Menakar Kekuatan dan Pentingnya Karya Sastra

2023-12-06 11:05:04 | Diperbaharui: 2023-12-06 18:19:23
Menakar Kekuatan dan Pentingnya Karya Sastra
Ilustrasi novel sastra. Foto: dokpri

Bila mengacu pada pemahaman umum, sastra atau susastra adalah pedoman hidup yang baik. Sastra juga cerminan kehidupan sehari-hari (mimesis) tentang manusia dan kemanusiaan yang bersifat imajinatif, mengandung estetika dan ditulis dengan bahasa indah sehingga memberi pengalaman batiniah kepada pembacanya.

Oleh karenanya, tidak tepat jika mengatakan sastra sebagai hiburan sepanjang hanya dipahami sesuatu yang menggembirakan. Faktanya, banyak karya sastra yang tidak menghibur karena menyuguhkan tragedi yang meneror pikiran dan perasaan.

Sastra juga mampu mengubah cara pandangan masyarakat. Contohnya novel Siti Nurbaya karya Marah Rusli. Cara pandang masyarakat Indonesia secara umum, menolak perjodohan dengan menggunakan kisah novel itu sebagai landasan. Misal, “Saya tidak mau dijodohkan seperti Siti Nurbaya”, “Sekarang bukan zaman Siti Nurbaya”, dll.

Dari pemahaman ini maka karya sastra tidak sekedar hasil rekaan atau imajinasi, melainkan gambaran nyata dari suatu kehidupan. Bahwa penyampaiannya melalui idiom, cerita rekaan atau fiksi, tidaklah mengurangi pemahaman, karya sastra selalu memiliki titik pijak dari suatu peristiwa atau budaya yang ada di tengah masyarakat.

Bumi Manusia karya Pramudya Ananta Toer lahir dari peristiwa nyata di zaman kolonial. Demikian juga Rumah Kaca yang dapat dipadankan dengan kehidupan di masa Orde Baru. Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari memiliki akar budaya yang bisa ditelusuri dalam kehidupan nyata para penari ronggeng atau calung di daerah Banyumas.

Lalu di mana pentingnya membaca karya sastra? Sastra serius atau sastra kanon, memiliki penafsiran yang tidak tunggal. Dengan bahasa berbeda, karya sastra yang baik memiliki ragam tafsir. Tafsir yang ditangkap pembaca dari sebuah novel dipengaruhi oleh pendidikan, akar budaya, emosional, dan lingkup sosialnya.

Saya memiliki tafsir novel The Old Man and The Sea karya Ernest Hemingway, yang sangat mungkin berbeda dengan pembaca Amerika karena perbedaan budaya. Bahkan sesama pembaca Amerika, terdapat perbedaan penafsiran antara kesia-siaan tokohnya karena telah susah payah mengarungi lautan ternyata hanya mendapat tulang ikan, dan makna keteguhan hati bahwa manusia harus berjuang sampai batas terakhir demi mewujudkan impiannya.

Atau dalam To Live karya Yu Hua. Saya memiliki kesan mendalam tentang kehidupan rakyat China di zaman Revolusi Kebudayaan. Tentang kelas sosial, kelaparan dan perang saudara. Tetapi saya gagal menangkap pesannya. Sementara bagi sebagian kalangan novel ini memberi pengalaman batiniah tentang cinta dan perjuangan hidup yang luar biasa.

Hal penting lain yang menjadi kekuatan karya sastra sehingga wajib kita baca, adalah sudut pandang dan pesan penulisnya atas peristiwa atau budaya yang menjadi ide atau tema cerita. Saya menjadi tahu kondisi sosial masyarakat Inggris di abad pertengahan melalui Pride and Prejudice karya Jane Austen.

Saya memahami dan ikut merasakan penderitaan kehidupan di bawah kekaisaran Rusia karena Anton Chekhov dan Boris Pasternak. Dapat pengalaman batin tentang kehidupan sulit di masa rezim komunis di Ceko melalui karya Haclav Havel, dan sebaliknya, pemujaan terhadap komunis melalui Pablo Neruda (Spanyol/Chili). Atau gambaran masyarakat Kolombia dari Gabriel García Márquez melalui Seratus Tahun Kesunyian.

Karya sastra juga memiliki kekuatan karena sudut pandang penulisnya yang berbeda dari pemahaman umum. Dalam The Remains of the Day, sang penulis Kazuo Ishiguro, memberikan pemahaman baru bahwa Inggris dan Perancis ikut andil membesarkan Hitler. Bahkan pada masa-masa awal Perang Dunia II, banyak bangsawan Inggris yang mendukung pembersihan etnis Yahudi dari Eropa yang dianggap elitis, parasit, dan beda keyakinan dengan masyarakat Eropa pada umumnya.        

Pembaca boleh sependapat atau bahkan menentang “opini” dari sebuah karya sastra. Tidak ada bedanya. Pembaca yang menuding Ronggeng Dukuh Paruk memicu pelacuran, bahwa keperawanan memiliki nilai ekonomis tinggi, sah-sah saja. Atau ketika ada pembaca Siti Nurbaya menuding Marah Rusli telah dipengaruhi pemikiran barat (Belanda) sehingga tidak lagi menghormati adat leluhur, tidak perlu dirisaukan juga.

Itulah kekayaan penting dan kekuatan dari sebuah karya sastra. Ragam tafsirnya yang membuatnya abadi.

Ada pula pendapat bahwa karya sastra akan mencapai puncak jika mampu memberikan kesan mendalam pada pembacanya. Kesan ini diterjemahkan sebagai sesuatu yang terus terbayang-bayang usai membaca karya tersebut.

Nah, bagi yang pernah membaca novel PRASA: Operasi Tanpa Nama, apakah masih punya kesan pada tokoh utamanya? Masih mengingat sosok Lian Kupi? Kampung kecil di tengah hutan? Produk perkebunan sawit yang menempel di badan sebagai parfum atau sabun yang ternyata ditanam di atas gelimangan darah?

Jika iya, berarti novel itu telah memberi kesan mendalam dan ada kemungkinan menjadi abadi. Tetapi jika tidak, maka PRASA: Operasi Tanpa Nama tidak beda dengan novel bersambung di platform UGC semacam Wattpad yang sekedar lewat di tengah keriuhan literasi.  

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
2 Orang menyukai Artikel Ini
avatar