Hati-hati Jebakan Penerbit Indie

2023-12-13 06:58:14 | Diperbaharui: 2023-12-13 23:06:16
Hati-hati Jebakan Penerbit Indie
Ilustrasi novel yang diterbitkan penerbit indie. Foto: Tokopedia

Perkembangan teknologi informasi memiliki dua sisi, positif dan negatif, bagi dunia literasi, termasuk penerbitan media massa dan buku. Kemudahan yang tersaji ternyata dibarengi hujaman pisau tajam ke titik nadi sehingga yang tidak mengantisipasinya dengan baik langsung tersingkir , dan mati.

Kematian sejumlah media massa besar, digantikan oleh media online (daring), adalah salah satu contoh dampak negatif dari kemajuan teknologi. Banyak pewarta yang kehilangan pekerjaan karena tidak sigap beralih ke media yang berbeda.

Kondisi serupa dialami oleh para penulis. Kemudahan mempublikasikan karyanya di media online keroyokan (UGC) seperti Wattpad dan Google, tidak berbanding lurus dengan ketenaran, apalagi penghasilan. Terlebih karya-karya yang diterbitkan di media berbasis UGC tidak memiliki standar kualitas karena tidak ada kurasi.

Munculnya penerbit-penerbit independen atau indie tanpa modal juga menjamur dan menjadi jebakan mematikan bagi penulis pemula yang hanya mengejar keinginan karyanya segera diterbitkan.  

Awalnya keberadaan penerbit-penerbit indie menjadi solusi bagi penulis yang gagal masuk ke label mayor. Di masa lalu, penerbit indie juga mengeluarkan modal untuk mencetak buku yang diterbitkan dan memasarkan secara independen melalui jaringan komunitasnya.

Saat ini banyak penerbit indie tanpa modal sama sekali. Penulis-penulis pemula wajib mewaspadai praktek ini agar karyanya tidak menjadi milik penerbit tanpa kita mendapatkan benefit.

Sebagai contoh, sekitar tahun 2016, saya mendapat tawaran dari salah satu penerbit indie untuk menerbitkan cerita bersambung saya di Majalah Misteri. Penerbit itu kemudian menyodorkan kontrak yang dikirim melalui email.

Karena memang tidak ada ekspektasi terhadap karya-karya tersebut, saya menyetujuinya. Saya menduga karya saya akan dicetak beberapa ratus eksemplar saja. Beda dengan penerbit mayor  yang sekali cetak minimal 5.000 eksemplar dan dipajang di jaringan tokonya.

Ternyata, cerita saya sama sekali tidak dicetak. Penerbit itu hanya membuatkan sampul  (cover) lalu memajangnya di lapak onlinenya. Jika ada yang beli, baru dicetak. Bahkan saya harus membeli sendiri untuk mendapatkan bukti bukunya.

Penulis hanya akan mendapat bayaran sesuai royalti yang telah ditetapkan. Dalam kasus saya, royaltinya sebesar 10 persen dan akan diberikan  setelah mencapai angka penjualan tertentu. Kalau tidak salah 1000 eksemplar.

Karena penjualan dari novel saya itu tidak pernah mencapai 1000 eksemplar, maka saya tidak mendapatkan royaltinya. Sialnya, dalam kontrak tidak disebutkan masa berlaku perjanjian tersebut. Artinya si penerbit berhak menerbitkan sampai kapan pun, tanpa penulisnya bisa mencabut dan memindahkan kepada penerbit lain.

Silakan kalian search di internet menggunakan keyword “novel horor yon bayu” untuk mengetahui novel-novel tersebut.

Jadi, kepada para penulis pemula, hati-hatilah terhadap penerbit  yang mengambil karya kita tanpa modal sama sekali.

Mereka tidak peduli dengan kualitas. Pura-pura memuji karya kita bagus, bila perlu diberi award. Padahal tujuan sebenarnya bagaimana mengambil karya kita tanpa modal. Setelah mendapatkan karya kita, mereka pajang di olshopnya, dan tinggal menunggu pembeli. Setelah uang masuk, baru digunakan untuk cetak dan menikmati keuntungannya. 

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
2 Orang menyukai Artikel Ini
avatar