Temanku (Makaira), Kemerdekaan Itu Sebuah Pilihan

2023-06-10 13:24:42 | Diperbaharui: 2023-06-11 13:50:04
Temanku (Makaira), Kemerdekaan Itu Sebuah Pilihan
Sumber gambar: Hannah Busing (Unsplash.com)

Perempuan itu menangis di sebuah sudut ruangan temaram, meja kayu kecil menemani di hadapannya, Domaine de la Romanee Conti 1990 sudah terlihat hampir kosong. Terlalu klasik, menangisi masalah yang hari demi hari tak pernah usai, tapi arti tangisan kali ini, di sudut ruangan itu, berbeda arti. Lebih tepatnya tidak berani bersikap karena belenggu reputasi, belenggu ‘apa kata orang’.

Memendamnya selama 9 tahun dalam kungkungan formalitas. Buat apa, Makaira? Nama perempuan itu. Makaira, nama pemberian orangtuanya, berasal dari Bahasa Jepang, yang berarti seseorang yang membawa kebahagiaan. Namun, ironis, justru kebalikannya yang terjadi dalam kehidupan personalnya.

Tetapi, tangisan Makaira malam itu, bukan menangisi kesedihan. Bukan juga penyesalan. Justru dia bersyukur, karena refleksi batiniah dalam spiritualisme yang cukup panjang, yang ditemuinya hampir 2 tahun terakhir ini, ditemani Samahita, sahabat spiritualnya.

Bersyukur bisa memeroleh kemerdekaan, kemerdekaan batin, jiwa. Melepaskan belenggu yang tak semestinya dirasa.

Makaira seorang perempuan berkacamata tebal, sulung dari 5 bersaudara. Merasakan belenggu yang berat karena pilihan hidupnya sendiri. Kehilangan Ayah untuk selama-lamanya menambah berat hari-hari hidupnya, ketika itu. Ayah, sekaligus rekan berdiskusi itu harus berpisah untuk selama-lamanya.

Makaira memendam banyak perasaan inferior dan memiliki pola pikir, pantas menderita. Merasa menjadi Tuhan atas hidupnya sendiri. Mengadili dan menghukum dirinya. Sebuah klaim, 'bersalah’ seumur hidup, layak menderita, dan sebagainya. Hal buruk sebagai ‘hadiah’ atas penghakiman yang dia buat sendiri.

Keputusan yang dipilihnya menjadi bumerang yang kerap melukai dirinya sendiri. Tragis sebenarnya untuk seorang akademisi dan pemikir ulung seperti dia.

Aufklarung
“Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi. Bumi belum berbentuk dan kosong; gelap gulita menutupi samudera raya, dan Roh Allah melayang-layang di atas permukaan air.

Berfirmanlah Allah: “Jadilah terang.” Lalu terang itu jadi. Allah melihat bahwa terang itu baik……”
“……terang itu baik..”

Bahwa terang itu baik, terjadilah pencerahan walau tak mudah. Fase peralihan itu dilaluinya bahkan dengan terseok-seok. Hujan air mata menjadi tema-tema sunyi hidup Makaira.

Dia bersembunyi dalam gua yang dipilihnya sendiri. Makaira terus berjuang, hingga menemukan titik bernama asa. I deserve to be happy!

Perjalanan spiritualisme yang membebaskan pada akhirnya diperoleh. Bukan karena paksaan. Samahita membagikan sisi penyeimbang itu.

Pelajaran-pelajaran hidup menjadi bahan diskusi yang mencerahkan. Kebebasan memutuskan, prerogatif Makaira. Aufklarung tercapai.

Pandangan, penilaian orang tak lagi penting. Menemukan jati diri secara utuh. Apa kebutuhanku, apa keinginanku, apa kebahagiaanku? Bukan pertanyaan sulit untuk dijawab. Kemerdekaan itu bukan berasal dari luar diri. Dialog-dialog batin tentunya akan membantu.

Kebahagiaan itu sebuah pilihan yang bisa ditentukan oleh keputusan dari dalam diri.

“Aku memilih untuk hidup bahagia….bahagia menurut versiku sendiri!”

Premeditatio Malorum
Makaira memiliki kecenderungan mengasihani diri sendiri yang terus membawanya pada jebakan-jebakan halus yang menjerumuskan dia dalam kubangan ketidakmerdekaan.

Hal ini sering membawanya pada luka masa lalu dan cenderung nyaman tinggal di dalamnya. Mana mungkin pernah selesai? Mudah melarikan diri dari hal-hal yang tidak enak. Hidup bukan hanya hitam dan putih.

Begitu banyak warna yang ada. Makaira tidak berani memandang warna lain karena kenyamanan yang dihidupinya selama ini. Premeditatio Malorum, lebih kepada tindakan antisipatif.

Bukan berpikir dan menghidupi hal negatif. Kita akan siap dengan segala yang terjadi di dalam hidup kita bila kita mempersiapkan pola pikir yang sebaliknya dari hal positif. Menghadapi dengan ketangguhan sehingga tidak mudah patah dengan modus mengasihani diri sendiri.

Berpikir bahwa setiap hari, kita bisa bertemu dengan orang-orang yang buruk, karena pelaku hal-hal buruk itu tidak mengerti apa yang mereka lakukan.

Kita bisa memilih untuk tidak mengijinkan orang-orang itu menyakiti kita. Kembali, itu pilihan kita. Memaknai kebahagiaan dan kemerdekaan secara utuh memerlukan proses yang tidak sebentar.Tetapi ketika kita mengetahui bahwa sinyal bahagia itu sudah mulai menyala, pilihlah itu.

Tidak ada yang salah dengan hal itu, karena kita semua layak berbahagia karena kita begitu berharga.

Penulis: Yunita Kristanti

Makaira, selamat merdeka dan berbahagia.
9 Juni 2023 – untuk Semarkutiga.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
5 Orang menyukai Artikel Ini
avatar
Sugeng sonteeeeen Mbak Nita πŸ™πŸΌπŸ˜πŸ‘πŸΌ
2023-06-10 17:42:20
Hehe, sugeng enjang Om Wang.. 😁
2023-06-11 08:58:06
Keren Dan dalam sekali Mb Yunita, salam hangat untuk Makaira, yah merdeka harus " diciptakan dn perjuangkan"
2023-06-10 14:53:45
Mbaaa, salam saya akan sampaikan. Mba, nuwun sanget.
2023-06-11 08:58:40