Hari ini aku dapet kesempatan jadi narasumber pelatihan kepala sekolah SMK dengan tema “Inquiry Collaboration: Belajar Kolaboratif Berbasis Rasa Ingin Tahu.”
Topik ini lagi trending banget di dunia pendidikan — karena kita semua sadar, siswa zaman sekarang nggak bisa lagi “disuapi”, tapi perlu diajak menemukan sendiri.

Tapi ada satu momen yang bikin aku berhenti sejenak dan senyum lebar.
Di antara belasan kepala sekolah yang hadir, ada satu SMK yang sudah menerapkan STIFIn — untuk siswanya, juga untuk guru-gurunya.
1. Inquiry Tanpa Kenal Diri Itu Setengah Jalan
Banyak sekolah udah mencoba inquiry-based learning — tapi sering kali macet di tengah.
Kenapa? Karena inquiry itu butuh kesadaran diri (self-awareness) dan pemahaman peran tim.
Nah, di titik ini STIFIn masuk kayak missing piece.
Bayangin guru yang tahu dirinya Thinking bakal menyiapkan panduan logis dan sistematis.
Guru Feeling akan memancing diskusi penuh empati.
Guru Intuiting bakal melahirkan ide gila yang menular.
Dan guru Sensing memastikan semuanya tetap realistis dan bisa dijalankan.
Inquiry collaboration tanpa STIFIn itu kayak tim sepak bola yang main tanpa tahu posisi masing-masing.
Ada yang striker tapi malah sibuk di gawang ð
2. SMK yang “Selangkah Lebih Paham”
SMK Gapura Merah Putih (GMP) yang udah menerapkan STIFIn ini bener-bener menarik.
Mereka memetakan mesin kecerdasan seluruh guru dan siswa, lalu menggunakannya buat:
-
Menyusun strategi pembelajaran diferensiatif (guru Intuiting pegang proyek kreatif, guru Thinking handle data dan analisis).
-
Membentuk tim kolaborasi lintas mesin supaya ide nggak numpuk di satu gaya berpikir.
-
Dan yang paling keren: guru jadi lebih toleran terhadap gaya belajar siswa.
Bayangkan ruang kelas tempat guru tahu bahwa siswanya bukan “malas berpikir”, tapi memang otaknya bekerja dengan cara berbeda.
3. Inquiry Collaboration + STIFIn = Deep Learning yang Manusiawi
Inquiry collaboration mengajarkan how to learn together,
sedangkan STIFIn mengajarkan how to understand each other.
Gabungan keduanya menciptakan lingkungan belajar yang penuh kesadaran, bukan sekadar proyek kerja kelompok.
Setiap orang bukan hanya mencari jawaban, tapi juga mengenali bagaimana mereka mencari jawaban itu.
4. Refleksi untuk Kepala Sekolah
Banyak kepala sekolah bilang,
“Kolaborasi itu susah, Bu. Orangnya beda-beda.”
Dan aku jawab,
“Justru karena beda-beda, kolaborasi jadi mungkin. Yang penting tahu dulu bedanya di mana.”
Inquiry collaboration akan hidup kalau tiap guru tahu pola pikir dan drive-nya sendiri.
Di situlah STIFIn bukan sekadar tes kepribadian, tapi peta kesadaran tim.
Melihat SMK yang berani menerapkan STIFIn itu seperti ngelihat bibit sekolah masa depan —
bukan cuma fokus pada “apa yang diajarkan”, tapi “siapa yang diajarkan dan siapa yang mengajar.”
Inquiry bukan sekadar bertanya.
Kolaborasi bukan sekadar bekerja bareng.