Lebih Abadi Mana: Viral atau Menulis Jejak Digital Otentik?

2025-12-08 01:34:12 | Diperbaharui: 2025-12-08 01:35:47
Lebih Abadi Mana: Viral atau Menulis Jejak Digital Otentik?

 

Caption: Ilustrasi Dibuat dengan berbatuan berbantuan  DALL·E – ChatGPT (OpenAI), (Dimodifikasi 8 Desember 2025)

Lebih Abadi Mana: Viral atau Menulis Jejak Digital Otentik?

Oleh: A. Rusdiana

Di era digital hari ini, viral sering dianggap sebagai ukuran keberhasilan. Satu video pendek dapat ditonton jutaan kali dalam hitungan jam, sebuah unggahan bisa mengubah nama biasa menjadi figur publik dalam semalam. Namun ada ironi besar di balik euforia tersebut: yang viral hari ini, esok nyaris terlupakan. Sebaliknya, menulis adalah pekerjaan “sunyi”. Ia tidak selalu meledak, tidak selalu trending, dan jarang mendapat sorakan cepat. Namun tulisan yang disimpan dalam repositori, jurnal, atau blog personal yang terawat memiliki umur jauh lebih panjang daripada konten viral. Ia menjadi jejak digital yang otentik jejak yang lahir dari kesadaran, kedalaman berpikir, dan ketekunan.

Pengalaman menerima Penghargaan Koleksi Terbanyak ke-1 di Repositori UIN Bandung dalam Ajang Awarding Jejak Literasi (27 November 2025) mempertegas satu hal: yang membangun legacy bukan sensasi, melainkan konsistensi. Ini menjadi refleksi sekaligus pembanding: mana yang lebih abadi viral atau menulis? Dari sisi teori, gagasan ini sejalan dengan pemikiran Marshall McLuhan tentang medium sebagai pesan, Pierre Lévy tentang kecerdasan kolektif, dan Henry Jenkins tentang budaya partisipatif. Mereka menekankan bahwa jejak digital yang bermakna selalu lahir dari proses berkelanjutan, bukan dari konsumsi instan.

Tujuan Penulisan ini mengekplorasi lima pembelajaran dari Lebih Abadi Mana: Viral atau Menulis Jejak Digital Otentik?:

Pertama: Viral Menciptakan Gemuruh, Menulis Menciptakan Gema Panjang; Viral menghasilkan suara keras dalam waktu singkat. Menulis melahirkan gema yang berjalan perlahan namun jauh. Tulisan memberi ruang bagi pembaca untuk berpikir, merenung, dan kembali. Pengalaman penghargaan di repositori membuktikan bahwa yang dicari dunia akademik bukan ledakan sesaat, melainkan akumulasi makna.

Kedua: Repositori sebagai Rumah Jejak Digital Otentik; Repositori bukan sekadar tempat unggah kewajiban akademik. Ia adalah rumah peradaban digital. Setiap karya yang disimpan di dalamnya menjadi arsip pemikiran yang dapat dilacak, dikutip, dan dikembangkan. “Koleksi terbanyak” bukan tanda ambisi angka, melainkan bukti kedisiplinan intelektual yang konsisten.

Ketiga: Spirit Hari Guru dan HUT KORPRI; Tema “Pahlawanku Teladanku” pada Hari Guru dan HUT KORPRI menemukan relevansinya dalam budaya menulis. Guru dan aparatur negara tidak hanya mengajar melalui lisan, tetapi mewariskan nilai melalui tulisan. Menulis adalah bentuk pengabdian yang tidak selalu terlihat, tetapi dampaknya menjangkau generasi.

Keempat: PPBB dan Kekuatan Komunitas Literasi; Dengan 2.293 anggota PPBB pada episode ke-52, terlihat bahwa literasi tidak bisa berjalan sendirian. Komunitas menjadi ruang saling menguatkan. Setiap tulisan memperkaya ekosistem berpikir. Penghargaan individual pada akhirnya adalah hasil dari ekosistem kolektif yang tumbuh.

Kelima: Legacy: Tujuan Akhir dari Menulis; Legacy bukan popularitas hari ini, melainkan kebermaknaan esok hari. Viral jarang menyisakan jejak rapi. Tulisan menciptakan arsip yang bisa diwariskan. Di sinilah makna terdalam “jejak digital otentik”: bukan hanya terlihat, tapi bisa dipertanggungjawabkan. Legacy adalah warisan atau peninggalan yang ditinggalkan seseorang atau sesuatu dari masa lalu, yang dapat berupa nilai, pencapaian, reputasi, atau bahkan sistem lama yang terus digunakan, bukan hanya terbatas pada harta benda, tetapi juga dampak abadi bagi generasi berikutnya. 

Lebih abadi bukanlah yang paling ramai, tetapi yang paling bisa dirujuk kembali. Menulis terbukti membangun identitas digital yang lebih tahan waktu dibanding viralitas. Rekomendasi bagi pemangku kepentingan pendidikan: (1) Memperkuat budaya unggah karya ke repositori, (2) Memberi penghargaan pada konsistensi, bukan sensasi, (3) Mendorong literasi digital yang etis dan berkelanjutan.

Pada akhirnya, pertanyaan “lebih abadi mana” punya satu jawaban jujur: viral memudar, tulisan menetap. Menulis bukan tentang hari ini, tetapi tentang siapa yang kelak menemukan kita melalui jejak kata. Itulah keabadian yang sesungguhnya. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar