Karya fiksi seperti puisi, cerpen, drama (teater) dan novel memiliki klasifikasi yang secara garis besar dibagi dalam tiga kelompok yakni anak-anak, remaja dan dewasa. Sedang karya fiksi dewasa dibagi dalam dua arus utama yakni pop dan sastra.
Pembagian ini mungkin tidak lazim. Oleh karena perlu dipahami, pembagian di sini hanya untuk memudahkan pembahasan.
Karya fiksi anak-anak memilki beberapa syarat seperti edukasi dan nasehat semisal tokoh baik selalu mengalahkan kejahatan, pentingnya saling menghargai, dll. Cerita anak-anak biasanya berbentuk komik yang dipenuhi ilustrasi untuk membantu anak-anak memahami jalan ceritanya. Jojo Si Jerapah adalah contohnya.
Karya fiksi remaja tidak lagi dibebani syarat dasar seperti cerita anak. Kisah cinta, petualangan, kenakalan remaja, pencarian jati diri, seringkali menjadi tema utama cerita-cerita fiksi remaja. Plot, dan isi ceritanya cenderung ringan dan menghibur. Contoh novel remaja seperti Lupus, Catatan Si Roy, dll.
Bagaimana dengan fiksi dewasa? Tema yang diangkat cenderung serius dengan topik bahasan yang luas, dan plot lebih rumit.
Lalu apa bedanya antara karya pop dan sastra? Perbedaan utama dari keduanya terletak pada tema yang diangkat. Dalam sastra pop, tema yang diangkat umumnya tentang problematika sehari-hari seperti percintaan, perselingkuhan, rebutan harta, dll. Karya pop mengedepankan hiburan sesuai budaya massa, ringan dan berorientasi pada pasar sehingga penulisnya cenderung mengikuti apa yang sedang diinginkan pembaca atau selera pasar.
Hal itu yang membedakan dengan sastra kanon atau sastra serius. Tema dalam sastra serius keluar dari persoalan sehari-hari, lebih detail, kompleks, dengan bahasa pilihan. Tema utama dari sastra kanon adalah manusia dan kemanusiaan. Tentang pergulatan batin dan pikiran penulisnya dalam menemukan makna lehidupan. Karyanya tidak mengikuti sesuatu yang sedang tren, atau topik bahasan yang sudah klise.
Oleh karenanya sastra kanon bersifat universal, mengajak pembacanya menyelami suatu problematika secara tuntas, dari sudut pandang yang berbeda. Dari sini bisa dipahami mengapa novel sastra tidak cocok diposting sebagai cerita bersambung di media online.