Hi, Koteker dan Kompasianer, apa kabar? Masih sehat dan bahagia, bukan.
Sabtu lalu, Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia e.V Bonn sudah mengundang mbak Kana Fuddy Prakoso yang menceritakan pameran tunggalnya "Kana Kanaka" di Yogyakarta.
Kehadiran narasumber bukan pertama kalinya. Kali ini melanjutkan cerita bagaimana ia berkiprah dalam dunia seni dengan memanfaatkan kardus bekas, yang masih belum banyak diminati orang.
Mbak Kana menginformasikan bahwa bulan Juni-Juli adalah lebarannya seniman. Nggak salah kalau ia menggelar pameran pada 1-15 Juni 2025 , di Ruang Dalam Art House, Jl. Kebayan, Gang Sawo No. 55, Yogyakarta. Disanalah, perempuan berjilbab kelahiran Kudus itu mengenalkan baju zirah, baju perang yang memiliki makna menjaga keluarga. Walaupun demikian, tema air tetap mewarnai pameran.
Ditanya moderator mengapa memilih Yogyakarta bukan Jakarta, tempat tinggalnya bersama suami, ia menjelaskan bahwa pertama alasan acara "lebaran seniman" di Yogyakarta. Kedua, Yogyakarta ada Art Week. Ketiga, Yogyakarta adalah tempatnya dulu menimba ilmu grafis, cetak-mencetak.
Dalam pameran tunggalnya, ternyata pengunjung yang datang, tidak dipungut bea, meskipun untuk bea sewa gedung harus ia tanggung. Untungnya ada Foundation Askara Rogoratus, di mana mbak Sari Koeswoyo sebagai ketuanya, ikut mensponsori kegiatan. That's what friends are for.
Membaca judul pamerannya, "Kana-Kanaka", apakah kalian tahu artinya? Mbak Kana menerangkan: bahasa Sansekerta (Kana artinya butiran yang remeh temeh, Kanaka berarti emas). Jadi ingat, ya, waktu SD zaman dulu pernah diajari bahasa Jawa, di mana bahasa Sansekerta banyak mempengaruhi bahasa suku Jawa ini.
Keunikan dari lukisan atau sketsa mbak Kana yang lembut itu selain media kardus bekas adalah tinta China. Serunya, sekarang ini mbak Kana juga melirik cat acrylic supaya semakin menyala warna karyanya. Untuk mengawetkan warna di atas kardus, mbak Kana menggunakan hipoxy fiber sehingga lukisan tahan air dan bahan tetap bisa ditekuk.
Namanya Koteka, Komunitas Traveler Kompasiana, sangat tertarik dengan dunia jalan-jalan dan kuliner. Tentang makanan, mbak Kana menyebut Tolpit, sebagai snack yang disuguhkan dalam acara. Itu mirip cucur, dengan bahan tepung beras, rasanya gurih manis, digoreng, bentuknya seperti alat kelamin pria. Sudah pernah mengudapnya? Pak Suharyadi yang punya penginapan di Yogyakarta memberi komentar bahwa biasanya Bantul punya makanan khas seperti Geplak yang dicampuri kelapa. Tapi tolpit rupanya pak Suharyadi belum pernah mencoba. Berapa lama untuk mencapai Gipfel atau puncak? Apa yang dibawa di dalam tas ransel selama mendaki? Apakah mendaki di sana aman? Semakin tinggi gunung atau pegunungan, semakin tipis udara atau oksigen. Apakah tidak ada masalah dengan pernafasan ketika mendaki?
Untuk tahu jawabannya, mari kita kupas bersama di Kotekatalk-239 pada:
- Hari/Tanggal: Sabtu, 2 Agustus 2025
- Pukul: 16:00 WIB Jakarta/11.00 CEST Berlin
- Link: DI SINI
"Buah durian harum baunya, buah manggis manis rasanya. Bersama Komunitas Traveler Kompasiana dan Pesanggrahan Indonesia, kita keliling dunia."
Sampai jumpa Sabtu sore.
Salam Kotekat. (Gana Stegmann)