Upaya memahami teka-teki krisis alam/lingkungan hidup tidak bisa dilepas-pisahkan dari bagaimana manusia melihat alam tersebut atau seperti apa alam di mata manusia. Sejak zaman filsafat barat kuno (abad VI SM), alam dijadikan sebagai pusat renungan filosofis, pusat ketakjuban dan keterpesonaan, dan karena itu sangat dicintai. Sebagai contoh, dengan mengamati air secara saksama, Thales dari Miletos, mengawali sejarah filsafat barat kuno dengan sebuh teori bahwa air adalah prinsip dasar segala sesuatu. Heraclitus pun demikian. Dengan mengagumi sungai, ia sempat menelorkan teorema Panta Rhei: segala sesuatu berubah, mengalir seperti sungai. Seseorang tidak bisa melangkah dan menginjakkan kakinya pada air sungai yang sama untuk kedua kalinya karena air sungai selalu mengalir. Baginya, segala sesuatu selalu berubah, senantiasa dalam proses. Tak ada yang abadi selain perubahan. Pandangan-pandangan ini memuncak pada filsafat Aristoteles yang melahirkan model sistemis-organis, yang terus bertahan hingga filsafat abad pertengahan.
Munculnya abad pencerahan, yang dimulai dengan deklarasi Rene’ Descartes (1596-1650) tentang cogito ergoi sum: saya berpikir maka saya ada, dan diperkuat oleh invasi sains modern, telah mendudukan manusia sabagai subjek di takhta kekuasaan alam. Pendekatan organistik di mana alam dilihat sebagai bagian dari makhluk hidup yang patut dihargai, diganti dengan sistem mekanistik di mana alam cuma sebagai alat (mesin) pemuas kebutuhan/keinginan manusia.
Merujuk pada Fritjo Capra (1939), filsuf abad XX asal Austria, cara pandang mekanistik telah membawa perkembangan sains dan teknologi yang memudahkan manusia; Namun di sisi lain, mereduksi kompleksitas dan kekayaan hidup manusia itu sendiri. Alam yang tadinya dipahami dengan intuisi, rasa dan memiliki roh, berubah menjadi mesin raksasa yang kaku, kering, mati dan menjadi objek tindakan manusia. Eksploitasi terhadap alam tak terhindarkan. Bencana membayang di mana-mana sebagai dampak keserakahan manusia. Pandangan mekanistik terhadap alam telah melahirkan perusakan lingkungan seperti pencemaran udara, air, dan tanah yang tentunya mengancam keberadaan manusia. Manusia seolah-olah kehilangan nalar karena menggali lubang untuk menguburkan dirinya sendiri. Banjir bandang dan longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat beberapa waktu lalu menjadi salah satu signal bencana ekologis-mematikan akibat keserakahan manusia dalam mengeksploitasi alam.
Upaya memahami krisis alam pada tataran filosofis ini membawa kita pada tahap yang paling dalam yaitu menyangkut peninjauan kembali cara pandang manusia terhadap alam sekitarnya. Dalam bukunya the web of life (jaring kehidupan), Fritjo Capra menawarkan visi baru kehidupan. Berbagai krisis yang menyentuh aspek kehidupan manusia, seperti krisis ekologi, kesehatan, sosial ekonomi, politik, dan lain-lain, perlu ditilik dari sebuah krisis tunggal yakni krisis persepsi (dalam hal ini pandangan manusia tentang alam atau alam di mata manusia). Karena itu, satu-satunya cara untuk keluar dari kemelut krisis itu adalah perubahan radikal dalam persepsi atau pemikiran manusia. Kita harus berani mengoreksi diri dan mengganti cara pandang yang usang dengan cara pandang yang lebih tepat tentang alam dan sekitarnya. Capra menegaskan, bahwa manusia tidak merajut jaring kehidupan. Manusia hanyalah secarik benang yang ada pada jarring kehidupan bersama makhluk lain. Apa pun yang manusia lakukakan terhadap jaring itu, akan berdampak juga pada dirinya.

Dalam kerangka berpikir ini, pendidikan lingkungan merupakan hal yang sangat penting. Pendidikan lingkungan adalah proses mendidik individu agar sadar, peduli, dan mampu bertindak positif terhadap isu dan masalah lingkungan. Hal ini bertujuan membentuk karakter bertanggung jawab terhadap alam dan mendorong pembangunan berkelanjutan melalui pemahaman, keterampilan, dan sikap peduli lingkungan serentak mendorong solusi praktis seperti pengelolaan sampah, penghijauan, dan konservasi sumber daya.
Salah satu tempat yang diharapkan efektif untuk menanamkan kesadaran serta mengubah pola pikir/cara pandang adalah pendidikan formal/sekolah. Sekolah (dengan program sekolah adiwiyata) menjadi tempat ideal untuk menanamkan etika ekologis. Program sekolah adiwiyata berpijak pada cara pandang yang tepat terhadap lingkungan alam, dan karena itu perlu dimulai dari perubahan cara pandang/pola pikir, sekaligus membantu mengubah cara pandang yang keliru terhadap alam. Adiwiyata berasal dari kata adi yang berarti besar, agung, baik, ideal, sempurna; dan wiyata artinya tempat di mana orang mendapat ilmu pengetahuan, norma dan etika dalam kehidupan sosial. Adiwiyata berarti tempat yang baik dan ideal untuk memperoleh pengetahuan dan norma serta etika yang dapat menjadi dasar manusia menuju kesejahteraan hidup. Program Sekolah Adiwiyata adalah upaya untuk mewujudkan sekolah yang berwawasan lingkungan, peduli terhadap lingkungan.
Selain itu, implementasi pendidikan lingkungan dapat dilakukan melalui berbagai cara, seperti program komunitas peduli lingkungan, kampanye media, pembiasaan dan pelatihan-pelatihan atau sosialisasi berbagai kebijakan yang ramah lingkungan. Kerjasama antara pemerintah, organisasi non-pemerintah, dan sektor swasta sangat penting untuk menciptakan program pendidikan lingkungan yang komprehensif dan berkelanjutan, sambil didukung oleh kebijakan pemerintah dengan Undang-Undang yang ramah lingkungan.
Dengan mengubah pola pikir, perlahan tapi pasti akan tercipta generasi yang lebih sadar dan bertanggung jawab terhadap lingkungan. Masyarakat yang teredukasi dengan baik tentang isu-isu lingkungan akan lebih mampu mengambil tindakan yang positif dan berkontribusi pada keberlanjutan planet kita. Masyarakat yang teredukasi akan melihat alam sebagai sesama makhluk atau sebagai subjek yang perlu dihargai dan dicintai dan bukan sekadar alat pemuas kebutuhan manusia. Atau dalam konteks filsafat barat kuno, alam menjadi pusat ketakjupan yang mempesona dan karena itu patut dicintai. Mari kita coba, mulai lingkungan kita masing-masing, menuju masyarakat luas. Sayangi bumi, maka bumi akan menyayangi kita.***
Oleh: Zakarias Surat
Alumni Sesado 1996-2000