Pada situasi terjepit, semua makhluk hidup akan berusaha dengan segala cara untuk mempertahankan nyawanya. Apapun taruhannya. Berapapun harganya.
Begitulah pesan yang dapat kita tangkap setelah membaca cerpen Eko Triono berjudul "Berapa Harga Nyawa Hari Ini?". Satu cerita pendek dari buku kumpulan cerpen dengan judul "Berapa Harga Nyawa Hari Ini dan Cerita-Cerita Lainnya". Sebuah buku kumcer terbitan Shira Media (2022).
Buku setebal 160 halaman ini memuat 23 cerita pendek Eko Triono. Semua cerpen tercipta selama kurun waktu 2020-2022. Tentu pembaca masih ingat, masa-masa itu adalah saat ganas-ganasnya pandemi Covid-19. Sehingga tidaklah aneh jika buku kumcer ini dibalut rasa kesedihan yang kental.
Cerpen "Berapa Harga Nyawa Hari Ini" yang menjadi andalan ditempatkan pada urutan ke-22. Setting cerita terjadi di ruang rawat inap rumah sakit.
Pangkal cerita bermula dari ketersediaan ventilator yang tinggal satu-satunya. Sementara pasien Covid-19 yang kritis dan memerlukan alat tersebut sebanyak 5 orang. Salah satunya adalah seorang dokter dan satunya lagi seorang anak dari seorang yang dipanggil juragan.
Dokter yang merawat mereka, berpikiran sebaiknya ventilator diberikan kepada rekannya yang seorang dokter. Pertimbangannya jika sembuh, dia dapat menolong pasien-pasien Covid-19 yang semakin membeludak.
Di luar dugaan, dokter Jamal – dokter yang sakit itu, tidak mau menerima pemberian fasilitas ventilator.
“Saya sudah tua. Lebih baik buat yang masih muda dan potensi sehatnya tinggi. Kita sama-sama tahu prinsip itu,” katanya kemudian.
“Baiklah,” Dokter Rudy mengalah, “aku tak bisa memaksa.” (halaman 138).
Ajaibnya, pemuda yang menjadi pasien merasa malu. Dia yang selama ini dikenal sebagai tukang protes -- salah satunya bahwa pandemi Covid-19 adalah sebuah konspirasi besar -- merasa tidak pantas menerima ventilator (halaman 142).
Sisi 'kebinatangan' manusia digambarkan pada diri seorang juragan yang menunggui anak kesayangannya. Dia tergoda oleh tawaran seorang karyawannya (yang kebetulan juga sebagai pasien).
“Juragan berani bayar berapa?” suara lelaki kurus berkumis, dua ranjang darinya.
“Apanya?” suara perempuan tua kaya, sebelah kanan ranjang Dokter Jamal.
“Nyawa saya.” (halaman 147).
Sebuah cerpen yang sangat menarik. Begitu pas menggambarkan situasi pergulatan batin ketika manusia dihadapkan pada pilihan yang sulit.
Akan tetapi, penulisan cerpen yang maju mundur menyulitkan pembaca untuk memahami. Apalagi penulisnya selalu berganti-ganti penuturannya antara tokoh satu dengan tokoh lainnya. Perlu konsentrasi ekstra untuk memahami jalinan ceritanya.
...
Kreator konten:
Samsudi
Terlahir di tlatah Gunungkidul wilayah Yogyakarta. Berprofesi sebagai seorang guru. Menyukai membaca dan menulis sejak kecil. Aktif kembali menulis sejak pandemi Covid-19. Telah melahirkan satu buku solo kumpulan cerpen (Susuk Pemikat) dan kumpulan puisi (Sunyi Dibekap Rindu) serta beberapa antologi budaya bersama Komunitas Inspirasiana.