Setiap tanggal 5 Desember, dunia memperingati International Volunteer Day (IVD) atau Hari Relawan Internasional. Tanggal ini bukan sekadar penanda kalender—tetapi kesempatan untuk berhenti sejenak dan mengapresiasi jutaan orang yang memilih memberi, bukan mengambil; membantu, bukan menunggu; hadir, bukan berpaling. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, relawan menjadi salah satu kekuatan sosial yang tak terlihat, tetapi sangat terasa dampaknya.
PBB menginisiasi Hari Relawan Internasional pada 1985 melalui Resolusi A/RES/40/212. Sejak itu, relawan bukan lagi sekadar “orang baik hati yang membantu bila sempat”—melainkan bagian dari strategi global untuk pembangunan sosial, lingkungan, kesehatan, pendidikan, hingga respon kemanusiaan.
Di Indonesia, semangat kerelawanan bukan hal baru. Nilai gotong royong sudah tertanam sejak lama dalam budaya kita. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, fenomena kerelawanan mulai mengalami perubahan menarik: ia bergerak dari sekadar bentuk kedermawanan menjadi gaya hidup—terutama di kalangan generasi muda.
Survei organisasi sosial mencatat bahwa sekitar 65% masyarakat Indonesia pernah terlibat dalam kegiatan relawan, baik formal maupun informal. Sementara itu, lebih dari 90% masyarakat Indonesia pernah berdonasi, dan 66% pernah membantu orang asing, bahkan di situasi tanpa struktur organisasi. Angka-angka ini menunjukkan bahwa keinginan untuk membantu bukan hanya perilaku sporadis—tetapi bagian dari identitas sosial bangsa.
Yang lebih menarik: generasi muda, terutama Gen Z, muncul sebagai kekuatan relawan baru. Dari riset berbagai platform relawan, Gen Z terlibat bukan hanya karena belas kasih, tetapi juga karena mereka melihat volunteering sebagai sarana pembelajaran, jejaring, pengembangan diri, bahkan purpose of life. Mereka ingin berkontribusi, bukan sekadar menjadi penonton.
Di era media sosial, volunteering juga berevolusi: mulai dari relawan bencana, kampanye lingkungan, literasi anak, kesehatan mental, sampai advokasi digital. Aktivitas sukarela kini tidak melulu soal turun ke lapangan—tetapi juga berbagi keahlian, desain kampanye sosial, mentoring, dan aksi komunitas berbasis teknologi.
Namun di balik semangat itu, tetap ada tantangan. Banyak relawan masih bergerak tanpa perlindungan, pelatihan, atau dukungan berkelanjutan. Beberapa organisasi mengandalkan semangat relawan tanpa memiliki tata kelola yang sehat. Karena itu, Hari Relawan Internasional bukan hanya ajakan “mari membantu,” tetapi juga pengingat bahwa ekosistem kerelawanan perlu diperkuat—agar relawan bukan hanya hadir, tetapi juga terlindungi, dihargai, dan berdaya.
Hari ini, 5 Desember, mungkin kamu bukan relawan dalam definisi besar. Tapi jika kamu pernah membantu orang lain tanpa berharap imbalan, itu sudah bagian dari nilai kerelawanan. Dunia tidak selalu berubah karena satu aksi besar—tetapi sering mulai dari satu niat baik, satu langkah kecil, dan satu hati yang peduli.
Selamat Hari Relawan Internasional.
Terima kasih untuk semua yang memilih peduli.