
Kitabah: Membangun Spirit Belajar atau Sekadar Tugas?
Oleh: A. Rusdiana
Pada era digital pendidikan 2025, ruang belajar tidak lagi terbatas pada kelas fisik. Mahasiswa terhubung melalui blog kelas, LMS, jurnal reflektif, dan berbagai medium tulis-menulis kolaboratif. Fenomena ini menunjukkan bahwa kitabah atau kegiatan menulis kini berkembang menjadi aktivitas sosial yang membentuk komunitas belajar. Dalam konteks Temu Kompasiana PBB 6 November 2025, refleksi tentang literasi, integrasi nilai, dan partisipasi pemuda menjadi semakin relevan.
Kitabah berperan bukan hanya sebagai dokumentasi, tetapi sarana dialog akademik. Mahasiswa yang menulis bersama mulai belajar menimbang pendapat, mendengarkan nilai orang lain, dan membangun konsensus. Inilah fondasi learning community yang sehat dan beradab.
Al-Qur’an memerintahkan umat untuk membaca dan menulis sejak wahyu pertama, “Iqra’ bismi rabbika” (QS. Al-‘Alaq:1–5). Hadis Nabi menegaskan, “Ikatlah ilmu dengan menuliskannya.” Dua prinsip ini menegaskan bahwa menulis bukan sekadar keterampilan, tetapi ibadah yang menjaga pengetahuan agar tidak hilang. Secara teori kontemporer, Wenger menyebut komunitas belajar terbentuk ketika individu berbagi praktik, pengalaman, dan makna secara berkelanjutan. Vygotsky juga menegaskan bahwa pengetahuan berkembang melalui interaksi sosial. Kitabah kolaboratif menggabungkan keduanya: praktik berbagi dan dialog sosial.
Di banyak kampus, mahasiswa memiliki pengetahuan metodologis (Mict-met), tetapi belum terbiasa menulis sebagai proses reflektif. Mereka menguasai teori di kelas, namun belum menjadikannya kebiasaan kolaboratif. Gap inilah yang sering membuat literasi akademik hanya berhenti pada memenuhi tugas, bukan menghidupkan budaya komunitas ilmiah.
Tulisan ini bertujuan menjelaskan bagaimana kitabah dapat menjadi proses pembentukan komunitas belajar, serta memberikan arah baru bagi pendidik dan mahasiswa dalam mengembangkan budaya menulis yang kolaboratif, reflektif, dan bernilai. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Kitabah sebagai Proses Pembentukan Komunitas dan Spirit Belajar:
Pertama: Kitabah Menghubungkan Individu Melalui Makna Bersama; Saat mahasiswa menulis refleksi bersama, mereka sesungguhnya sedang membangun shared meaning. Tulisan menjadi jembatan ide, pengalaman, bahkan perbedaan. Proses ini menciptakan sense of belonging: mereka merasa bagian dari komunitas akademik yang sama, meski berasal dari latar belakang berbeda. Ini menjawab kebutuhan generasi saat ini: belajar dalam jejaring, bukan sendirian.
Kedua: Kitabah sebagai Praktik Sosial, Bukan Aktivitas Individual; Menulis sering dianggap pekerjaan sunyi, padahal dalam komunitas belajar, menulis adalah aktivitas sosial. Blog kelas, kolom refleksi LMS, dan jurnal kolaboratif membuat mahasiswa saling membaca, memberi komentar, memperbaiki argumentasi, dan memperkaya literasi. Proses ini mendorong lahirnya negosiasi makna, inti dari teori Wenger. Mahasiswa belajar bahwa ilmu tumbuh melalui percakapan yang berkelanjutan.
Keiga: Kitabah Melatih Etika Dialog dan Disiplin Akademik; Menulis bersama memaksa mahasiswa berlatih etik: menghargai pendapat, tidak melakukan plagiasi, memberi kredit sumber, dan menjaga kualitas argumentasi. Etika inilah yang sesungguhnya membentuk integritas akademik. Disiplin menulis juga membangun karakter: teliti, sabar, dan bertanggung jawab.
Keempat: Kitabah Membentuk Ruang Aman untuk Saling Menguatkan; Dalam komunitas menulis, mahasiswa saling mendukung. Mereka memberi masukan, meluruskan asumsi, dan membantu memperkaya sudut pandang. Ruang menulis bersama menjadi safe learning space di mana kesalahan bukan hukuman, tetapi kesempatan memperbaiki diri.
Ruang kolaboratif semacam ini sangat penting bagi mahasiswa yang masih mencari identitas akademiknya.
Kelima: Kitabah sebagai Medium Pembentukan Kepemimpinan; Mahasiswa yang aktif menulis dan mengelola diskusi sering tumbuh menjadi pemimpin akademik: fasilitator ide, penjaga mutu konten, dan penggerak komunitas. Menulis membuat mereka belajar mempengaruhi orang lain melalui gagasan, bukan kekuasaan.
Ini adalah bentuk kepemimpinan nir-kekuasaan (leadership without authority) yang sangat dibutuhkan di era digital.
Kitabah bukan sekadar tugas akademik, tetapi proses membangun komunitas belajar yang hidup, reflektif, dan berakar pada nilai-nilai Qur’an dan tradisi keilmuan Islam. Ketika mahasiswa menulis bersama, mereka sedang belajar bersatu dalam makna, bukan hanya berkumpul dalam kelas. Rekomendasi: 1) Dosen perlu merancang aktivitas menulis kolaboratif sebagai bagian inti pembelajaran; 2) Mahasiswa perlu menjadikan kitabah sebagai kebiasaan, bukan kewajiban; 3) Kampus perlu membangun platform menulis bersama, ruang publikasi internal, dan forum refleksi berkala.
Menulis adalah ibadah ilmu, dan komunitas belajar adalah rumahnya. Kitabah mengikat pengetahuan, menyatukan perbedaan, dan melahirkan generasi yang berfikir jernih serta berakhlak akademik. Bila pemuda ingin membangun peradaban, mulailah dengan menulis karena dari tulisan, komunitas tumbuh dan bangsa bergerak.