PEREMPUAN HARUS MENULIS: DARI KATA KE PERADABAN

2025-12-23 06:52:25 | Diperbaharui: 2025-12-23 07:12:18
PEREMPUAN HARUS MENULIS: DARI KATA KE PERADABAN
Caption: Sumber: Sisters, tersediadi https://www.sisternet.co.id/read/281323-ini-3-alasan-mengapa-perempuan-harus-menulis

 

PEREMPUAN HARUS MENULIS: DARI KATA KE PERADABAN

Oleh: A. Rusdiana

Peringatan Hari Ibu setiap 22 Desember di Indonesia bukan sekadar seremoni kasih sayang domestik. Sejak ditetapkan berdasarkan momentum Kongres Perempuan Indonesia I tahun 1928, Hari Ibu memikul makna politik, intelektual, dan kultural: perempuan sebagai subjek sejarah dan penggerak peradaban. Karena itu, ketika tema dan logo Hari Ibu dirilis setiap tahun oleh pemerintah, sesungguhnya yang sedang ditegaskan adalah pesan tentang peran strategis perempuan dalam pembangunan bangsa.

Jika dibandingkan dengan masa Kartini, kondisi perempuan Indonesia hari ini jelas mengalami kemajuan signifikan. Akses pendidikan semakin terbuka, angka buta huruf menurun, dan ruang partisipasi publik semakin luas. Namun, kemajuan struktural ini belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kontribusi gagasan. Secara kuantitatif perempuan hadir, tetapi secara kualitatif suara intelektual perempuan masih sering tenggelam. Di sinilah relevansi seruan Saparinah Sadli menjadi sangat aktual: perempuan harus menulis.

Saparinah Sadli, mantan Ketua Komnas Perempuan menegaskan bahwa menulis adalah medium strategis untuk menyebarkan gagasan, sebagaimana yang dilakukan Kartini melalui surat-suratnya. Kritik Kartini terhadap perkawinan anak, poligami, dan ketidakadilan gender bukan hanya catatan personal, tetapi dokumen pemikiran yang melampaui zamannya. Tulisan-tulisan itulah yang membuat Kartini hidup lintas generasi. Pesannya jelas: gagasan yang tidak ditulis akan mudah hilang, sedangkan gagasan yang ditulis akan berumur panjang.

Menariknya, secara biologis dan psikologis, perempuan justru memiliki modal kuat untuk menulis. Berbagai studi menyebutkan bahwa perempuan mampu memproduksi lebih banyak kata per hari dibanding laki-laki, salah satunya dikaitkan dengan protein FOXP2 yang berperan dalam kemampuan berbahasa. Di era media sosial, kelebihan kata ini sering tumpah dalam bentuk caption panjang, status emosional, atau curahan hati digital. Tantangannya bukan pada jumlah kata, melainkan pada arah dan kualitas kata. Dalam konteks inilah, menulis menghadirkan setidaknya tiga pelajaran penting bagi perempuan dan komunitasnya:

Pertama, menulis sebagai pengelolaan emosi dan kesadaran diri; Menulis memungkinkan perempuan menyalurkan emosi secara reflektif, bukan reaktif. Ia menjadi terapi sunyi yang membantu menata perasaan sebelum berubah menjadi tindakan. Ketika diarahkan dengan bijak, tulisan personal dapat bertransformasi menjadi refleksi sosial yang mencerahkan, bukan sekadar curahan yang melelahkan ruang publik.

Kedua, menulis sebagai peningkatan kapasitas dan daya tawar; Dari menulis lahir peluang: blogger, penulis, kreator konten, peneliti, hingga penggerak komunitas. Banyak perempuan termasuk para ibu membangun reputasi intelektual dan ekonomi melalui tulisan, tanpa harus meninggalkan peran utamanya. Di era digital, menulis cukup bermodal gawai dan konsistensi. Kapasitas diri tumbuh, jejaring meluas, dan kepercayaan diri menguat.

Ketiga, menulis sebagai ruang kegembiraan dan kebebasan berekspresi.
Menulis tidak selalu harus serius dan akademik. Ia bisa menjadi ruang having fun yang sehat, sarana bermain gagasan, humor, dan imajinasi. Dari kegembiraan itulah sering lahir kreativitas yang autentik dan menggerakkan.

Fenomena ini tercermin kuat dalam Komunitas Pena Berkarya Bersama (PBB). Sejak berdiri pada 16 September 2025, PBB telah dihuni tidak kurang dari 2.632 pengikut, dengan lebih dari 70% anggotanya perempuan. Angka ini bukan kebetulan. Ia adalah pertanda: perempuan sedang mencari, menemukan, dan membangun ruang aman untuk bersuara melalui tulisan. Dominasi perempuan di PBB menunjukkan dahaga kolektif untuk mengekspresikan gagasan, berbagi pengalaman, dan berkontribusi pada wacana publik secara bermakna.

Maka, menjelang Hari Ibu, pertanyaannya bukan lagi apakah perempuan bisa menulis, melainkan apakah perempuan mau dan berani menulis. Dari komunitas, dari gawai, dari pengalaman sehari-hari kata-kata perempuan sedang menunggu untuk dirapikan, diarahkan, dan dipublikasikan. Karena peradaban tidak hanya dibangun oleh kekuasaan, tetapi oleh kata-kata yang berani dituliskan. Wallahu A'lam.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
1 Orang menyukai Artikel Ini
avatar
Masya Allah
2025-12-23 07:21:55