Menulis: Sekedar Produktif atau Jalan Menuju Pendidikan Etis yang Berkelanjutan?

2025-11-02 23:53:28 | Diperbaharui: 2025-11-02 23:53:37
Menulis: Sekedar Produktif atau Jalan Menuju Pendidikan Etis yang Berkelanjutan?

 

Caption: Gambar digital bergaya flat, menggambarkan seorang penulis muda di meja kerja dengan laptop, dikelilingi simbol pena, cahaya ide, dan bayangan “refleksi diri” di belakangnya.(Sumber: Ilustrasi orisinal AI – OpenAI Image Suite, 2025).

Oleh: A. Rusdiana

Di tengah derasnya arus konten instan dan budaya menyalin, menulis sering dipandang hanya sebagai aktivitas ekspresi atau produktivitas semu. Padahal, dalam konteks komunitas literasi seperti Pena Berkarya Bersama (PBB), sampai hari ini 2 menulis memiliki makna yang jauh lebih dalam yakni pendidikan etis yang berkelanjutan.

John Dewey (1938), memandang pendidikan sejati bukan sekadar transfer pengetahuan, tetapi “pengalaman yang direfleksikan.” Dalam menulis, refleksi ini hadir ketika seseorang memproses gagasan, memilih kata, memeriksa sumber, hingga menerima kritik. Proses itu menumbuhkan disiplin moral dan intelektual. Namun, di sisi lain, gap akademik masih terlihat: banyak mahasiswa atau penulis pemula lebih fokus pada kuantitas publikasi daripada kualitas refleksi. Fenomena copy-paste thinking menunjukkan lemahnya tanggung jawab etis dalam literasi digital.

Tulisan ini bertujuan menggugah kesadaran bahwa menulis dapat menjadi media pendidikan karakter akademik sebuah latihan jangka panjang untuk membangun integritas, empati, dan tanggung jawab sosial. Berikut lima pembelajaran mendalam dari praktik menulis sebagai pendidikan etis yang berkelanjutan. Berikut ada lima Pembelajaran dari Menulis sebagai Pendidikan Etis yang Berkelanjutan:

Pertama: Menulis Melatih Disiplin Berpikir dan Bertindak; Menulis mengajarkan disiplin intelektual. Setiap kali seorang anggota PBB menulis satu artikel per pekan, ia tidak hanya mengasah keterampilan teknis, tetapi juga membangun konsistensi. Disiplin berpikir kritis dan jujur terhadap sumber adalah fondasi moral yang membentuk karakter akademik yang tahan uji.

Kedua: Menulis Menguatkan Kesadaran Moral; Proses menulis memaksa seseorang menimbang antara benar dan salah, fakta dan opini. Dalam konteks etika, setiap kutipan, data, dan interpretasi adalah ujian kejujuran. Menulis dengan hati-hati adalah praktik moral; ia melatih empati pada pembaca dan menghormati pengetahuan orang lain.

Ketiga: Menulis sebagai Refleksi Diri dan Tanggung Jawab Publik; Menurut Dewey, refleksi adalah jantung pendidikan. Setiap tulisan adalah cermin diri bagaimana seseorang berpikir, berargumen, dan menghormati kebenaran. Ketika tulisan dipublikasikan, ia menjadi bentuk tanggung jawab publik. Inilah mengapa di PBB, kegiatan Bedah Tulisan Mingguan menjadi ruang belajar yang tak hanya melatih logika, tetapi juga kejujuran intelektual.

Keempat: Menulis Membangun Ekosistem Etis dalam Komunitas; Tulisan yang lahir dari integritas akan melahirkan budaya saling menghargai. Di PBB, setiap kritik dianggap bukan serangan, melainkan umpan balik etis yang memperkaya gagasan. Inilah wujud pendidikan berkelanjutan: belajar dari perbedaan tanpa kehilangan rasa hormat terhadap sesama penulis.

Kelima: Menulis Menumbuhkan Legasi Intelektual; Pendidikan etis tidak berhenti pada individu, tetapi menular ke generasi berikutnya. Setiap karya yang ditulis dengan jujur adalah bagian dari legasi ilmiah. Penulis yang beretika meninggalkan jejak moral bahwa ilmu bukan sekadar milik pribadi, tetapi kontribusi untuk kemajuan peradaban.

Singkat kata, menulis bukan hanya sarana komunikasi, melainkan proses pendidikan moral yang terus berlangsung. Ia melatih tanggung jawab, kejujuran, dan refleksi diri. Oleh karena itu, bagi pemangku kepentingan pendidikan—kampus, komunitas literasi, dan lembaga public perlu: 1) Menjadikan aktivitas menulis sebagai bagian dari kurikulum etika akademik; 2) Mengintegrasikan peer review berbasis nilai integritas, 3) Mendukung komunitas seperti PBB sebagai laboratorium pembelajaran karakter akademik.

Menulis adalah perjalanan menuju kematangan moral. Bukan sekadar meninggalkan teks, tetapi mewariskan nilai. Dalam dunia yang serba cepat ini, integritas menjadi kompas yang menuntun arah pengetahuan. Sebab, sebagaimana diingatkan Dewey, pendidikan sejati adalah kehidupan itu sendiri dan menulis adalah salah satu bentuknya yang paling manusiawi.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
1 Orang menyukai Artikel Ini
avatar