Catatan Manasik KBIHU An Namiroh PDM Kota Bekasi
Dalam banyak forum manasik, kegelisahan jamaah hampir selalu serupa. Takut salah. Takut tidak kuat. Takut ibadahnya kurang sempurna. Padahal, jika kita mau jujur membaca data dan realitas lapangan, justru ketidaksempurnaan itulah yang paling sering ditemui di perjalanan haji.
Menurut data Kementerian Kesehatan RI, lebih dari 60 persen jamaah haji Indonesia setiap tahun adalah lansia dan pra-lansia, dengan komorbid seperti hipertensi, diabetes, atau gangguan sendi. Artinya, mayoritas jamaah berangkat bukan dalam kondisi fisik ideal, tetapi dalam kondisi “cukup mampu” menurut standar medis.
Namun menariknya, angka itu tidak berbanding lurus dengan kegagalan ibadah haji.
Ketika Data Bicara: Haji Tidak Dijalani oleh Orang Sempurna
Jika haji hanya bisa dilakukan oleh orang yang benar-benar kuat secara fisik, maka sebagian besar jamaah Indonesia seharusnya tidak pernah berangkat. Faktanya, mereka tetap berhaji. Tetap menyelesaikan rukun. Tetap kembali dengan pengalaman spiritual yang mendalam.
Data penyelenggaraan haji juga menunjukkan bahwa tantangan terbesar jamaah bukan kesalahan manasik, melainkan:
-
kepadatan massa,
-
perubahan jadwal,
-
dan kondisi cuaca ekstrem.
Situasi-situasi ini tidak bisa diselesaikan dengan hafalan doa semata, tetapi dengan kesiapan mental dan sikap husnuzan.
Di sinilah data membantu kita memahami:
haji mabrur tidak pernah disyaratkan dengan tubuh prima, tetapi dengan kemampuan bertahan dan berserah.
Jalan Kaki, Kelelahan, dan Realitas Lapangan
Studi lapangan selama musim haji mencatat bahwa jamaah dapat berjalan 5–15 kilometer per hari pada puncak ibadah, tergantung lokasi pemondokan dan pengaturan transportasi. Bahkan bagi jamaah sehat, ini bukan jarak yang ringan.
Karena itu, manasik yang memasukkan unsur latihan jalan kaki—meski hanya dua kilometer—sebenarnya sudah berada di jalur yang realistis. Ia tidak bermaksud “mengeraskan” jamaah, tetapi mengenalkan tubuh pada fakta: bahwa haji akan melelahkan.
Dan ketika jamaah sudah menerima fakta itu sejak manasik, maka ketika kelelahan datang di tanah suci, ia tidak lagi marah, panik, atau merasa gagal. Ia lebih siap untuk berhusnuzan.
Husnuzan: Bukan Sekadar Konsep, Tapi Strategi Bertahan
Dalam kajian psikologi kesehatan, sikap menerima kondisi (acceptance) dan berpikir positif terbukti membantu individu:
-
menurunkan tingkat stres,
-
mengelola rasa sakit,
-
dan meningkatkan daya tahan mental dalam situasi berat.
Dalam konteks haji, husnuzan bukan sekadar nilai moral, tetapi strategi bertahan hidup secara mental.
Jamaah yang mampu berkata,
“Ini memang berat, tapi Allah tahu kemampuan saya,”
cenderung lebih stabil secara emosional dibanding mereka yang terus menuntut kesempurnaan dari diri sendiri.
Manasik dan Peran Menggeser Cara Pandang
Data medis menyatakan kemampuan.
Manasik seharusnya membentuk cara pandang.
Ketika manasik hanya berisi simulasi teknis, jamaah bisa pulang dengan hafalan, tetapi tetap membawa kecemasan. Namun ketika manasik juga mengajarkan:
-
menerima keterbatasan,
-
mengelola kelelahan,
-
dan menanamkan husnuzan,
jamaah pulang dengan ketenangan.
Inilah pergeseran paradigma yang penting:
dari “apakah saya bisa melakukan semuanya dengan sempurna?”
menjadi “apakah saya siap menjalani semuanya dengan hati yang lapang?”
Data Mengantar Kita pada Kerendahan Hati
Jika mayoritas jamaah adalah lansia,
jika jarak tempuh harian mencapai belasan kilometer,
jika cuaca dan kepadatan tidak bisa dikendalikan,
maka satu-satunya sikap yang paling rasional—selain ikhtiar—adalah husnuzan.
Paradigma Baru yang Lebih Membumi
Manasik yang baik bukan yang membuat jamaah merasa “siap secara sempurna”, tetapi yang membuat jamaah siap secara realistis.
Dengan data, kita belajar rendah hati.
Dengan latihan fisik, kita belajar mengenal batas.
Dengan husnuzan, kita belajar berserah.
Dan mungkin, justru dari situlah haji mabrur paling mungkin tumbuh.