Refleksi dari Rapat Kesehatan tentang Pasien Thalassemia dan ODHIV di Sumatera
“Bagaimana jika di antara para penyintas bencana di Sumatera ada pasien thalassemia yang juga ODHIV—apakah kita sudah siap?”
Pertanyaan itu tidak muncul dari analisis teori, tetapi dari realita di lapangan. Karena kita tahu: bencana tidak pernah memilih siapa korbannya. Ia datang tanpa daftar nama, tanpa diskriminasi, dan tanpa memberi waktu bagi orang-orang yang membutuhkan perawatan untuk bersiap.
Masalahnya: sistem kita sering kali lupa bahwa tidak semua penyintas adalah ‘orang sehat yang kehilangan rumah’.
Ada yang kehilangan akses transfusi darah, ada yang kehilangan obat antiretroviral (ARV) yang harus diminum setiap hari, dan ada yang kehilangan keberanian untuk mengaku sakit karena stigma yang masih kuat.
Kenapa Kasus Seperti Ini Penting Dibicarakan?
Mungkin sebagian dari kita berpikir:
“Bukankah jumlah pasien seperti ini sangat kecil?”
Dan di situlah inti persoalannya.
Karena dalam urusan kemanusiaan, jumlah tidak pernah menjadi alasan untuk mengabaikan.
Jika satu nyawa bisa diselamatkan dengan perencanaan yang lebih baik, bukankah itu sudah cukup?
Pasien thalassemia mayor memerlukan transfusi darah rutin. Tanpa itu, kondisi tubuhnya bisa memburuk dalam hitungan hari.
Sementara ODHIV (Orang dengan HIV) tidak boleh menghentikan pengobatan ARV. Sekali terapi terputus, bukan hanya virusnya kembali aktif, tetapi tubuh bisa mengalami resistensi obat—proses yang jauh lebih sulit dan mahal untuk diatasi.
Bayangkan seseorang di pengungsian yang menghadapi dilema ini:
-
obat habis,
-
darah tidak tersedia,
-
fasilitas kesehatan rusak,
-
dan yang paling menyakitkan: ia takut bicara karena stigma.
Bagi sebagian korban, bantuan yang paling dibutuhkan bukan selimut, bukan mie instan, bukan tenda—tetapi akses terapi kelangsungan hidup.
Masalah Ini Tidak Muncul di Data — Tapi Nyata di Lapangan
Dalam rapat itu, kami menyadari satu hal:
Belum ada sistem yang secara khusus memetakan pasien dengan komorbid kompleks seperti thalassemia + HIV dalam konteks bencana.
Bukan karena mereka tidak ada.
Namun karena:
-
data pasien kronis masih tersebar,
-
kesehatan masih terkotak-kotak berdasarkan jenis penyakit,
-
dan integrasi layanan masih terbatas pada fasilitas kesehatan normal—bukan situasi darurat.
Padahal Sumatera adalah wilayah rawan:
-
gempa,
-
tsunami,
-
banjir besar,
-
dan erupsi gunung api.
Bencana di wilayah ini bukan sekadar potensi, tetapi siklus.
Kalau sistem tidak berubah sekarang, kita akan mengulang kesalahan yang sama: respon yang cepat untuk luka fisik, tetapi lambat untuk orang-orang yang bertahan hidup berkat terapi jangka panjang.
Kita Bisa Memilih: Menunggu Masalah Terjadi atau Mempersiapkan Diri
Untuk itu, ada tiga langkah sederhana namun krusial:
1. Memasukkan pasien penyakit kronis dalam peta risiko bencana.
Tidak perlu mempublikasikan nama—cukup agar sistem logistik kesehatan tidak buta.
2. Menyusun protokol “continuity of care” khusus untuk penyakit yang tidak boleh putus pengobatan.
Thalassemia dan HIV berada di kategori ini.
3. Menguatkan edukasi dan pelatihan respon bencana yang bebas stigma.
Karena stigma sering lebih mematikan daripada penyakitnya.
Bencana Menguji Teknologi — tapi Juga Kemanusiaan
Hari ini, rapat belum menghasilkan jawaban lengkap. Tetapi ia menghasilkan satu hal yang lebih penting:
kesadaran.
Kesadaran bahwa ada kelompok rentan yang selama ini tidak terlihat dalam dokumen kebijakan bencana — bukan karena mereka tidak ada, tetapi karena kita belum menyiapkan ruang bagi mereka.
Dan mungkin, tulisan ini hanya langkah kecil.
Tetapi perubahan besar selalu dimulai dari pertanyaan kecil:
“Kalau bukan kita yang memikirkan mereka, siapa lagi?”