

Menulis atau Membisu; Bukankah Medium Baru Persatuan Bangsa?
Oleh: A. Rusdiana
Sumpah Pemuda 1928 telah menyatukan bangsa melalui bahasa; kini generasi digital menghadapi tantangan baru: derasnya informasi tanpa integritas, opini tanpa verifikasi, dan percakapan publik yang sering terpolarisasi. Dalam situasi seperti ini, menulis bukan sekadar aktivitas akademik ia menjadi medium persatuan dan peneguhan peradaban. Peringatan Hari Pahlawan 10 November 2025 yang mengusung tema “Pahlawanku Teladanku, Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan” mengajak pemuda masa kini untuk melanjutkan perjuangan bukan dengan senjata, tetapi dengan tinta digital dan produksi gagasan.
Fenomena hari ini menunjukkan bahwa literasi menurun, budaya membaca melemah, dan ruang digital dipenuhi duplikasi konten. Padahal Sutan Sjahrir telah mengingatkan: “Kebebasan berpikir adalah bentuk pertama dari kemerdekaan.” Tanpa kemampuan menulis, kebebasan itu kehilangan bentuk dan suara. Konsep ini diperkuat oleh: Teori Komunitas Imajiner (Benedict Anderson): bangsa terbentuk melalui teks, narasi, dan tulisan yang mengikat identitas bersama. Teori Literasi Kritis (Paulo Freire): menulis adalah praktik pembebasan; melalui tulisan, manusia menafsirkan dan mengubah dunia. Teori Ekologi Digital (Rheingold): kualitas peradaban digital bergantung pada kontribusi warganya melalui konten yang bertanggung jawab. Ketiganya menegaskan bahwa tulisan bukan sekadar produk bahasa, tetapi infrastruktur persatuan.
Kesenjangan yang muncul hari ini adalah tingginya produksi konten, tetapi rendahnya kualitas narasi. Banyak yang menulis cepat, tetapi sedikit yang menulis mendalam; banyak unggahan, tetapi minim tanggung jawab moral. Akibatnya, ruang digital kehilangan fungsi persatuannya, berubah menjadi arena kompetisi ego.
Tulisan ini bertujuan mengelaborasi lima pembelajaran mendalam tentang menulis sebagai medium persatuan dan peradaban, dikaitkan dengan spirit Hari Pahlawan 2025 sebagai dorongan bagi pemuda untuk terus bergerak meneguhkan peradaban bangsa melalui literasi. Berikut Lima Pembelajaran Mendalam dari Menulis sebagai Medium Persatuan dan Peradaban:
Pertama: Menulis sebagai Tindakan Kepahlawanan Baru; Jika pahlawan 1945 berjuang dengan raga dan keberanian fisik, pahlawan digital berjuang melalui gagasan. Menulis menjadi bentuk perlawanan terhadap hoaks, ketidakadilan informasi, dan narasi yang memecah belah. Setiap artikel yang jujur, argumentatif, dan bernurani adalah wujud “terus bergerak melanjutkan perjuangan” dalam ranah intelektual.
Kedua: Menulis sebagai Instrumen Pengikat Identitas Kolektif; Seperti Sumpah Pemuda mengikat identitas melalui bahasa, generasi kini dapat memperbaruinya melalui “Sumpah Literasi”: komitmen menghasilkan tulisan yang memperkuat kebangsaan. Dalam perspektif Anderson, bangsa berdiri di atas teks yang terus diperbarui; karena itu, persatuan membutuhkan generasi yang aktif memproduksi narasi kolektif, bukan hanya mengonsumsi.
Ketiga: Menulis sebagai Ruang Dialog Empatik; Tulisan yang baik memaksa penulis berpikir jernih, mendengar pendapat berbeda, dan menyusun argumen tanpa menyerang pribadi. Di era polarisasi digital, kemampuan ini menjadi modal sosial penting. Tulisan yang empatik menciptakan jembatan lintas kampus, daerah, dan kelompok, memperkuat jejaring persaudaraan pemuda Indonesia.
Keempat: Menulis sebagai Penjaga Peradaban Digital; Peradaban tidak runtuh karena kemiskinan informasi, tetapi karena hilangnya nilai dalam informasi. Melalui teori literasi kritis Freire, menulis menjadi cara warga muda mengawal etika publik, memperbaiki bias, mengajukan solusi, dan mengkritik tanpa merusak. Ruang digital menjadi sehat ketika dipenuhi konten bernilai, bukan sekadar viral.
Kelima: Menulis sebagai Bukti Kebebasan Berpikir; Sutan Sjahrir menyebut kebebasan berpikir sebagai inti kemerdekaan. Menulis adalah manifestasi kebebasan itu. Pemuda yang menulis berarti berpikir; pemuda yang berpikir berarti merdeka. Maka, menulis tidak hanya memperkuat identitas individu, tetapi juga membangun civil discourse yang menjadi fondasi peradaban bangsa.
Sinkatnya, menulis bukan lagi keterampilan tambahan, tetapi alat strategis persatuan nasional dan fondasi peradaban digital. Dikaitkan dengan tema Hari Pahlawan 2025, aktivitas menulis merupakan cara pemuda meneladani pahlawan: bergerak, berjuang, dan menjaga bangsa melalui kata yang jujur dan mempersatukan. Rekomendasi: 1) Kampus: wajib menghidupkan budaya menulis melalui ruang publikasi dan kolaborasi literasi antarmahasiswa; 2) Pemerintah & Disdik: fasilitasi pelatihan menulis publik dan literasi digital terpadu; 3) Komunitas Literasi: jadikan menulis sebagai gerakan kebangsaan, bukan hanya kegiatan akademik; 4) Mahasiswa: jadikan tulisan sebagai kontribusi intelektual bagi bangsa; 5) Media Pendidikan: perkuat ruang ekspresi literasi agar narasi pemuda tidak tenggelam oleh konten permukaan.
Tulisan adalah jejak perjuangan intelektual. Jika dulu persatuan lahir dari ikrar bahasa, kini persatuan dibangun melalui narasi digital yang jujur dan mempersatukan. Selama pena pemuda Indonesia bergerak, semangat “Pahlawanku Teladanku Terus Bergerak Melanjutkan Perjuangan” akan terus hidup dalam peradaban kita. Wallahu A'lam.