KITABAH (Bagian 2) || Q.S. At-Thoriq, Q.S. Al-Zalzalah, & Q.S. Al-Ma'un || Nurul Azizah (1202010106) tersedia di
Apakah Kitabah Lebih Efektif daripada LMS dalam Literasi Kebijakan?
Oleh: A. Rusdiana
Fenomena berulang di banyak kampus menunjukkan bahwa mahasiswa masih sering terlambat mengunggah tugas di LMS, salah memahami prosedur akademik, bahkan lalai dalam praktik ibadah yang telah diatur waktu dan mekanismenya. Problem ini menandakan lemahnya literacy of academic regulations kemampuan memahami, menafsirkan, dan menaati aturan akademik sebagai habitus akademik.
Secara teoretis, tulisan ini merujuk pada teori Situated Learning (Lave & Wenger) yang menegaskan bahwa praktik reflektif—seperti menulis—membangun identitas dan praktik komunitas. Dalam perspektif Islam, Al-Qur’an menegaskan perintah membaca dan menulis dalam iqra’ (QS Al-‘Alaq: 1–5), sementara Nabi SAW bersabda, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” (HR. Thabrani). Dengan demikian, kitabah adalah media epistemik sekaligus etika.
Gap akademik muncul ketika kampus terlalu mengandalkan LMS sebagai alat kepatuhan prosedural, tetapi kurang menumbuhkan kesadaran makna kebijakan. Di titik ini, Mict-Met Learning Cycle model pembelajaran yang menekankan Meaning (makna), Interaction, Construction, dan Transformation menjadi relevan: mahasiswa tidak cukup patuh, tetapi harus paham dan bermakna dalam menjalankan regulasi akademik.
Tulisan ini bertujuan membahas bagaimana kitabah dan literasi kebijakan akademik dapat membentuk ketertiban akademik berbasis kesadaran, bukan sekadar kepatuhan teknis. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Kitabah dan Literasi Kebijakan Akademik:
Pertama: Kitabah sebagai Disiplin Kepatuhan Makna; Menulis laporan, refleksi, dan resume prosedur akademik melatih mahasiswa memahami esensi aturan, bukan hanya mengikuti instruksi. Ketika mahasiswa menyalin dan mengurai ayat-ayat seperti QS An-Naba’, An-Nazi‘at, ‘Abasa, At-Thariq, Al-Zalzalah, atau Al-Ma’un, mereka belajar bahwa ketertiban adalah nilai spiritual sekaligus akademik. Kitabah melatih fokus, struktur berpikir, dan kepatuhan berbasis kesadaran.
Kedua: Menulis sebagai Praktik Literasi Regulasi; Literasi kebijakan tidak hanya berarti tahu aturan, tetapi mempraktikkannya secara berulang. Dengan menulis ulang SOP pengumpulan tugas, tata tertib kelas, etika diskusi, atau mekanisme ibadah kampus, mahasiswa melakukan internalisasi regulasi. Aktivitas menulis bertindak sebagai policy re-encoding menerjemahkan aturan menjadi pengalaman personal.
Ketiga: Kitabah Digital sebagai Penghubung antara Teks dan Teknologi; Ketika mahasiswa diminta membuat video proses kitabah, transkripsi ayat, atau refleksi kebijakan perguruan tinggi, mereka menggabungkan kemampuan literasi digital dan literasi kebijakan. LMS menjadi alat, tetapi kitabah digital menjadi ruang praktik reflektif yang memperkuat pemahaman dan meningkatkan akuntabilitas.
Keempat: Kitabah Membentuk Budaya Akademik Kolektif; Teori Wenger menjelaskan bahwa komunitas belajar terbentuk melalui praktik bersama. Ketika kelas melakukan proyek kitabah regulasi, mahasiswa berdiskusi tentang kesalahan penafsiran aturan, konsekuensi administratif, dan etika akademik. Proses ini menciptakan shared meaning, memperkuat budaya tertib, taat prosedur, dan saling mengingatkan.
Kelima: Kitabah Qur’ani sebagai Etika Penguatan Integritas Akademik; Ayat-ayat dalam enam surah yang diberikan memuat tema kebangkitan, tanggung jawab, amanah, peringatan, keteraturan kosmik, hingga kepedulian sosial. Ketika mahasiswa menuliskan ayat-ayat ini, mereka menyerap pesan bahwa ketertiban dan akuntabilitas adalah bagian dari iman. Literasi kebijakan menjadi etika, bukan administrasi semata.
Menulis/kitabah terbukti lebih dari sekadar metode pembelajaran; ia adalah strategi pembentukan literasi kebijakan akademik yang komprehensif. Kitabah menjembatani teks, prosedur, teknologi, dan etika sehingga mahasiswa tidak hanya mematuhi aturan akademik, tetapi memahaminya sebagai bagian dari budaya ilmiah dan nilai keislaman. Rekomendasi: 1) Kampus perlu memasukkan kitabah sebagai bagian dari assessment literasi kebijakan; 2) Dosen harus mengembangkan tugas kitabah reflektif berbasis Mict-Met Learning Cycle; 3) Fakultas perlu menyediakan rubrik khusus penilaian literasi kebijakan akademik; 4) LMS hendaknya dipadukan dengan tugas kitabah, bukan menggantikannya; 5) Pimpinan perguruan tinggi perlu membangun kampanye policy awareness berbasis literasi.
Kitabah adalah jalan mengembalikan makna pada regulasi. Ia meneguhkan bahwa ketertiban akademik tidak dibangun oleh sistem digital saja, tetapi oleh kesadaran intelektual dan etika yang tumbuh melalui disiplin menulis. Wallahu A’lam.