Rabu Bertemu #5 - Publik Mulai Menagih Aksi Nyata Keberlanjutan Pangan Masa Depan 2030

2024-12-18 17:02:26 | Diperbaharui: 2024-12-18 22:43:34
Rabu Bertemu #5 - Publik Mulai Menagih Aksi Nyata Keberlanjutan Pangan Masa Depan 2030
Ilustrasi kondisi terkini obrolan warung kopi masyarakat Indonesia ketika menikmati realita sektor pangan

Halo, Kerabat ! 

Terimakasih sudah berkenan bergabung dan selamat datang kerabat yang sudah berjumlah 1.239 ini, oh iya kerabat kalau tidak keburu membaca artikel-artikel disini, bisa disimak secara audio/suara/podcast di Youtube : Center for Study Indonesian Food Anthropology tapi baru beberapa episode pertemuan yang kami unggah, ini untuk memudahkan saja bahwa mau membaca mau mendengar, ya sama saja, ini untuk memudahkan kerabat yang tunanetra juga ya. 

Agak sore nih menyajikan artikel ini karena asalnya kami mau menyajikan "lesson learned/pelajaran dari beberapa suku (etnis) dan negara berkembang lain tentang cara bertahan hidup dari sektor pangan, namun rasanya ada yang lebih urgensi/penting banget, publik perlu membaca arah/peta jalan pembangunan berkelanjutan negara ini mau dibawa kemana sebenarnya ? atau hanya wacana belaka sebagai beautifikasi mengisi aksi-aksi nyata skala kecil namun dilaporkan sebagai keberhasilan nasional ?" 

Cobalah kerabat sesekali membacanya, tentu kertas kerja ini sudah bisa diakses publik pada tautan berikut : 

https://sdgs.bappenas.go.id/website/wp-content/uploads/2024/04/Peta-Jalan-SDGs-2023-2030-Ind.pdf

Kami sudah membacanya dengan fokus pada sektor pangan, pertanian, hutan, gizi dan desa namun fokus utamanya pangan saja karena menyangkut dari hulu ke hilir hingga akhirnya akan tertelan oleh perut-perut masyarakat Indonesia, lihatlah kerabat hal-hal yang menyangkut pangan, negara ini ya dalam wacananya sangat sederhana sekali dan tidak ada yang menggemaskan gimana gitu, loh menggemaskan ? iya, misalnya yang kami tunggu : sembako pokok dibawah harga tidak biasa harusnya bisa tembus Rp. 5.000/kg saja serempak itu saja upayakan, kan mantap ya ? okelah satu komoditas saja, Beras deh dimana semua kondisi dan wilayah kan sudah berasnisasi, belum lagi program Kementerian Pertanian itu cetak sawah pula. Sanggupkah Beras serempak Rp.5.000/kg-nya ? ngefek nanti ke harga nasi kapau, nasi padang, nasi rames, nasi liwet, nasi kotak dll kan ? Sama ga usah khawatir banget karena santai aja, toh beras murah, 3 kali prit tukang parkir dari 3 motor juga sudah terbeli kan 1 kg beras kalau harganya goceng sekilo ? Nah itu kebijakan yang menggembirakan. 

Melihat pemberitaan sektor pangan setelah mengkaji kenaikan PPN 12% bukannya makin gembira malah pening, karena walaupun pangan harian ga jadi dipajakkin, tapi kalau ada kata premium tuh sepremium apa ? bener-bener deh ini para stakeholder pada suka belanja langsung ga sih sebagai rakyat gitu ya ?

Kata-kata "beras premium, buah premium", itu ga semua levelnya premium juga pada kenyatannya, kadang produsen biasanya menambahkan kata premium ya biar laku juga ya, biar ada kenaikan harga jual, dan biar menarik perhatian calon pembeli, makanya pas melihat kok pangan premium dipajaki 12% saja, sudah menandakan "oh pemerintah sedang melakukan seleksi kelas-kelas sosial rupanya, dimana hal ini akan menjadi masalah baru, masyarakat bisa tersinggung nanti, gara-gara beli beras biasa bukan premium nanti dijulidin tetangga : ih sobat miskin ya ga beli beras premium", nah efek seperti ini nih pemerintah ga paham banget bakalan jadi konflik kelas sosial nantinya hanya dari persepsi pola pembelian pangan. Ini kategorinya masih komoditas pangan bukan barang mewah, kebutuhan primer. Primer itu kebutuhan harian, rutin, darurat, dan harus disegerakan karena bencana nyatanya udah langsung pasti yaitu : 

