi unggul dalam riset, tetapi abai pada tanggung jawab etik diseminasi  dari pemilihan kata, narasi, hingga konteks publikasi.

Tulisan ini bertujuan menegaskan bahwa diseminasi ilmiah harus dilakukan dengan tanggung jawab publik. Menulis bukan hanya untuk dikenal, tetapi untuk mendidik, mencerahkan, dan memperkuat ekosistem literasi yang sehat. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Diseminasi dengan Tanggung Jawab Publik:

Pertama: Diseminasi Adalah Amanah Moral; Setiap publikasi adalah pernyataan etis. Penulis bertanggung jawab atas efek sosial dari tulisannya, bukan hanya keaslian data. Dalam pandangan Islam, “Barang siapa yang menunjukkan jalan kebaikan, maka baginya pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim). Maka, menulis dengan niat mencerdaskan publik adalah bagian dari amal intelektual.

Kedua: Keakuratan Informasi Menjadi Pondasi Kredibilitas; Tulisan yang terburu-buru tanpa validasi data dapat menyesatkan pembaca. Prinsip verifikasi sumber dan transparansi metodologi harus dijunjung. Penulis akademik harus memegang prinsip scientific honesty keterbukaan terhadap revisi dan kesalahan. Integritas ilmiah bukan tentang selalu benar, tetapi tentang selalu bertanggung jawab.

Ketiga: Bahasa dan Gaya Narasi Menentukan Dampak Sosial; Habermas menekankan pentingnya clarity in communication. Bahasa ilmiah yang terlalu kompleks bisa menjauhkan publik, sementara bahasa emosional tanpa landasan data bisa memicu polarisasi. Diseminasi yang bertanggung jawab berarti menemukan titik keseimbangan: informatif sekaligus inklusif.

Keempat: Etika Digital dan Hak Pembaca; Menulis di ruang digital berarti memasuki ruang publik yang terukur. Setiap klik, komentar, atau kutipan membawa konsekuensi. Menyebarkan data pribadi, plagiarisme, atau manipulasi visual tanpa izin adalah pelanggaran etika. Tanggung jawab publik juga berarti menghormati hak pembaca untuk memperoleh informasi yang benar dan bermanfaat.

Kelima: Literasi Publik sebagai Gerakan Sosial; Diseminasi bukan tugas individu, tapi gerakan kolektif. Komunitas akademik, guru, dosen, dan penulis muda harus membangun ekosistem literasi etis. Dalam semangat “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu,” menulis dengan tanggung jawab publik adalah wujud gotong royong intelektual: mengisi ruang digital dengan gagasan yang mencerdaskan bangsa.

Menulis adalah tindakan sosial. Setiap tulisan publik menciptakan jejak pemikiran yang membentuk kesadaran masyarakat. Oleh karena itu: 1) Penulis akademik perlu menempatkan integritas sebagai prinsip utama diseminasi; 2) Institusi pendidikan harus memasukkan etika publikasi digital ke dalam kurikulum riset; 3) Platform publik seperti Kompasiana dapat memperkuat kurasi konten edukatif untuk menjaga kualitas ruang literasi bersama.

Diseminasi dengan tanggung jawab publik bukan sekadar publikasi tulisan, tetapi pernyataan moral seorang intelektual. Menulis bukan untuk dikenang, apalagi disanksi tetapi untuk menghidupkan kesadaran bersama. Karena di setiap kata yang kita sebar, tersimpan harapan bagi masa depan intelektual bangsa. Wallahu A'lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar