Use It or Lose It: Evolusi Cara Belajar, AI, & Peran Genetika (STIFIn)

2025-12-16 05:10:53 | Diperbaharui: 2025-12-16 05:10:53
Use It or Lose It: Evolusi Cara Belajar, AI, & Peran Genetika (STIFIn)
AI generated

Cara manusia mendapatkan ilmu berubah drastis, dan perubahan itu menuntut cara belajar yang sama sekali baru. Jika tidak ikut berevolusi, bukan hanya pengetahuan kita yang usang, tetapi cara berpikir kita bisa kehilangan relevansi.

Perubahan ini tidak terjadi tiba-tiba. Ia berjalan melalui beberapa era besar.

Pada Era Print, informasi bersifat fisik. Buku, koran, dan diktat adalah pusat pengetahuan. Orang pintar adalah mereka yang mampu menghafal. Sistem pendidikan pun selaras dengan karakter era ini: membaca panjang, tekun, dan fokus. Deep work menjadi keterampilan utama.

Jika ditarik ke perspektif STIFIn, era ini sangat ramah bagi mesin kecerdasan Sensing dan Thinking. Sensing unggul dalam ketekunan dan detail, sementara Thinking kuat dalam struktur dan logika hafalan.

Masuk ke Era Search, informasi menjadi on-demand. Mesin pencari menggantikan rak buku. Kepintaran bergeser dari “si penghafal” menjadi “si pencari”. Kata kunci yang tepat lebih bernilai daripada ingatan panjang.

Di era ini, mesin Thinking dan Intuiting mulai dominan. Thinking unggul dalam memilah dan membandingkan sumber, sementara Intuiting cepat melompat antar ide dan pola besar. Cara belajar pun berubah: bukan lagi menghafal, melainkan skeptis dan kuratorial.

Lalu kita tiba di Era Algorithm. Informasi tidak lagi kita cari—ia datang menghampiri. Media sosial dan platform video membentuk realitas personal kita masing-masing. Risiko terbesarnya bukan kebodohan, melainkan bias dan echo chamber.

Di sinilah banyak mesin kecerdasan STIFIn terjebak. Feeling mudah terseret konten emosional. Insting betah di zona nyaman algoritma. Tantangan terbesar era ini bukan menjadi viral, tetapi tetap waras—mampu menjaga kesadaran di tengah banjir distraksi.

Solusi yang ditawarkan adalah reach to teach: sengaja memperluas perspektif dan mengajarkan kembali apa yang dipelajari. Menariknya, pendekatan ini sangat cocok bagi mesin Feeling (berbagi makna) dan Insting (belajar lewat praktik dan pengulangan).

Namun, dunia tidak berhenti di sini. Kita telah memasuki Era Generative AI.

Di era ini, kita tidak lagi sekadar mencari atau menerima informasi. Kita meminta. Mesin menjawab secara sintesis. Kepintaran tidak lagi diukur dari apa yang kita tahu, tetapi dari seberapa baik kita bertanya.

Di sinilah setiap mesin STIFIn diuji secara adil. Tidak ada satu pun yang otomatis unggul. Yang menentukan adalah kesadaran akan cara kerja mesin kecerdasan diri sendiri:

  • Thinking unggul dalam prompt terstruktur

  • Intuiting dalam eksplorasi ide

  • Feeling dalam konteks nilai dan empati

  • Sensing dalam ketelitian data

  • Insting dalam eksekusi cepat

Belajar berubah menjadi dialog iteratif. AI bukan pengganti otak, melainkan sparring partner.

Ke depan, para pakar memprediksi Era Post-Generative atau Agentic AI. AI tidak hanya menjawab, tetapi bertindak. Manusia cukup menentukan arah, sementara eksekusi dilakukan mesin.

Paradoksnya, justru di titik inilah otak manusia terancam mengalami brain rot: dangkal, lompat-lompat, dan kecanduan instan. Maka, keterampilan lama kembali menjadi mahal: Deep Reading.

Membaca mendalam membangun struktur berpikir yang tidak bisa diberikan AI. Ia mengendapkan pengetahuan menjadi intuisi. Dalam bahasa STIFIn, deep reading memperkuat mesin kecerdasan agar tidak sekadar reaktif, tetapi reflektif.

Tanpa itu, manusia hanya akan menjadi operator AI, bukan penentu arah.

Sayangnya, sistem pendidikan kita masih banyak tertinggal di Era Print: menguji hafalan, bukan kebijaksanaan. Akibatnya, akan muncul ketimpangan kognitif antara mereka yang memahami cara berpikir—dan mereka yang sekadar mengikuti algoritma.

Di masa depan, intelligence akan murah karena mesin memilikinya tanpa batas. Yang mahal adalah consciousness dan wisdom—kesadaran, empati, dan nilai.

Mesin bisa menghitung.
Mesin bisa menyusun strategi.
Mesin bisa mengeksekusi.

Namun mesin tidak bisa merasakan, tidak bisa berniat baik, dan tidak bisa bertanggung jawab secara moral.

Semakin canggih teknologi, semakin penting manusia memahami dirinya sendiri—termasuk mengenali mesin kecerdasan genetiknya. Karena pada akhirnya, AI hanya alat. Arah tetap ditentukan oleh manusia.

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
1 Orang menyukai Artikel Ini
avatar