Harus kita akui, di tengah gempuran gadget, tontonan instan, dan permainan serba digital, ada satu media yang masih tetap relevan dan tak tergantikan: buku cerita anak.
Buku adalah jendela bagi anak untuk mengenal dunia, termasuk dunia yang sering terlupakan, yaitu alam dan lingkungan sekitar.
Komunitas Rimbawan Menulis (Rimbalis), misalnya, telah membuktikan bahwa literasi anak bisa diisi dengan pesan-pesan konservasi yang ringan tapi penuh makna.
Koleksi buku anak Rimbalis disajikan dengan lucu dan menghibur, tapi tetap fokus mengajak anak mengenal satwa, tumbuhan, hutan, sungai, dan ekosistem Indonesia.
Pertanyaannya, mengapa penulisan buku anak bermuatan lingkungan itu penting? Mengapa dunia literasi anak perlu memprioritaskan tema ini? Mari kita bahas satu per satu.
1. Anak-Anak Adalah Penentu Masa Depan Lingkungan
Tidak berlebihan jika kita mengatakan bahwa masa depan bumi ada di tangan generasi berikutnya. Sayangnya, banyak anak yang tumbuh tanpa benar-benar mengenal alam di sekitarnya.
Sebagian besar anak di kota besar mungkin tak pernah melihat langsung owa jawa, buaya muara, atau pohon bidara laut. Mereka lebih akrab dengan karakter-karakter buatan yang tak punya akar budaya atau ekologi lokal.
Lewat buku anak bermuatan lingkungan, kita bisa mengenalkan sejak dini bahwa hutan, sungai, pantai, dan satwa liar adalah bagian dari kehidupan yang harus dijaga. Anak yang mengenal akan lebih mudah mencintai, dan yang mencintai akan lebih mudah menjaga.
Bayangkan jika sejak kecil anak sudah tahu bahwa Tembakul (ikan pemanjat lumpur) adalah penjaga hutan mangrove, atau bahwa ayam hutan seperti Kuku dan Koko punya peran penting dalam rantai ekologi.
Anak-anak akan tumbuh dengan kesadaran bahwa mereka hidup berdampingan dengan makhluk lain, bukan sebagai penguasa tunggal bumi.

2. Lingkungan Bukan Sekadar Pelajaran IPA
Selama ini, pendidikan lingkungan sering dipahami sebagai bagian dari pelajaran IPA atau biologi. Padahal, konservasi dan cinta lingkungan adalah sikap hidup, bukan sekadar hafalan.
Buku cerita memiliki kekuatan membentuk karakter. Lewat kisah petualangan, dongeng, atau cerita sehari-hari, anak-anak bisa belajar tentang ekologi tanpa merasa sedang "diceramahi."
Misalnya, dalam buku "Petualangan Owi si Owa Jawa: Menjaga Rumah di Atas Pohon," anak tidak hanya belajar bahwa owa adalah primata endemik yang terancam punah.
Mereka juga memahami konsep rumah bagi satwa liar, pentingnya pepohonan, dan bagaimana manusia bisa ikut menjaga habitat itu. Cerita yang hidup di imajinasi anak jauh lebih membekas dibanding angka atau data dalam buku teks.

3. Konservasi Butuh Cerita, Bukan Sekadar Kampanye
Kampanye lingkungan sering terasa berat karena bahasanya yang rumit dan pesannya yang cenderung "dewasa." Namun, cerita adalah bahasa yang universal dan bisa dipahami oleh semua usia, termasuk anak-anak.
Dengan menulis buku anak bertema lingkungan, kita sedang membangun generasi yang paham konservasi secara alami. Anak tidak merasa sedang diberi tugas atau kewajiban. Mereka tumbuh dengan kesadaran bahwa menjaga alam adalah bagian dari kehidupan sehari-hari.
Misalnya, dalam buku "Buaya Muara dari Sungai Sikabau Mencari Rumah," anak belajar tentang bagaimana habitat buaya terancam karena perambahan hutan. Tapi pesan itu disampaikan lewat kisah yang hangat dan bersahabat, bukan lewat ceramah yang menakutkan.

4. Mengangkat Kearifan Lokal dan Biodiversitas Indonesia
Indonesia adalah negara dengan kekayaan hayati luar biasa. Sayangnya, banyak dari itu yang tidak dikenal oleh anak-anak Indonesia sendiri.
Lewat buku anak bermuatan lingkungan, kita bisa mengenalkan satwa, tumbuhan, dan budaya lokal yang sering luput dari perhatian. Buku "Ayo
Berteman dengan Si Pahit, Bidara Laut dari Hutan Dompu" misalnya, memperkenalkan anak pada tanaman yang mungkin tidak mereka temui di buku pelajaran, tapi penting bagi ekosistem pantai dan kesehatan masyarakat setempat.
Cerita semacam ini juga mendorong anak untuk bangga dengan lingkungan dan budaya daerahnya. Mereka tidak hanya tahu tentang beruang kutub atau panda, tapi juga tentang ular raksasa di hutan tropis, ayam hutan, atau si tembakul penjaga lumpur.

5. Literasi Lingkungan Adalah Investasi Sosial
Membentuk masyarakat yang sadar lingkungan tidak bisa instan. Prosesnya jangka panjang dan harus dimulai sejak dini. Buku cerita anak adalah bagian dari investasi sosial itu.
Seandainya saja setiap anak tumbuh dengan cerita tentang hutan, sungai, dan satwa yang harus dijaga, di masa depan, mereka akan lebih berhati-hati dalam bertindak.
Mereka tahu bahwa membuang sampah sembarangan bisa merusak ekosistem, atau bahwa pembakaran hutan berarti mengusir penghuni hutan dari rumahnya. Di sini, buku anak menjadi alat pembentuk kesadaran sosial.
6. Buku Anak Bisa Mengurangi Nature-Deficit Disorder
Istilah Nature Deficit Disorder diperkenalkan oleh Richard Louv dalam bukunya "Last Child in the Woods." Ini adalah kondisi di mana anak-anak kekurangan hubungan dengan alam, sehingga lebih mudah stres, kurang empati, dan tidak peduli dengan lingkungan.
Buku anak yang bermuatan lingkungan adalah salah satu solusi. Walaupun anak tinggal di kota, mereka bisa "berkenalan" dengan alam lewat cerita.
Membaca tentang petualangan "Lila dan 10 Ular Raksasa Dunia" misalnya, bisa memancing rasa ingin tahu anak tentang reptil, ekosistem hutan, dan keanekaragaman hayati.
Anak belajar tidak hanya dari layar, tapi dari imajinasi yang membawanya ke hutan, sungai, dan rawa.

7. Memperluas Peran Penulis Anak
Penulis buku anak sering dianggap hanya "membuat cerita lucu atau menghibur". Padahal, penulis anak bisa menjadi agen perubahan sosial dan lingkungan.
Komunitas Rimbalis memberi contoh konkret. Lewat buku-bukunya, Rimbalis memperluas peran penulis sebagai penjaga cerita tentang konservasi, bukan sekadar pembuat cerita imajinasi.
Penulis anak bisa menjadi juru bicara bagi satwa dan tumbuhan yang tak bisa menyuarakan nasibnya sendiri. Mereka bisa menyampaikan pesan penting tanpa membuat anak merasa berat.
8. Membuka Pintu Kolaborasi
Menulis buku anak tentang lingkungan juga membuka peluang kolaborasi lintas bidang. Penulis bisa bekerja sama dengan ilustrator, ahli biologi, pendongeng, hingga komunitas konservasi.
Misalnya, buku "Sahabat Satwa dari Kampung Sukagalih" bisa menjadi pintu masuk untuk kegiatan edukasi di sekolah, dongeng interaktif, hingga kampanye penanaman pohon atau pelestarian satwa.
Kolaborasi ini membuat literasi lingkungan menjadi lebih hidup dan berdampak nyata di masyarakat.

Mari Menulis untuk Bumi
Dengan menulis buku anak tentang lingkungan, kita tak hanya menjual cerita atau memenuhi rak perpustakaan. Peran kita di sini menyukseskan gerakan literasi yang menyelamatkan masa depan bumi.
Komunitas seperti Rimbalis telah memulai langkah ini dengan konsisten. Lewat buku-buku tentang owa jawa, buaya muara, ayam hutan, bidara laut, dan sahabat satwa lainnya, mereka mengajak anak-anak Indonesia untuk mengenal, mencintai, dan menjaga alam sejak dini.
Karena ketika anak-anak tumbuh dengan cerita tentang hutan dan satwa, mereka akan menjadi orang dewasa yang lebih peduli dengan dunia di sekitarnya.
Simak buku-buku cerita anak Rimbalis di sini. Mari terus menulis untuk bumi, untuk anak-anak, dan untuk masa depan yang lebih hijau.***