Kalau kamu seorang rimbawan, pasti sudah hafal dengan kalimat ini. “Tuliskan laporan kegiatan segera setelah kembali dari lapangan.” Dan hasilnya, ya itu tadi, laporan tebal berisi data, peta, koordinat, daftar spesies, tabel hasil pengamatan, sampai rekap logistik yang rapi banget. Semua lengkap, semua penting, tapi… ketika dibaca oleh orang luar, reaksinya sering sama, “Oh, oke.”
Padahal, di balik laporan yang “kering” itu, ada cerita yang bisa bikin bulu kuduk berdiri. Contohnya saja, seorang Polisi Kehutanan (Polhut) yang pernah melihat kawanan gajah melintas di kabut pagi tentang gajah yang melintas di kabut pagi, atau seorang penyuluh kehutanan yang pernah memergoki petani perambah yang membuka kawasan hutan untuk bertanam sawit.
Nah, di sinilah masalahnya. Rimbawan itu jago menulis fakta, tapi sering lupa menulis rasa.
Dari Catatan Lapangan ke Cerita Publik
Tulisan lapangan memang harus faktual, rinci, dan teknis. Tapi tulisan publikasi, entah untuk media sosial, artikel populer, atau feature, butuh jiwa narasi. Bukan berarti harus berlebihan ya, tapi perlu sentuhan yang membuat pembaca merasakan apa yang kamu alami.
Coba bayangkan dua kalimat ini:
Dilakukan penanaman 500 bibit meranti di lokasi rehabilitasi Blok III pada tanggal 14 Juni 2025... (1)
Pagi itu, kabut masih turun ketika kami menanam bibit meranti pertama. Tanahnya lembap, aroma humusnya kuat, seperti mengingatkan kami bahwa hutan sedang menunggu kehidupannya kembali... (2)
Keduanya benar. Tapi yang kedua mengajak pembaca hadir di lapangan. Itulah inti dari menulis populer, bukan mengubah faktanya, tapi menghidupkan fakta tersebut.
Kenapa Rimbawan Harus Belajar Menulis Populer?
Kita hidup di era ketika masyarakat lebih banyak membaca caption daripada laporan. Dan sayangnya, kalau rimbawan tidak ikut berbicara di ruang publik, ruang itu akan diisi oleh orang yang belum tentu paham hutan.
Mereka mungkin akan bicara soal “konservasi” tanpa pernah menjejak tanah, atau soal “reboisasi” tanpa tahu cara memegang cangkul. Tulisan populer adalah jembatan antara ilmu dan empati.
Rimbawan punya keduanya, tinggal bagaimana menyampaikannya dengan cara yang membuat orang mau membaca, lalu peduli. Berikut tipsnya.
1. Tulis Dulu dengan Hati, Rapikan Nanti.
Kesalahan paling umum saat rimbawan menulis artikel populer adalah langsung berpikir seperti membuat laporan. Paragraf pertama sudah berisi latar belakang, tujuan, metode. Padahal, pembaca umum tidak butuh itu di awal. Mereka butuh cerita, sesuatu yang membuat mereka ingin lanjut membaca.
Coba ubah urutannya:
Mulai dari momen paling hidup yang kamu alami di lapangan.
Misalnya:
Seekor elang laut melintas rendah di atas perahu kami pagi itu. Air asin menciprat wajah, dan saya baru sadar, kami sedang menanam mangrove di tanah yang dulu hanya jadi tempat buang sampah.
Kalimat ini membuat pembaca merasakan suasana sebelum tahu detail kegiatannya. Setelah itu baru masuk ke penjelasan ilmiah atau data pendukung. Intinya, laporan menjelaskan apa yang kamu lakukan, tulisan populer bercerita apa yang kamu rasakan.
2. Ganti “data mentah” dengan “makna sederhana”
Coba lihat contoh ini:
Luas tutupan hutan sekunder di kawasan X meningkat dari 3.450 hektar menjadi 4.125 hektare.
Bagi pembaca awam, angka ini tidak berarti apa-apa. Tapi kalau kamu ubah menjadi:
Selama tiga tahun terakhir, kawasan hutan yang dulu gundul kini mulai hijau kembali. Luasnya bertambah setara dengan hampir 1.000 lapangan bola.
Tiba-tiba pembaca langsung paham skalanya. Kuncinya adalah analogi. Gunakan perbandingan yang dekat dengan kehidupan sehari-hari. Rimbawan tahu angka, tapi publik butuh bayangan.
