"Pengen nulis, tapi bingung mau nulis apa."
"Udah ngetik satu paragraf, terus bingung lanjutnya gimana."
"Pengen punya buku, tapi nggak pede sama tulisan sendiri."
Kalau kamu pernah bilang atau kepikiran kayak gitu, selamat! Kamu nggak sendirian. Banyak banget orang yang ingin menulis, tapi merasa terjebak sebelum memulai. Dalam tulisan ini, Rimbalis ingin berbagi tips yang kontekstual dan semoga bisa bikin kamu bersemangat untuk tulisan pertamamu.
Tulisan Rimbalis kali ini bukan untuk membahas struktur 5W1H atau teknik menulis cepat, karena itu sudah bisa kamu temukan di ratusan artikel lain. Kali ini, Rimbalis mau ngajak kamu ngobrol dari hati ke hati.
Jangan cari topik menulis, tapi temukan feeling itu.
Banyak penulis pemula nanya, "Aku nulis apa ya?" Padahal pertanyaan yang lebih tepat adalah, "Apa yang sedang aku rasakan sekarang?"
Tulisan yang kuat itu datang dari emosi yang jujur. Marah, kecewa, bangga, bersyukur, sedih, takut, semua bisa jadi bahan tulisan.
Misalnya, kamu baru aja kesal lihat berita soal pembalakan liar di kampung halaman. Tulis keresahan itu.
Kamu bersyukur anakmu hari ini menanam pohon di sekolah. Tulis rasa bahagiamu.
Kamu sedang rindu masa kecil di kampung halaman kamu yang sejuk dan rindang. Tulis kenangan itu.
Punya banyak cerita, tapi bingung mulainya? Buka chat WA lama
Iya, kamu nggak salah baca. Buka percakapan lama di WhatsApp. Cari momen kamu cerita panjang lebar ke teman, curhat ke sahabat, atau jelasin sesuatu ke rekan kerja.
Kenapa ini penting? Karena cara kamu ngobrol itu adalah gaya menulis alamu. Banyak orang nulis terasa kaku karena mereka merasa harus seperti penulis terkenal. Padahal, suara kamu sendiri itu unik dan layak dibaca.
Beberapa penulis yang juga pegiat lintas alam yang hobi mendaki gunung di antologi Sang Giri awalnya bingung. Beberapa lupa kisah pendakiannya. Alhasil, mereka berkomunikasi lagi dengan teman-teman seperjalanannya, mulai bernostalgia, dan akhirnya jadilah cerita-cerita pendakian itu.
Mau nulis buku solo, tapi takut? Coba ikut antologi dulu
Banyak penulis pemula langsung bermimpi punya buku sendiri. Itu nggak salah. Tapi, menulis itu kayak naik sepeda, belajar dulu di gang rumah sebelum keliling kota.
Ikut antologi (buku bersama beberapa penulis) adalah langkah bijak. Kamu belajar deadline, belajar menyunting, belajar menata tulisan, dan belajar percaya diri.
Beberapa penulis Rimbalis awalnya adalah penulis antologi sebelum meluncurkan buku pertama mereka. Beberapa bahkan semangat bikin blog pribadi dan menyiapkan naskah solo tentang pengalamannya selama bekerja di kawasan konservasi.
Sudah di atas 40 tahun dan belum pernah nulis? Jangan minder, justru kamu kaya cerita.
Banyak orang berpikir menulis itu buat anak muda. Padahal, semakin banyak kamu alami, semakin banyak juga yang bisa kamu tulis.
Jangan minder kalau kamu baru mulai menulis di usia 40-an, 50-an, bahkan 60-an. Pengalamanmu nggak bisa digantikan oleh tulisan dari anak berusia 20-an yang baru magang. Kamu punya perspektif, kedalaman, dan kearifan dalam memperkaya tulisanmu.
Bingung mau nulis gaya apa? Bayangkan kamu lagi cerita ke teman.
Menulis itu sebenarnya perpanjangan dari berbicara. Jadi, ketika bingung nulis gaya apa, coba bayangkan kamu lagi nongkrong bareng teman, trus kamu cerita ke mereka.
Tulisan nggak harus baku, nggak harus puitis, yang penting mengalir dan jujur. Pembaca lebih suka tulisan yang "kena" di hati daripada yang terlalu teknis tapi dingin.
Tips lainnya, kamu bisa rekam dulu suara kamu saat cerita. Dengarkan lagi. Lalu tulis ulang isi ceritamu.
Takut dihakimi? Ingat, kamu nggak nulis untuk semua orang.
Salah satu alasan orang nggak jadi nulis adalah takut dikritik. Takut dibilang tulisannya jelek, nggak nyambung, nggak menarik.
Tapi ingat, kamu nulis bukan untuk semua orang. Kamu nulis untuk mereka yang bisa menangkap pesanmu. Bahkan jika cuma 5 orang yang benar-benar terinspirasi dari tulisanmu, itu udah cukup.
Nggak punya banyak waktu nulis? Pakai format mini saja.
Kalau kamu merasa sibuk dan nggak punya waktu nulis panjang, jangan paksakan diri. Gunakan format singkat alias mini. Mula-mula, cerita 100 kata, catatan harian 1 paragraf, puisi pendek, kutipan + refleksi singkat.
Itu istilahnya micro-blogging. Menulis sedikit tapi rutin jauh lebih baik daripada ingin menulis besar tapi nggak pernah mulai.
Nggak tahu harus share tulisan kemana? Mulai dari komunitas
Kamu nggak harus langsung kirim tulisan ke media besar. Mulailah dari tempat yang ramah, seperti komunitas penulis, grup WA, atau Kompasiana. Di situ kamu bisa dapat masukan, dukungan, dan semangat.
Terima kasih untuk kamu yang sudah bergabung di grup Rimbalis Kompasiana. Semoga ke depannya kita bisa sharing lebih banyak ilmu kepenulisan.
Setiap cerita ada nilainya, tak perlu takut tulisanmu nggak berguna.
Jangan pernah remehkan tulisan sendiri. Apa yang kamu anggap biasa bisa jadi luar biasa bagi orang lain.
Cerita kecil tentang konflik di hutan bisa jadi bahan diskusi di grup. Kenanganmu tentang pohon mangga, pohon randu, di halaman rumah bisa menyentuh perasaan pembaca.
Keluhanmu tentang birokrasi justru bisa membuka jalan perubahan.
Mau jadi penulis konsisten? Bangun kebiasaan-kebiasaan kecil.
Menulis itu bukan bakat loh, tapi kebiasaan. Mulailah dengan target yang sangat kecil, misalnya menulis 5 menit per hari, 3 kalimat per malam, 1 tulisan per minggu.
Kebiasaan mikro akan membentuk identitas baru, yaitu kamu jadi orang yang pandai menulis, bukan lagi cuma orang yang ingin menulis.
Kamu nggak harus hebat untuk mulai menulis, tapi kamu harus mulai untuk bisa hebat menulis. Alasannya, menulis itu proses dan setiap proses butuh keberanian untuk memulai.
Tulisan pertamamu mungkin akan kamu anggap jelek setelah beberapa tahun. Tapi justru itu tandanya kamu berkembang.
Menulislah dengan jujur. Menulislah dengan hati. Menulislah karena kamu peduli. Karena dunia ini butuh lebih banyak tulisan yang jujur dan menginspirasi, bukan tulisan sempurna.
Selamat menulis, dari mana pun kamu memulainya.***