  • Jika pangan tidak terjangkau, maka kerawanan pangan akan melanda. 
  • Jika pangan langka walau bisa diakses, ya bencana kelaparan akan memuncak, ya its oke kelaparan dalam darurat, yang dikhawatirkan adanya penjarahan dari berbagai kelompok masyarakat itu bagaimana ? atau pemerintah sudah menyiapkan mitigasi baku hantam anarkis ini ? Ayolah kalau begitu, titik kumpul penjarahan pangan ada di mana saja kalau begitu ? Miris dan ironis sekali, nanti dipandang negara tetangga misalnya Malaysia "kenape kalian war-war macam tuh ?" , jawabannya : Lapar. "Aaaaaa.... memalukan sekali nanti kalau diliput". Ya ampun cuma rebutan kopi saset, susu kotak, beras 5 kiloan, sama mie instan berbagai rasa, oh iya sama sekotak salad dingin. Aduh reputasi negara agraris yang penuh deforestasi (hutan botak) makin anjlok. 

Fenomena tersebut jika sampai terjadi di Indonesia dalam waktu dekat dalam antropologi pangan didefinisikan sebagai materialisme budaya, antropolog yang populer dalam pembahasan ini adalah Marvin Harris, kerabat bisa membacanya pada buku yang ditulis olehnya dengan judul : Cultural Materialism : The Struggle for a Science a Culture . Buku ini menjelaskan bagaimana kebutuhan material/materi (seperti makanan, tempat tinggal, dan teknologi) membentuk masyarakat dan budaya sehingga jika bakulannya diganggu, masyarakat akan melawan, entah dengan reaksi seperti apa, karena yang diganggu isi piringnya.

Ya, tentu hal ini juga terasa ketika kita lagi enak-enak nih makan bakso, ada orang lewat ngasal dan random tiba-tiba ngambil baksonya bahkan mangkoknya diambil, itu orang waraskah begitu ? Nah, pemerintah juga jika mengutak-atik kenikmatan materi yang diperjuangkan oleh masyarakat, ya lihat saja responnya, coba kerabat membuka media sosial X (dulu namanya : twitter), betapa tagar-tagar/hashtag #PajakMencekik itu menggema, banyak akun-akun Gen Z Protes "makanan sekarang mahal banget, pay later terus ga bisa nutup utang". Makan saja ngutang dan bayar nanti, apakah ada empati sedikit saja dari kondisi ini ? Ada. Pemerintah kan udah bagi-bagi bantuan pangan. 

Yang laper tuh se-Indonesia bukan yang nerima bansos aja, ga semua ngemis kok, minta sembako/pangan/makanan itu dibuat terjangkau.

Ya baca lagi dong wacana dan rencananya kan jelas tuh : Keterjangkauan pangan.

Ya, berarti murahin kan ? Malah dinaikkin tuh, mending Kementerian Keuangan coba datengin Bappenas, soalnya seperti tidak menelaah wacana ini, disuruh terjangkau, malah semua naik tuh walah kacau nih ga kolaborasi multi-stakeholder berarti, apa ga di invite ke grup whatsapp gitu ya ? 

Kok beda antara wacana, aksi, pemberitaan dan pengumuman sedikit-sedikit gitu, coba jangan ngalor ngidul gitu ya, banyak digosipin netizen, netizen sekarang kan ada usia anak-anak, dimana mereka pasti ngebaca kelakuan orang tuanya/keluarganya, apa tidak malu gitu ya ?

Ketika integritasnya diobok-obok publik harusnya sih malu dan mulai berbenah. Ini malah lanjut part 2 tuh mending bikin serial drama aja terus komersialisasikan, jadi deh aktor drama, nanti dapet penghasilan, nah penghasilan nge-drama ini bisa kali yah nutupin derita rakyat. Keren kalau gitu. Rangkap profesi/jabatan kan udah biasa bukannya.

Respon publik yang sudah berani nyindir-nyindir kinerja pemerintahan yang tidak memuaskan rakyat adalah efek dari : Collective Frustration (Frustasi Kolektif Publik) karena Publik mulai kritis dimana publik sudah bisa menggunakan Critical Consciousness (Kesadaran Kritis) untuk mengevaluasi secara serentak dan kompak karena merasakan efeknya bersama-sama dari berbagai kepentingan ga cuma tentang si miskin si kaya, tentang keberlanjutan hidup seluruh bangsa Indonesia, bayangkan ! sudah tahap "seluruh bangsa Indonesia", artinya pemerintah harus cepat merespon sebelum gejolak publik menjadi liar (antisipasi agar tidak terjadi penjarahan pangan, ya ngerilah sisi kemanusiaan kalau publik lapar ya kembali menjadi anti-homo sapiens dan ini disebut dengan Anomie (keadaan dimana norma dan nilai sosial runtuh dan saatnya menjadi buas seperti binatang). 

Frustasi Kolektif/Collective Frustation adalah Frustrasi bersama akibat ketidakpuasan kolektif terhadap sistem atau kebijakan yang sedang mengancam keberlanjutan hidup terlebih kebutuhan primer dan sekunder. Hal ini kerabat akan mempelajari lebih mendalam pada antropologi politik dan antropologi kebijakan dimana banyak studi kasusnya terlebih di sektor pertanian, pangan dan industri dimana masyarakat memang geram dengan keputusan pemerintah. 

Kesadaran kritis/Critical Consciousness memahami ketidakadilan struktural dan beraksi untuk perubahan lebih baik yang dilakukan oleh seseorang atau masyarakat, konsep ini digaungkan oleh seorang pemikir sosial dari Brasil yaitu : Paulo Freire

Publik Mulai Menagih Aksi Nyata Keberlanjutan Pangan Masa Depan 2030 

18 Desember 2024, beberapa hari saja sudah masuk 2025. Berarti tinggal 5 tahun lagi, ya mana persiapan pangan masa depan itu ? Seperti apa bayangan pangan masa depan itu ? 2024 saja sudah ugal-ugalan, bagaimana proyeksi 2030, 2030 akan terbentuk jika 2024 - 2025 bisa aman teratasi masalah pangan ini. 

Sedangkan obrolan masyarakat secara jujur mengeluhkan kondisi : 

