Di tengah narasi kemandirian mahasiswa, ada satu hal yang sering luput diapresiasi: anak yang sudah kuliah, tetapi setiap menelepon orang tuanya selalu meminta doa. Kebiasaan ini dimulai sejak mondok di jenjang SMA. Bagi sebagian orang, ini mungkin terdengar sepele. Namun bagi yang memahami proses tumbuh dewasa—terutama dari sisi psikologis dan spiritual—ini justru pertanda kedewasaan yang sedang bertumbuh.
Meminta doa orang tua bukan tanda anak lemah atau belum mandiri. Sebaliknya, itu adalah bentuk kesadaran diri: bahwa hidup tidak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh kemampuan pribadi semata.
Doa Orang Tua sebagai “Anchor” Batin
Dalam konteks mahasiswa, khususnya di program studi yang menuntut logika, ketelitian, dan ketahanan mental tinggi seperti teknologi dan teknik, fase awal kuliah sering kali terasa berat. Banyak anak terlihat kuat dari luar, tetapi di dalam sedang berjuang menata ritme, pola belajar, dan ekspektasi diri.
Di sinilah doa orang tua berfungsi sebagai anchor batin—jangkar emosional yang memberi rasa aman dan keberanian untuk terus melangkah. Anak yang secara sadar meminta doa menunjukkan bahwa ia:
-
Mengakui adanya proses yang lebih besar dari dirinya
-
Memiliki kerendahan hati
-
Tidak memutus hubungan batin dengan keluarga meski sedang belajar mandiri
Perspektif STIFIn: Drive dari Dalam ke Luar
Jika dilihat dari sudut pandang STIFIn, khususnya pada anak dengan kecenderungan introvert, perilaku meminta doa ini sangat masuk akal. Introvert STIFIn memiliki dominasi lapisan otak bagian dalam, dengan drive kecerdasan dari dalam ke luar (inside–out).
Artinya, kekuatan utama mereka bukan pada ekspresi verbal atau pencitraan eksternal, melainkan pada penguatan internal: nilai, keyakinan, dan ketenangan batin. Doa orang tua menjadi salah satu sumber penguat internal tersebut.
Anak seperti ini biasanya:
-
Tidak langsung “melaju kencang” di awal
-
Membutuhkan waktu untuk membangun struktur internal
-
Namun setelah menemukan pola, akan bergerak stabil dan konsisten
Mandiri Tidak Harus Memutus Akar
Ada anggapan keliru bahwa anak yang sudah kuliah harus sepenuhnya lepas dari orang tua, termasuk secara emosional dan spiritual. Padahal, kemandirian sejati bukan berarti memutus akar, melainkan mampu berdiri tegak karena akarnya kuat.
Anak yang masih meminta doa justru sedang belajar mandiri dengan cara yang sehat:
-
Ia berjuang sendiri di lapangan
-
Tapi tidak menafikan restu dan harapan orang tua
-
Ia melangkah, bukan memberontak
Menariknya, anak-anak seperti ini sering mampu menyeimbangkan akademik dengan aktivitas lain—termasuk olahraga, organisasi, atau kompetisi—karena mereka memiliki pusat ketenangan di dalam diri.
Bagi Orang Tua: Jangan Remehkan Permintaan Doa
Ketika anak menelepon hanya untuk berkata, “Doakan ya, Bu” atau “Minta doa, Yah”, itu bukan formalitas. Itu adalah sinyal kepercayaan. Orang tua tidak selalu harus memberi solusi, nasihat panjang, atau tuntutan hasil.
Sering kali, doa yang tulus dan kepercayaan penuh justru lebih menguatkan daripada seribu kata motivasi.
Karena pada akhirnya, yang kuat bukan yang tidak pernah meminta doa, melainkan yang tahu kapan harus bersandar, dan kapan harus melangkah sendiri.