Oleh: A. Rusdiana
Fenomena banjir informasi di era digital membuat setiap individu berpotensi menjadi opinion leader. Di platform terbuka seperti Kompasiana, satu tulisan bisa memantik diskusi luas atau bahkan menimbulkan disinformasi. Dalam konteks ini, menulis tidak bisa lagi dipahami sebagai aktivitas pribadi. Ia adalah tindakan sosial yang berimplikasi publik.
Teori yang relevan datang dari Habermas (1984) tentang public sphere, yang menekankan pentingnya komunikasi rasional dan etis dalam ruang publik. Sementara itu, Bandura (1977) melalui teori social learning menjelaskan bahwa perilaku, termasuk menulis, akan menjadi model bagi orang lain. Maka, tulisan yang menyesatkan tak hanya menciptakan kebingungan, tetapi juga menular secara sosial.
Kesenjangan (gap) muncul ketika kemampuan literasi digital masyarakat tidak seimbang dengan kebebasan berekspresi yang tersedia. Banyak penulis belum memiliki kesadaran etik dalam menulis untuk publik, sehingga konten emosional atau provokatif lebih cepat viral daripada tulisan berbasis refleksi. Dalam konteks pendidikan tinggi dan profesi akademik, kompetensi menulis yang bertanggung jawab secara sosial menjadi ukuran kualitas ilmiah dan karakter intelektual.
Tujuan penulisan ini adalah mengajak penulis muda, akademisi, dan komunitas literasi memahami makna “Menulis sebagai Tanggung Jawab Sosial” melalui lima pembelajaran mendalam yang dapat memperkuat integritas akademik dan kontribusi sosial mereka. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis sebagai Tanggung Jawab Sosial:
Pertama: Menulis untuk Mendidik, Bukan Menggurui; Tulisan sosial yang baik menumbuhkan kesadaran, bukan sekadar menghakimi. Seorang penulis yang bertanggung jawab menyajikan data, konteks, dan perspektif yang membuka ruang berpikir pembaca. Ia menulis dengan empati memahami bahwa setiap kalimat dapat memengaruhi sikap publik. Prinsip ini sejalan dengan nilai ta’dib dalam tradisi keilmuan Islam: mendidik dengan adab.
Kedua: Etika Digital sebagai Pondasi Kepenulisan Modern; Ketika tulisan menyebar di media digital, penulis otomatis terikat pada digital ethics. Menyebarkan hoaks, plagiasi, atau ujaran kebencian bukan hanya pelanggaran moral, tetapi juga mencederai martabat akademik. Etika digital menuntut kejujuran sumber, transparansi niat, dan kesantunan bahasa. Sebagaimana netiquette modern, integritas digital adalah bentuk ibadah intelektual.
Ketiga: Empati sebagai Metode Penulisan Sosial; Penulis sosial tidak hanya menganalisis, tetapi juga merasakan denyut masalah masyarakat. Ia menulis dengan kesadaran untuk menenangkan, bukan menyalakan api. Misalnya, ketika membahas isu radikalisme atau intoleransi, penulis dengan empati akan menghindari labelisasi dan mengedepankan narasi perdamaian. Inilah wujud dari etos “santri digital”: berpikir jernih, menulis jujur, dan menyebarkan damai.
Keempat: Kolaborasi Literasi dan Komunitas; Menulis sebagai tanggung jawab sosial juga berarti berkolaborasi dengan komunitas. Tulisan menjadi jembatan antarprofesi, antarkampus, dan antargenerasi. Gerakan literasi kampus, seperti Pena Santri Digital atau Kompasiana Akademika, merupakan contoh ruang kolaboratif yang menumbuhkan budaya berbagi pengetahuan. Kolaborasi ini memperluas dampak sosial dan memperkuat ekosistem literasi yang sehat.
Kelima: Menulis untuk Legasi, Bukan Sensasi; Tulisan yang bertanggung jawab bukanlah yang viral sehari, tetapi yang relevan sepanjang masa. Di sinilah perbedaan antara menulis untuk dikenang atau disanksi. Legasi ilmiah dibangun dari konsistensi, kejujuran, dan niat untuk memberi manfaat. Seorang akademisi sejati menulis bukan demi likes atau views, tetapi demi keberlanjutan pengetahuan dan peradaban.
Menulis sebagai tanggung jawab sosial menuntut keseimbangan antara kebebasan dan etika, antara ekspresi dan empati. Dalam konteks akademik dan pendidikan, keterampilan ini harus dilatih melalui kurikulum literasi kritis dan digital ethics di perguruan tinggi.
Bagi lembaga pendidikan, penting menanamkan nilai integritas akademik sejak dini, agar mahasiswa tidak hanya pandai menulis, tetapi juga berjiwa sosial.
Bagi komunitas literasi dan platform publik seperti Kompasiana, perlu dibuat kode etik atau pelatihan kepenulisan etis agar ruang digital tetap menjadi wadah yang mencerahkan, bukan memecah.
Menulis yang baik bukan sekadar cerminan kepandaian, tetapi juga kematangan moral. Di tengah derasnya arus konten digital, penulis sejati bukan yang paling cepat menulis, melainkan yang paling dalam memahami tanggung jawabnya. Karena pada akhirnya, tulisan kita akan dikenang bukan karena sensasinya, tetapi karena kontribusinya bagi kemaslahatan sosial. Wallahu A’lam.