Oleh: A. Rusdiana
Di era digital yang serba cepat, kebiasaan menulis (kitabah) sering tergeser oleh budaya instan dan konten visual. Mahasiswa lebih akrab dengan scrolling ketimbang scribbling. Padahal, kemampuan menulis merupakan jantung dari work engagement akademik tingkat keterlibatan, dedikasi, dan fokus seseorang terhadap kegiatan belajar. Menurut teori Job Demand–Job Resources (JD–JR) yang dikemukakan oleh Bakker & Demerouti (2007), engagement tumbuh ketika individu memiliki resources seperti makna kerja, otonomi, dan dukungan sosial. Menulis menyediakan semua itu: ia memberi ruang refleksi, ekspresi diri, dan pembelajaran berkelanjutan.
Namun, gap terjadi ketika aktivitas menulis di kampus hanya dianggap sebagai syarat administratif, bukan proses pembentukan karakter akademik. Mahasiswa menulis karena terpaksa, bukan karena sadar akan nilainya. Di sinilah peran kitabah perlu ditinjau ulang: bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi praktik akademik yang menumbuhkan daya tahan intelektual dan spiritual.
Tulisan ini bertujuan menggali lima pembelajaran mendalam dari Menulis/Kitabah dan Penguatan Work Engagement Akademik, serta menawarkan refleksi untuk memperkuat budaya menulis di kalangan mahasiswa dan dosen. Yu kita elborasi satu persatu:
Pilar Pertama (1) – Menulis sebagai Sumber Fokus Akademik; Menulis melatih konsentrasi. Dalam proses menulis, seseorang belajar menyaring gagasan, memilih kata, dan menyusun argumen. Aktivitas ini menumbuhkan deep focus sebuah kemampuan langka di tengah distraksi digital. Mahasiswa yang rutin menulis laporan atau refleksi belajar cenderung lebih mampu memahami konsep karena mereka menata ulang pikirannya melalui kata. Inilah bentuk job resource pertama: fokus yang terlatih.
Pilar ke-2 – Menulis sebagai Penggerak Makna Kerja; Menurut teori JD–JR, meaningfulness of work adalah energi utama dari engagement. Ketika mahasiswa menulis tentang pengalaman belajar, ide sosial, atau hasil riset kecil, mereka sedang memaknai peran akademik mereka. Menulis membuat pekerjaan belajar menjadi meaningful, bukan rutinitas kosong. Dosen yang menulis dan membagikan refleksinya di jurnal atau media populer menjadi contoh bahwa ilmu hidup ketika ditulis dan dibagikan.
Pilar ke-3 – Menulis sebagai Jembatan Emosi Positif; Engagement tumbuh bukan hanya dari kognisi, tetapi juga emosi. Menulis membantu mahasiswa menyalurkan tekanan akademik menjadi narasi produktif. Setiap kalimat yang tersusun rapi menjadi bentuk self-regulation. Dengan menulis, mahasiswa belajar mengelola emosi, mengubah stres menjadi makna. Di sinilah kitabah berfungsi sebagai terapi akademik yang menyuburkan ketenangan mental sekaligus ketajaman berpikir.
Pilar ke-4 – Menulis sebagai Latihan Ketekunan dan Disiplin; Ketekunan adalah indikator penting dari work engagement. Proses menulis memaksa seseorang menghadapi rasa malas, kebuntuan ide, dan revisi berulang. Mahasiswa yang mampu menyelesaikan tulisan panjang menunjukkan daya juang akademik yang tinggi. Dalam konteks ini, kitabah adalah arena micro resilience tempat di mana mental tangguh dibangun lewat pena dan waktu.
Pilar ke-5 – Menulis sebagai Praktik Komunitas Akademik; Engagement juga bergantung pada dukungan sosial. Kegiatan menulis bersama baik melalui writing group, komunitas Kompasiana PBB, atau tugas kolaboratif membentuk atmosfer saling belajar. Mahasiswa tak lagi menulis untuk nilai, tetapi untuk berbagi gagasan dan membangun jejaring akademik. Di titik ini, kitabah menjadi sumber kohesi sosial dan semangat persatuan intelektual.
Menulis (kitabah) bukan sekadar kegiatan akademik, melainkan fondasi work engagement yang memperkuat fokus, makna, emosi positif, ketekunan, dan jejaring sosial. Dalam bingkai JD–JR, menulis berperan sebagai personal resource yang memperkaya pengalaman belajar dan mengokohkan integritas akademik. Rekomendasi: 1) Kampus perlu membangun writing culture dengan program rutin: writing week, peer review, dan digital repository mahasiswa. 2) Dosen hendaknya menjadi teladan menulis, bukan hanya pengoreksi; 3) Komunitas mahasiswa seperti PBB dapat menjadi wadah kitabah kolektif yang memperkuat semangat “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu.”
Menulis adalah ibadah intelektual. Ia mengikat ilmu, menyatukan gagasan, dan menumbuhkan keutuhan diri akademik. Jika membaca menghidupkan wawasan, maka menulis mengabadikan nilai. Selama pena masih bergerak, persatuan akademik akan tetap hidup dari ruang kelas, komunitas digital, hingga peradaban bangsa. Wallahu A’lam.