3. Gunakan Bahasa Sehari-hari, Bukan Bahasa Formulir
Tulisan populer itu bukan laporan dinas. Jadi, hindari kalimat seperti:
Kegiatan monitoring dilaksanakan secara partisipatif dengan pendekatan ekosistem berbasis masyarakat.
Ganti menjadi:
Kami memantau hutan bersama warga, berjalan kaki menyusuri sungai sambil mencatat pohon dan jejak satwa.
Sama maknanya, tapi jauh lebih mudah dicerna. Gunakan kalimat aktif, hindari istilah teknis berlebihan, dan tulislah seolah kamu sedang bercerita pada teman.
Setelah menulis, baca keras-keras. Kalau terasa seperti kamu sedang membaca berita di radio, berarti pas. Kalau terdengar seperti membacakan surat dinas, hapus, tulis ulang.
4. Gunakan “Sudut Pandang Rimbawan” Sebagai Kekuatan
Kamu tidak perlu menulis seperti jurnalis profesional. Keunikan tulisanmu justru karena kamu ada di sana. Kamu tahu bagaimana rasanya menginjak tanah lembek gambut, atau bertemu petani yang menanam kembali lahan yang dulu terbakar. Gunakan itu sebagai pintu masuk emosi.
Contoh:
Saya ingat, waktu pertama kali datang ke lokasi ini, hanya ada asap dan batang hitam arang. Sekarang, ketika menanam, anak-anak desa ikut berlari di sela-sela pohon muda. Rasanya seperti melihat hutan belajar bernapas lagi.
Sebagai rimbawan, kamu tidak sedang menulis kisah fiksi. Kamu sedang menulis kebenaran yang disajikan hangat. Dan itu jauh lebih berharga.
5. Sisipkan Pesan, Bukan Ceramah
Tulisan lingkungan kadang terjebak jadi “ceramah hijau.” Padahal pembaca justru akan lebih tersentuh kalau pesan ekologinya muncul pelan-pelan lewat cerita.
Alih-alih menulis:
Kita harus menjaga hutan karena penting bagi kelestarian bumi.
Coba tulis begini:
Ketika air sungai kembali jernih dan burung-burung mulai kembali bersarang, tidak sadarkah kamu? Hutan sedang berterima kasih pada kita.
Sama-sama pesan konservasi, tapi yang kedua lebih halus, lebih mengalir, dan terasa jujur. Pembaca tidak suka digurui. Tapi mereka mau diajak merasakan.
6. Jangan Takut Memasukkan Diri Sendiri ke Dalam Cerita
Banyak rimbawan takut menulis dengan kata “saya” karena merasa tidak profesional. Padahal, tulisan populer justru butuh kehadiran penulisnya. Kata “saya” menandakan ada manusia di balik cerita. Kamu boleh tetap objektif, tapi jangan jadi kaku.
Misalnya:
Saya belajar banyak dari seorang ibu di desa perbatasan. Tangannya kasar karena menanam setiap hari, tapi matanya lembut saat bicara tentang pohon yang dia rawat.
Tulisan seperti ini bukan soal “akuisme” ya, tapi jalan kamu menghadirkan saksi mata perubahan lingkungan. Dan siapa lagi saksi terbaik kalau bukan rimbawan itu sendiri?
7. Gunakan Foto dan Catatan Lapangan sebagai “Pemantik” Cerita
Coba buka folder fotomu di HP atau kamera lapangan. Lihat satu foto yang paling kuat. Misalnya, seekor burung hinggap di pohon atau anak-anak desa membantu menanam. Lalu tulis tiga kalimat:
- Apa yang kamu lihat di foto itu.
- Apa yang kamu rasakan saat mengambilnya.
- Apa makna yang kamu temukan sekarang.
Dari situ saja, kamu sudah punya bahan satu paragraf pembuka yang kuat. Sering kali, satu foto menyimpan ratusan kata yang menunggu untuk dituliskan.
8. Akhiri dengan Harapan, Bukan Kesimpulan
Kalau laporan harus punya “Kesimpulan dan Saran,” tulisan populer lebih enak ditutup dengan refleksi atau harapan. Misalnya:
Hujan turun pelan sore itu. Saya menatap barisan pohon muda dan teringat wajah anak-anak yang menanamnya. Mungkin nanti, ketika mereka besar, hutan ini sudah tumbuh rindang. Semoga.
Kalimat seperti ini meninggalkan kesan hangat dan membekas. Pembaca tidak sekadar tahu hasilnya, tapi juga merasakan perjalanannya. Selamat mencoba!