Mengapa Menulis Bisa Menjadi Perekat Generasi Bangsa?

2025-11-10 22:14:12 | Diperbaharui: 2025-11-10 22:21:26
Mengapa Menulis Bisa Menjadi Perekat Generasi Bangsa?
Caption Sumber: BBPMPJATIM, tersedia di https://bbpmpjatim.kemdikbud.go.id/jelita/menulis-untuk-belajar-dan-berpikir/ dimodifikasi

Mengapa Menulis Bisa Menjadi Perekat Generasi Bangsa?

Oleh: A. Rusdiana

Di tengah rendahnya budaya membaca dan menulis di perguruan tinggi, kemampuan literasi menjadi tantangan serius bagi kualitas generasi muda. Banyak mahasiswa aktif di media sosial, tetapi enggan menulis refleksi ilmiah—padahal menulislah yang mengikat pengetahuan menjadi pijakan kemajuan. Pada momentum Hari Pahlawan 2025 dengan tema “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan”, isu literasi kembali relevan: bagaimana generasi muda meneruskan perjuangan dengan cara yang sesuai zaman? Dalam teori literasi sosial (Gee, 2015), menulis bukan hanya aktivitas linguistik, tetapi konstruksi identitas dan komunitas. Sementara teori konstruktivisme Vygotsky menegaskan bahwa tulisan adalah alat kognitif yang membangun kesadaran kolektif. Dari perspektif pendidikan tinggi, Bloom menyebut menulis sebagai puncak higher-order thinking.

Namun ironisnya, meski mahasiswa hidup di tengah kelimpahan teknologi, kemampuan menulis akademik, reflektif, dan kreatif tetap rendah. Terjadi gap antara “kemudahan akses informasi” dan “kemampuan mengolahnya menjadi gagasan tertulis”. Di sinilah urgensi menulis sebagai alat pemersatu generasi hadir.

Tulisan ini bertujuan menunjukkan bagaimana menulis dapat menjadi simbol tertinggi literasi serta medium persatuan, peradaban, dan keberlanjutan perjuangan para pahlawan. Brikut, Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis Bisa Menjadi Perekat Generasi Bangsa?:

Pertama: Menulis sebagai Jejak Keilmuan yang Menyatukan Ingatan Kolektif; Jika dulu pemuda bersatu melalui Sumpah Pemuda, kini persatuan itu perlu diperbarui melalui dokumentasi digital. Menulis membuat gagasan lintas generasi dapat saling terhubung. Ia mengubah pengalaman individual menjadi memori sosial. Setiap artikel, esai, dan opini menjadi ruang temu gagasan antara mahasiswa, dosen, dan publik mengikat mereka dalam visi kebangsaan. Menulis menciptakan sejarah baru tanpa harus menunggu momentum besar.

Kedua: Menulis sebagai Ibadah Ilmu dan Tanggung Jawab Moral; Sebagaimana pesan Sutan Sjahrir, “Perjuangan untuk kebebasan harus terus dilakukan”, menulis menjadi bentuk perjuangan spiritual dan kebangsaan. Dalam tradisi keilmuan Islam, pena adalah simbol kesaksian intelektual. Menulis bukan hanya produktivitas, tetapi ibadah: upaya memelihara akal, kebenaran, dan kejujuran. Di kampus, menulis mengajak mahasiswa untuk berlaku adil terhadap pengetahuan tidak plagiat, tidak superficial, tetapi jujur dan mendalam.

Ketiga: Menulis sebagai Perekat Identitas di Tengah Fragmentasi Digital; Generasi muda hari ini hidup dalam ruang digital yang terpecah oleh algoritma. Tanpa kemampuan menulis reflektif, mahasiswa mudah terseret arus opini instan. Menulis memaksa seseorang berpikir jernih, memformulasi argumen, dan mengambil posisi etis. Aktivitas menulis baik laporan, opini, maupun jurnal menjadi ruang konsensus baru, tempat mahasiswa dari latar belakang berbeda bisa berdiskusi secara sehat. Inilah makna persatuan baru: persatuan ide, bukan sekadar simbol.

Keempat: Menulis sebagai Instrumen Peradaban dan Keberlanjutan Intelektual; Peradaban besar tidak dibangun oleh kekuatan fisik, tetapi oleh kekuatan pena. Dari prasasti, naskah kuno, kitab pendidikan, hingga tulisan digital hari ini semua menjadi rantai peradaban yang menghubungkan masa lalu dengan masa depan. Perguruan tinggi harus menjadikan menulis sebagai tradisi intelektual, bukan tugas administratif. Menulis adalah medium untuk merumuskan visi masa depan bangsa, dan karenanya menjadi alat untuk membangun peradaban yang bermartabat.

Kelima: Menulis sebagai Gerakan Kepahlawanan Baru; Spirit Hari Pahlawan 2025 menuntut generasi muda bergerak melanjutkan perjuangan bukan dengan senjata, tetapi dengan pikiran yang jernih. Menulis adalah bentuk kepahlawanan baru yang memperjuangkan integritas, kebenaran, dan literasi. Ketika mahasiswa menulis dengan kesungguhan, ia sedang menjaga marwah akademik. Ketika dosen menulis, ia sedang membangun fondasi ilmu. Ketika keduanya menulis bersama, mereka sedang mempersatukan harapan generasi.

Singkat kata, menulis adalah simbol tertinggi literasi sekaligus alat pemersatu generasi. Ia menautkan masa lalu melalui ingatan, masa kini melalui dialog, dan masa depan melalui visi. Literasi tulisan menjadi modal sosial untuk menghadapi disrupsi global, sekaligus menjaga kesinambungan nilai kepahlawanan. Rekomendasi: 1) Kampus perlu mewajibkan ruang publikasi mahasiswa (jurnal, opini, blog akademik); 2) Dosen harus menjadi teladan budaya menulis sebagai aktivitas keilmuan; 3) Mahasiswa perlu mengembangkan portofolio tulisan sebagai indikator kompetensi; 4) Pemerintah perlu memperkuat ekosistem literasi digital dan antiplagiasi; 5) Komunitas literasi harus membangun ruang temu antar-generasi sebagai pusat dialog kebangsaan.

Ketika kata-kata dituliskan, ia berhenti menjadi suara yang hilang. Menulis adalah cara generasi hari ini menunjukkan bahwa mereka masih menjaga peradaban, masih menghormati perjuangan para pahlawan, dan masih percaya bahwa bangsa besar selalu dibangun oleh pikiran besar. Pena yang bergerak hari ini adalah jembatan menuju masa depan Indonesia. Wallahu A’lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar