Gerakan Aisyiyah Menulis: Dari Ruang Pengajian ke Ruang Literasi

2025-11-01 05:14:47 | Diperbaharui: 2025-11-01 05:14:47
Gerakan Aisyiyah Menulis: Dari Ruang Pengajian ke Ruang Literasi
Tim fasilitator TInTA Sesi 2

Kalau selama ini kita mengenal Aisyiyah lewat kegiatan sosialnya—seperti Posyandu Lansia, PAUD, pengajian ibu-ibu, dan dakwah kemasyarakatan—kali ini ada langkah baru yang nggak kalah keren: Gerakan Aisyiyah Menulis.
Yup, menulis! Tapi bukan sembarang menulis—ini soal bagaimana kader perempuan Aisyiyah bisa menjadikan tulisan sebagai sarana dakwah dan advokasi sosial.

Kenapa Menulis Jadi Penting Sekarang?

Menurut laporan UNESCO (2023), hanya sekitar 45% masyarakat Indonesia yang memiliki kemampuan menulis dalam konteks formal. Di sisi lain, data APJII (2024) menunjukkan bahwa 80% orang dewasa Indonesia aktif berinternet, tapi cuma 35% yang menggunakan internet untuk kegiatan produktif seperti menulis blog, membuat konten edukasi, atau opini publik.
Artinya? Kita rajin online, tapi belum banyak yang menulis hal bermakna di sana.

Nah, di sinilah Aisyiyah mau ambil peran. Kader-kader Aisyiyah di Kota Bekasi misalnya, selama ini superaktif di lapangan—dari pengajian, layanan lansia, sampai pemberdayaan keluarga. Tapi dokumentasinya sering cuma berakhir di laporan internal atau status WhatsApp. Padahal, di balik setiap kegiatan itu ada banyak cerita inspiratif yang bisa jadi dakwah bil qalam—dakwah lewat tulisan.

Rencana Besarnya: Buku Ajar “Menulis untuk Dakwah dan Pemberdayaan”

Tim pengabdian dari Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ) bareng Pimpinan Daerah Aisyiyah (PDA) Kota Bekasi bakal bikin buku ajar praktis:

“Menulis untuk Dakwah dan Pemberdayaan: Panduan Praktis bagi Kader Aisyiyah.”

Buku ini bukan teori berat, tapi lebih ke how-to guide untuk para kader yang pengin belajar menulis. Isinya mulai dari cara nemuin ide dari pengalaman sehari-hari, nulis dengan bahasa yang membumi, sampai tips menyunting tulisan biar layak dipublikasikan di media sosial atau buletin organisasi.

Setiap babnya bakal dilengkapi latihan dan contoh tulisan dari kader Aisyiyah sendiri. Jadi selain belajar nulis, peserta juga bisa refleksi: “Oh, ternyata pengalaman saya bisa jadi inspirasi untuk orang lain, ya!”

Dari Pelatihan ke Komunitas

Program ini bukan cuma soal satu kali pelatihan. Ada dua kali pertemuan intensif (2 jam tiap sesi) — minggu pertama belajar teknik menulis, minggu kedua presentasi dan diskusi hasil tulisan. Setelah itu, peserta didorong buat terus menulis dan berbagi di media Aisyiyah.

Dari hasil pelatihan, akan disusun buku ajar dan diikuti dengan pembuatan konten digital, seperti poster dakwah dan artikel pendek yang bisa disebar di media sosial.
Harapannya? Lahir komunitas kecil “Aisyiyah Menulis Bekasi” yang terus menumbuhkan semangat menulis kader di tingkat cabang dan ranting.

Dampaknya ke Depan

Kalau berjalan sesuai rencana, kegiatan ini bakal punya efek ganda:

  1. Memberdayakan perempuan lewat literasi. Menulis itu meningkatkan self-efficacy dan kesadaran kritis, sesuai teori psychological empowerment dari Zimmerman (2000).

  2. Mengarsipkan sejarah dakwah perempuan. Banyak kisah perjuangan kader yang belum tertulis—dan proyek ini bisa jadi langkah awal membuat “arsip hidup” gerakan perempuan berkemajuan.

  3. Meningkatkan kapasitas digital. Kader nggak cuma jadi pengguna media sosial, tapi juga pencipta konten bermakna.

Dakwah zaman sekarang nggak cukup cuma di mimbar atau majelis taklim. Tulisan juga bisa jadi media dakwah yang lembut tapi berdampak luas.

Karena menulis bukan hanya soal kata-kata. Ia adalah cara kita merekam jejak dakwah, perjuangan, dan cinta pada kemanusiaan.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
0 Orang menyukai Artikel Ini
avatar
Lanjutkan mb Adek, kami yg sdh lansia mendukung smg jadi amal kebaikan berjamaah perempuan aisyiyah berkemajuan. Semangaaattt....
2025-11-01 06:38:09