  • Petani mengeluhkan pupuk mahal. 
  • Peternak mengeluhkan kesejahteraan hewan.
  • Yang mau bertani mencari lahan yang tidak murah lagi, sengketa lahan dimana-mana terjadi, penggusuran lahan bertani produktif diganti tambang masih menjadi carut marut yang tidak ada titik temu, ya masa diarahkan terus hidroponik, yang tidak teraliri air dengan baik ya masa harus hidroponik ? oh bercocok tanam di udara ? ah taksi terbang saja tidak muncul. 
  • Gizi pekerja tidak pernah diurusi negara, coba deh tanya para ahli gizi (nutrisionis) di tingkat kementerian, tanyakan ketika berkuliah tuh pada belajar "Gizi Pekerja", program dan rencana negara membosankan sekali fokusnya dari zaman Indonesia merdeka kalau ga balita, anak sekolah, ibu hamil, dan contoh-contoh kasus yang ekstrim macam obesitas 1 orang anak diliputnya bertubi-tubi dari pagi sampai seminggu kemudian (itu pekerja yang menggerakan perekonomian keluarga dan negara diperas sampai bunuh diri saking bingung mau membiayai berbagai tanggung jawab pake apalagi ? pikiran, batin, tenaga, dan harapan sudah tergadai waktu,
  • Gizi pekerja tidak pernah diurusi dengan serius, ya pekerja itu banyak yang menopang berbagai kehidupan, makanya sesekali pemerintah tuh survei lapangan bagaimana para pekerja : menghemat, ngirit, sampai menyiksa lambungnya yang penting kehidupan lain kenyang, para pekerja pura-pura kuat padahal regulasi, kebijakan, program pangan yang nyatanya dzalim pada perut pekerja.
  • Loh memang pekerja mau makan siang juga atau mau makan bergizi ? Transfer aja ke upah ga usah ribet ya, alias naikkan upah pekerja secara layak dan upah itu kalau semuanya habis untuk kebutuhan primer terlebih belanja pangan habis, berarti ga layak, ya mikir itu kementerian keuangan, kementerian perdagangan dan kementerian sosial negara zimbabwe. Eh kok negara Zimbabwe, oh Zimbabwe ekonominya lagi berkembang pesat ya kerabat, sumber daya manusianya dimanjain lewat peningkatan skill dan rekonstruksi posisi kekuasaan (jadi Zimbabwe mau memperlihatkan nih bapak-bapak jadul korup minggir dulu, coba yang kompeten coba bawa perkembangan ini, baca disini kabar pertumbuhan ekonominya (klik disini) .
  • Indonesia kapan aksi nyata yang udah ga zaman euy laporan palsu asal Bapak/Ibu Senang (Feodal Jadul) ? 
  • Banyak dibombardir produk impor, nanti kalau ada netizen sambat "Pemerintahnya bisa impor aja ga sih ?", nanti baper, pasti ada dong ya bagian dari pemerintah yang masih ajeg dan memikirkan negara ini ? nah, impor juga cukup problematik, soalnya semua barang dan komoditas hampir impor, ya masa cuma jamur krispi aja diimpor , keripik rasa balado harus impor tuh maksudnya ini udah tahap perdagangan bebas banget nih ? Kebutuhan dapur juga kalau dicek satu-satu made in (isi sendiri negaranya), dimanufaktur (isi sendiri negaranya). Ga ada yang made in : Kalimantan, Papua, Sumatera atau apa gitu kan pabriknya di negara Indonesia untuk penyedia bahan baku, kok jadi plot-twist gitu sih ? 
  • Ya Tuhan, Saya WNI. Coba ini didalami maknanya oleh para pengambil kebijakan yang masih belum bijak (coba lepas atributmu dulu dan menyamar 30 hari jadi rakyat biasa agar bisa merasakan produk kebijakan, ya ternyata pedih ya?), harusnya kan ada rasa syukur gitu dong menjadi warga negara, tapi kalau publik udah patah hati gini, sampai-sampai menganggap bencana kehidupan jadi WNI, segera berbenah deh seluruh kementerian, obati sakit hati publik sebelum sakit hati karena patah hati sosial hidup di negara Indonesia diwariskan ke generasi selanjutnya, bisa trauma dan Indonesia bisa nyisa seluas MONAS doang, silakan kalian berkumpul disitu untuk meratapi masa depan pembangunan berkelanjutan yang tidak sesuai rencana mulia. Pemerintah mau ga mau harus segera merespon cepat dengan partisipatif pada masyarakat yang sedang membangun Cultural Resilience/Resiliensi Budaya, coba sesekali kabulkan deh keinginan masyarakat, misal ya yang sekarang itu batalkan PPN 12%, udah final tuh ga usah blunder lagi. Silakan lihat sumringahnya publik. 

Ini masih terlihat : diusahakan, direncanakan, ditingkatkan, diharapkan, disemogakan, didiamkan ga nih atau jadi dilupakan ? Setelah membaca kertas kerjanya dari Bappenas ini, silakan kerabat amati bagaimana kondisi sebenarnya dari kata-kata ini yang menyangkut sektor pangan bahkan sampai isi piring kerabat saat ini ? 

Akumulasi Peta Jalan Pembangunan Berkelanjutan 2030 dari sektor Pangan 

Semoga kondisi kehidupan kerabat selalu dimudahkan dan diluaskan rezekinya ya, kita bisa kuat kalau kompak, mata kita menyimak para aktor yang ketak-ketok seenaknya yang secara tidak langsung menentukan nasib kehidupan, ya memang semua sudah ditakdirkan oleh Yang Kuasa, tapi ada ikhtiar yang dihambat oleh keputusan penguasa. 

Demikian - Hatur nuhun. 

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Suka dengan Artikel ini?
1 Orang menyukai Artikel Ini
avatar