Menulis di Era Digital Masih Bisa Jadi Amal Jariyah atau Asal Unggah?
Oleh: A. Rusdiana
Ketika dunia berlari dalam arus digital, menulis sering kali direduksi menjadi aktivitas mengisi linimasa. Padahal, dalam pandangan Islam, kitabah (menulis) adalah perintah mulia yang menyertai wahyu pertama. Firman Allah dalam QS. Al-‘Alaq: 1-5 memerintahkan manusia untuk membaca dan menulis sebagai jalan mengenal Tuhan. Rasulullah ï·º pun menegaskan, “Tinta ulama lebih berharga daripada darah syuhada.” (HR. Abu Dawud). Artinya, menulis bukan sekadar ekspresi pikiran, melainkan ibadah ilmu yang memiliki nilai abadi.
Fenomena saat ini memperlihatkan paradoks: banyak mahasiswa dan profesional menulis cepat, namun minim refleksi nilai. Di sinilah gap akademik dan spiritual muncul. Teknologi menghadirkan kemudahan publikasi, tetapi tanpa fondasi niat yang benar, karya digital kehilangan ruh amal jariyah. Melalui pendekatan MICT-MET (Moral, Intellectual, Creative, and Technological Mindset of Educational Transformation), tulisan ini bertujuan membangun kesadaran bahwa menulis bukan hanya kompetensi akademik, tetapi juga ibadah ilmu dan amal jariyah digital sebuah cara baru menyalurkan pengetahuan di era transformasi pendidikan. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Kitabah Digital:
Pertama: Kitabah sebagai Amanah Ilmu; Menulis berarti mengikat pengetahuan agar tak hilang. Imam Syafi’i pernah berkata, “Ikatlah ilmu dengan menulisnya.” Dalam konteks digital, tulisan di platform seperti Kompasiana, blog akademik, atau media sosial edukatif menjadi wadah penyebaran hikmah. Namun amanah ini menuntut kejujuran intelektual menghindari plagiasi, hoaks, dan clickbait. Setiap kata akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Qaf: 18, “Tiada satu ucapan pun yang terucap, melainkan ada malaikat yang mencatatnya.”
Kedua: Menulis sebagai Amal Jariyah Digital; Tulisan yang mendidik, menginspirasi, dan menuntun kebaikan akan terus mengalir pahalanya meski penulisnya tiada. Dalam hadis riwayat Muslim disebutkan, “Apabila anak Adam wafat, terputuslah amalnya kecuali tiga: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan.”
Tulisan ilmiah, refleksi spiritual, atau panduan praktis di dunia maya menjadi bentuk “ilmu yang bermanfaat” di abad digital. Platform seperti Kompasiana menjelma ladang amal bagi penulis edukatif.
Ketiga: Menulis sebagai Latihan Nalar dan Zikir; Menulis bukan hanya kerja tangan, tapi juga kerja hati dan akal. Saat seseorang menuliskan gagasannya dengan niat ibadah, ia sedang berzikir melalui pena. Proses berpikir kritis, menyusun argumen, dan mencari kebenaran sejatinya adalah bentuk dzikrullah intelektual. Ini selaras dengan QS. Al-Mujadilah: 11, yang menjanjikan derajat tinggi bagi orang berilmu. Mahasiswa dan pendidik yang menulis dengan keikhlasan sedang melatih integritas akademik sekaligus spiritualitas berpikir.
Keempat: Kitabah Digital sebagai Dakwah Intelektual; Menulis di ruang digital adalah cara baru berdakwah: menyampaikan nilai Islam dengan bahasa sains, teknologi, atau budaya populer. Dakwah tidak lagi terbatas di mimbar, tetapi hadir di artikel, e-book, atau infografis. Namun tantangannya adalah menjaga adab digital menghindari ujaran kebencian, fitnah, dan provokasi. Menulis dengan akhlak adalah jihad pena di abad algoritma. Setiap artikel yang mencerahkan dapat menjadi cahaya bagi peradaban virtual.
Kelima: Menulis sebagai Penguat Ekosistem Literasi dan Ekonomi Ilmu; Ketika menulis dijalankan sebagai ibadah ilmu, lahirlah ekosistem literasi yang produktif. Kompasianer, pendidik, dan pelajar bisa saling memberi masukan, menciptakan kolaborasi lintas bidang. Lebih jauh, budaya menulis yang bernilai edukatif dapat memperkuat ekonomi kreatif berbasis ilmu, menciptakan lapangan kerja baru di bidang pendidikan digital, riset, dan penerbitan daring. Maka, kitabah digital bukan hanya amal jariyah spiritual, tetapi juga kontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi ilmu Indonesia.
Menulis sebagai ibadah ilmu dan amal jariyah digital merupakan panggilan spiritual sekaligus intelektual. Ia menuntut niat yang lurus, proses ilmiah yang jujur, dan orientasi manfaat bagi umat. Bagi mahasiswa dan pendidik, jadikan tulisan digital sebagai laboratorium berpikir dan beramal. Bagi pemerintah dan lembaga pendidikan, dukung platform literasi akademik yang menghargai orisinalitas dan etika publikasi.
Dan bagi masyarakat digital, jadikan membaca dan menulis sebagai gaya hidup yang berorientasi pahala.
Dalam dunia yang serba cepat, menulis dengan hati adalah bentuk melawan kelupaan zaman. Setiap kalimat yang mengandung nilai kebaikan adalah investasi akhirat.
Seperti tinta para ulama, jejak digital para penulis akan terus hidup mengalir sebagai amal jariyah ilmu yang menyejukkan dunia maya dan menumbuhkan peradaban. Wallahu A’lam.