Anak dan AI, Siapa Mengajari Siapa?

2025-12-04 22:36:14 | Diperbaharui: 2025-12-04 22:48:33
Anak dan AI, Siapa Mengajari Siapa?
Anak bertanya, AI membantu, orang tua tetap membimbing

Anak dan AI, Siapa Mengajari Siapa?

Oleh Rika Sa’diyah 

Kehadiran kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) kini terasa tidak hanya di ruang kerja dan kampus, tetapi juga di ruang keluarga. Anak-anak yang dulu belajar membaca dari buku kini bisa belajar lewat aplikasi AI yang mampu menjawab pertanyaan, membacakan cerita, hingga memberi penjelasan seperti guru privat. Pertanyaannya kemudian muncul, dalam hubungan antara anak dan AI, siapa sebenarnya yang mengajari siapa? Apakah AI menjadi alat bantu belajar, atau justru mengambil alih peran orang dewasa tanpa kita sadari?

Di satu sisi, AI memberi peluang besar bagi perkembangan anak. Teknologi seperti chatbot edukatif, aplikasi pembantu membaca, hingga permainan interaktif dapat membantu anak memahami konsep dengan lebih cepat. Anak yang kesulitan berhitung bisa dibantu oleh aplikasi yang sabar mengulang langkah-langkah. Anak yang ingin tahu hal baru tinggal bertanya, dan AI akan menjawab dalam bahasa yang sederhana. Ini tentu sangat berbeda dengan masa lalu, ketika anak harus menunggu orang tua atau guru untuk mendapatkan penjelasan yang mereka butuhkan. AI menghadirkan akses pengetahuan yang seolah tak terbatas.

Namun, di balik manfaat itu, muncul kekhawatiran penting. AI tidak memiliki nilai moral, empati, atau intuisi manusia. Ia bisa memberikan jawaban, tetapi tidak bisa menilai konteks emosional anak. Anak yang sedang kesal atau cemas membutuhkan pelukan, bukan sekadar solusi. Ada saat ketika anak perlu belajar bersabar, menunggu, atau mencoba lagi, sesuatu yang justru mungkin tidak didapat ketika mereka terbiasa mendapatkan jawaban instan dari teknologi. Lebih dari itu, anak-anak adalah peniru ulung, jika mereka terbiasa berinteraksi dengan AI yang selalu cepat, ringkas, dan instan, apakah mereka akan kehilangan latihan untuk berpikir pelan, mendengarkan, dan membangun hubungan manusia secara mendalam? Kecepatan teknologi bisa saja mengganggu proses penting dalam perkembangan sosial dan emosional anak. Dalam konteks pendidikan, guru menghadapi tantangan baru. Siswa sekolah dasar kini mampu menghasilkan jawaban atau ringkasan pelajaran dengan bantuan AI, tetapi belum tentu memahami apa yang mereka tulis. Inilah ironi teknologi, anak terlihat lebih pintar, padahal sebenarnya hanya lebih cepat. Guru harus mampu membedakan mana hasil pemahaman dan mana hasil dari mesin. 

Meski begitu, menolak AI sepenuhnya bukanlah solusi. Dunia anak-anak saat ini akan menjadi dunia kerja mereka nanti, dan dunia itu pasti dipenuhi teknologi, yang perlu dilakukan bukan melarang, tetapi mengarahkan. Anak perlu dikenalkan pada AI secara sehat, bahwa teknologi adalah alat, bukan pengganti manusia. Orang tua dan guru harus mengajari anak bertanya, memverifikasi informasi, dan memahami bahwa jawaban AI tidak selalu benar. Di sinilah pendidikan digital menjadi penting. Ada pula aspek etika yang harus diperhatikan, AI bekerja dengan mengolah data, dan dalam beberapa aplikasi, data anak dapat tersimpan. Privasi digital menjadi tantangan besar, terutama untuk anak-anak yang belum sepenuhnya memahami konsekuensi dari membagikan informasi. Orang tua perlu memahami aplikasi apa yang digunakan anak, bagaimana datanya disimpan dan apakah aman. Kehati-hatian ini bukan untuk menakut-nakuti, tetapi untuk melindungi.

Pada akhirnya, hubungan anak dan AI tidak boleh dilihat sebagai persaingan, tetapi sebagai kolaborasi yang membutuhkan pendampingan manusia. Anak perlu belajar memanfaatkan AI untuk hal-hal produktif, belajar membaca, melihat contoh soal, mencari inspirasi, tetapi tetap mempertahankan kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan empati yang hanya bisa tumbuh dari interaksi dengan manusia. AI dapat membuka jendela dunia bagi anak, namun tugas orang tua dan pendidik adalah memastikan anak tidak hanya melihat dunia melalui layar, tetapi juga merasakannya secara nyata. AI dapat menjawab pertanyaan anak, tetapi tidak dapat menggantikan rasa ingin tahu yang lahir dari pengalaman hidup. Jika pendampingan dilakukan secara tepat, anak tidak akan menjadi korban teknologi, melainkan pengguna yang cerdas, bijak, dan tetap manusiawi.

(Dari beberapa sumber)

 

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
2 Orang menyukai Artikel Ini
avatar
ihhh kereenn bu rikaa
2025-12-05 04:46:21
belajar dari b ade, yang teramat keren
2025-12-05 05:28:09