Kamu pernah merasa seperti tokoh utama dalam hidupmu sendiri? Musik latar imajiner, adegan dramatis saat hujan, atau momen berjalan sendirian di trotoar dengan ekspresi penuh arti? Selamat, kamu mungkin sedang terkena ‘Main Character Energy’ alias sindrom tokoh utama yang sedang naik daun di media sosial.
Tapi, apakah ini hanya cara seru untuk menikmati hidup atau sebenarnya bentuk coping dari realitas yang tidak sesuai ekspektasi? Atau lebih jauh lagi, apakah ini delusi?
Apa Itu ‘Main Character Energy’?
Tren ini muncul dari video-video aesthetic di TikTok dan Instagram, di mana seseorang mendokumentasikan hidupnya seperti film indie atau drama coming-of-age. Mereka menikmati momen kecil, seperti membaca buku di kafe, menatap matahari terbenam, atau menangis di jendela sambil mendengarkan lagu galau, semua terasa sinematik dan penuh makna.
Ini bukan hal baru. Film seperti 500 Days of Summer atau Eternal Sunshine of the Spotless Mind sudah lebih dulu menampilkan karakter yang terlalu asyik dengan narasi hidupnya sendiri. Bedanya, sekarang semua orang bisa menjadi tokoh utama versi mereka sendiri, lengkap dengan filter aesthetic dan musik latar pilihan.
Tapi yang menarik, fenomena ini bukan hanya gaya hidup atau tren media sosial. Ia juga bisa menjadi mekanisme bertahan hidup di tengah dunia yang makin membingungkan.
Coping Mechanism atau Escapism?
Di satu sisi, menjadi ‘tokoh utama’ bisa jadi cara sehat untuk menghargai diri sendiri. Kita belajar menikmati momen kecil, merayakan keberhasilan, dan melihat hidup dengan perspektif yang lebih indah. Dalam dunia yang penuh tekanan, siapa yang tidak ingin merasa spesial, kan?
Tapi di sisi lain, ada risiko terjebak dalam fantasi. Jika terlalu serius, ‘Main Character Energy’ bisa berubah menjadi delusi narsistik, di mana kita menganggap semua orang di sekitar hanya ‘figuran’ dalam kisah kita. Atau lebih parah, kita jadi kecewa saat dunia nyata tidak seindah film yang kita bayangkan.
Misalnya, bayangkan seseorang yang merasa dirinya protagonis dari kisah cinta epik, tapi pasangannya justru tidak paham dengan ‘alur cerita’ yang ia ciptakan sendiri. Atau mereka yang terlalu fokus menjadi aesthetic hingga lupa bahwa hidup tidak selalu harus ‘cinematic’.
Pada akhirnya, perasaan menjadi ‘tokoh utama’ harus diimbangi dengan realisme. Tidak semua orang harus memahami ‘narasi’ yang kamu buat dalam kepalamu.
Bagaimana Menikmati Tren Ini Tanpa Terjebak Delusi?
-
Sadari bahwa kamu adalah tokoh utama dalam hidupmu sendiri, tapi bukan dalam hidup orang lain. Dunia tidak berputar di sekeliling kita. Orang lain juga punya cerita masing-masing, dan kita hanyalah figuran dalam hidup mereka.
-
Jangan abaikan kenyataan demi estetika. Tidak semua hal harus Instagrammable. Kadang, momen terbaik terjadi tanpa filter dan tidak perlu didokumentasikan.
-
Gunakan sebagai cara untuk lebih mindful, bukan melarikan diri. Jika ini membantumu menghargai hidup dan lebih menikmati momen, lanjutkan. Tapi kalau mulai merasa ‘terjebak’ dalam fantasi, mungkin saatnya refleksi.
Tokoh Utama yang Realistis
Menjadi ‘main character’ bukan masalah, asalkan kita tetap sadar bahwa hidup ini bukan film, dan kita tidak selalu bisa mengatur alurnya. Tidak apa-apa menikmati peranmu, asal jangan sampai lupa bahwa di luar sana, semua orang juga punya kisahnya sendiri.
Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang menjadi tokoh utama yang sempurna, tapi tentang bagaimana kita menjalani cerita dengan sejujur dan setulus mungkin.
"Hidup ini bukan film, tapi tetap layak dinikmati."